Pria itu, dia menindihku kembali. Ini sudah yang kelima kalinya. Membuat dadaku engap. Bau keringat yang menyeruak dari tubuhnya begitu menyengat. Nafas yang menderu serta lenguhannya, juga membuatku bertambah muak.
Dia datang setiap seminggu sekali. Alasannya, sebab aku tak mampu mencicil untuk membayar hutang yang ditinggal oleh ibuku. Hutang yang sangat besar. Katanya, itu bentuk penebusan untuk membayar bunga dari hutang tersebut. Jika aku tak bersedia, maka hutang akan semakin menumpuk, sebab bunga yang setiap bulan bertambah. Sungguh biadab!
"Kalau kau masih belum bisa mencicilnya, mungkin aku juga akan melakukan ini pada adikmu yang masih belia itu," ucapnya sembari memasang resleting celana setelah puas meniduriku.
Napasku menderu cepat. Si keparat itu, tidak boleh sedikit pun menyentuh adikku.
"Aku akan berusaha melunasi hutangmu. Jangan pernah sekali pun menyentuhnya!" balasku penuh emosi.
Dia hanya menyeringai, kemudian pergi. Barangkali, tak percaya dengan yang kukatakan. Aku berjanji, akan berusaha semaksimal mungkin untuk segera melunasi hutang kepada pria keparat itu. Aku harus mencari cara!
***
Semua sudah berakhir. Tugasku selesai. Setelah lama berjuang, pada akhirnya aku mampu membayar hutang kepada pria keparat itu.
Aku meninggalkan adikku setelah kejadian waktu itu. Setelah janji yang kuucapkan pada diri sendiri. Aku tak akan pernah sedikit pun membiarkan satu-satunya adik kesayanganku mengalami nasib buruk seperti yang kualami. Aku menitipkannya kepada seorang tetangga yang bersedia untuk merawat. Aku membayarnya tentu saja. Tidak ada yang gratis di dunia ini bukan?
Sembilan tahun sudah aku mengubur diri hidup-hidup. Menghilangkan diri terhadap orang-orang yang kukenal atau mengenaliku. Termasuk Melia, adikku. Meski setiap sebulan sekali aku mengirimi surat untuknya. Tapi, aku tak pernah mencantumkan alamat pengirim, tidak pernah memberikan nomer ponsel atau apa pun untuk dia bisa menghubungiku. Dia tidak perlu tahu keadaanku. Dia tidak perlu tahu apa yang kulakukan di sini.
Beberapa hari yang lalu, aku mendapatkan sebuah postingan di akun FB-nya berupa undangan pernikahan. Melia akan menikah dengan seseorang bernama Ardi Setiawan. Aku yakin laki-laki itu adalah orang hebat. Dari gelar yang tercantum dan tertera di depan serta di belakang namanya, aku bisa mengetahui bahwa dia lelaki yang pantas untuk Melia. Kuharap, hatinya pun sehebat gelar yang disandang.