Mohon tunggu...
Anindita Dyah Sekarpuri
Anindita Dyah Sekarpuri Mohon Tunggu... Dosen - Perempuan Pembelajar

Widyaiswara dan Pengajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan featured

Senarai Perjalanan Hari Keluarga, Hari Kita Semua

29 Juni 2020   15:05 Diperbarui: 30 Juni 2021   07:43 1056
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Keluarga Indonesia dengan Siklus Kehidupan dari Anak sampai dengan Lansia

Setiap tanggal 29 Juni diperingati sebagai hari keluarga nasional di Indonesia dan tidak banyak yang mengetahui apa dan bagaimana sejarah hari keluarga tersebut.

Pada tahun 2020 ini, peringatan Hari Keluarga Nasional atau biasa disingkat Harganas tersebut dilaksanakan dengan lebih sederhana dan mengusung tema" BKKBN hadir dengan cara baru, semangat baru dan kebiasaan baru di keluargamu" ini menunjukkan bahwa dinamisnya peran BKKBN dalam peningkatan kualitas keluarga di Indonesia melalui pengendalian jumlah penduduk pada awal masa berdiri dan sekarang perubahan paradigma menjadi perencanaan  keluarga yang lebih baik akan membawa anak serta keturunan yang lebih sehat.

Adanya pasang surut dalam kebijakan pemerintah di dalam pembangunan kependudukan di Indonesia  dan  sejak era Presiden Soekarno yang terkenal dengan pro natalitas karena adanya "misi" untuk dapat mengembalikan kekuatan tenaga muda Indonesia yang pada saat pra kemerdekaan RI mengalami defisit karena banyaknya yang meninggal di medan perang sampai dengan akhirnya seperti tersentak kala tercapai angka  130 juta jiwa di awal program KB tahun 1970 hingga  membengkak  250 juta jiwa di  2014.

Proyeksi BPS menunjukkan bahwa  jumlah penduduk Indonesia akan terus bertambah sampai dengan 300 juta jiwa pada   2030 jika pengelolaan kependudukan di Indonesia tidak dimanajemen dengan baik, apalagi jika dihadapkan dengan isu Sustainable Development Goals (SDGs) yang mengharapkan adanya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan pembangunan baik di bidang kesehatan, pendidikan serta ekonomi yang merata untuk semua tanpa terkecuali.

Adanya generasi "baby boom" yaitu generasi yang lahir  sebelum tahun 1960 yang mempunyai pandangan "banyak anak banyak rezeki" dan terjadilah  lonjakan perkawinan serta jumlah kelahiran di Indonesia di era tahun 1950 dan 1960. Kala itu "Total Fertility Rate" (TFR)  berada di posisi 5,61. Artinya, setiap perempuan usia produktif di Indonesia rata-rata melahirkan lima sampai enam anak. Sayangnya  banyak di antara mereka tidak memiliki taraf kesejahteraan yang memadai.

Akses ke sarana kesehatan pun karenanya minim. Akibatnya, angka kematian ibu dan bayi begitu tinggi. Banyak anak telah mendera keluarga untuk hidup miskin lebih dalam.

Jika hal ini terus terjadi, maka akan terjadi kemunduran kualitas penduduk Indonesia karena beratnya beban pemerintah untuk dapat melaksanakan pembangunan secara menyeluruh diakibatkan kuantitas besar tidak diikuti dengan peningkatan kualitas.

Kondisi tersebut, menarik perhatian dan sekaligus keprihatinan para pakar di bidang kesehatan salah satunya yang berjuang dengan gigih yaitu ibu dr. Julie Sulianti Saroso yang mencoba menggawangi program pengendalian kelahiran di era 1950-1960-an.

Dokter Sulianti berkiprah di Jogyakarta di tengah suasana politik nasional yang tidak begitu mendukung ketika itu.  Di Jakarta beberapa tokoh sepemahaman dengan dr. Sulianti -- bahwa pengendalian kelahiran itu penting -- juga ikut bergerak.

Mereka tergabung dalam International Planned Parenthood Federation -- IPPF. Federasi ini selanjutnya bernama Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia atau dikenal dengan nama PKBI.  Para tokoh lainnya yaitu Prof. Sarwono Prawiroharjo, dr. M. Judono, dr Hanifah Wignyosastro, dr. Koen S. Martiono, dr. R. SDoeharto dan dr. Harustiati Subandri.

Sebagian mereka bekerja sebagai tenaga medis di RSUP (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo-RSCM).  PKBI inilah yang ke depan menjadi cikal bakal lembaga yang bergerak di bidang keluarga berencana di Indonesia.

Para pelopor itu tergugah untuk berbuat  karena keinginannya untuk memanusiakan perempuan Indonesia. Kala itu, faktanya,  perempuan terperangkap dalam jebakan: hamil-melahirkan-mengasuh anak dalam jumlah banyak di tengah kemiskinannya.

Dalam bahasa kekinian, jebakan itu dikenal dengan istilah 4T. Terlalu muda untuk hamil dan melahirkan; Terlalu tua untuk hamil dan melahirkan; Terlalu dekat jarak kehamilan: dan Terlalu banyak anak.

Kelahiran tak terkendali bisa menyebabkan beragam dampak. Mulai dari gangguan  kesehatan ibu & anak, sosial-politik, hingga pertahanan-keamanan.

Menyadari dampak itu, Presiden Soeharto, yang kala itu belum lama dikukuhkan sebagai Presiden RI kedua, bangkit dengan membawa komitmen baru. Program pengendalian pertumbuhan penduduk menjadi salah satu garda terdepan pembangunan nasional.

Keseriusan Presiden itu di antaranya ditandai dengan ditekennya Deklarasi Kependudukan Dunia pada 1968 oleh Presiden Soeharto. Sejak itu, tonggak sejarah baru  program Keluarga Berencana (KB) ditancapkan dan mulai dibumikan secara serius dan terbuka.

Didahului dengan pembentukan  Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN). Pembinaan dan pengawasan lembaga ini berada di bawah tanggung jawab Menteri Kesejahteraan Rakyat.

Kurang lebih dua tahun kemudian, tepatnya pada 1970, pemerintah baru secara resmi mencanangkan KB sebagai program nasional. Cakupannya masih sebatas provinsi di Pulau Jawa dan Bali.

Provinsi-provinsi tersebut merupakan wilayah padat penduduk. Bersamaan dengan itu, pemerintah sekaligus meresmikan pembentukan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional yang populer dikenal dengan akronim BKKBN. Badan ini diketuai dr. Soewardjono Soerjaningrat yang sekaligus sebagai Menteri Kesehatan.

Dengan tagline "Panca Warga", program KB terus bergulir dengan pasti.  Tahun 1974, program  mulai merambah 10 provinsi berpenduduk padat di luar Jawa dan Bali.

Puncaknya pada 1979/1980, program KB menjangkau seluruh penjuru tanah air. Tagline  yang diusung adalah "2 Anak Cukup". Penetapan tagline tersebut dilakukan untuk mencapai tujuan kuantitatif maupun kualitatif.

Yakni menurunkan angka kelahiran 50 persen tahun 1990 dibandingkan tahun 1970, dan  mewujudkan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera ( NKKBS).

Sejak itulah mulai ada tanda-tanda TFR menurun. Mulai terjadi  pergeseran struktur penduduk menurut umur . Diikuti laju pertumbuhan penduduk yang bergerak turun.  Beberapa indikator program KB lainnya menunjukkan tren membaik.

Sejak awal 1980, program KB tidak saja mulai berhasil menurunkan jumlah anak dalam setiap keluarga. Program telah berhasil pula mengubah paradigma "Banyak Anak Banyak Rejeki" menjadi  "Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera".

Dampak fenomenal program ditandai  keberhasilan menurunkan TFR dari 5,6 anak per wanita pada 1970 menjadi 2,6 anak pada 2002. Saat memasuki era demokratisasi, TFR tidak lagi mengalami pergeseran berarti sampai tahun 2012.

Tetapi tahun 2017 TFR mulai kembali menunjukkan tren penurunan menjadi 2,4 anak per wanita.  Ada pula strategi pencitraan kontrasepsi melalui program  Lingkaran Biru (Libi) dan Lingkaran Emas (Limas). Di sini masyarakat diberi beragam pilihan dalam memutuskan  cara ber-KB. Sebagai tanda bahwa program KB di Indonesia menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM). Bukan sebuah program paksaan.   Juga ada gerakan "lantainisasi" di kalangan keluarga peserta KB kategori pra-sejahtera (miskin).

Gerakan ini bersinergi dengan program  Pasar Minggon, Bangga Sukadesa, Takesra-Kukesra hingga UPPKS (Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera). UPPKS adalah sebuah program pengembangan dari "Income Generating Project"atau peningkatan kesejahteraan keluarga sebagai bagian dari wadah yang akan mampu meningkatkan kualitas manusia Indonesia.

Upaya memberdayakan peserta KB dari sisi ekonomi berskala rumahtangga/keluarga oleh BKKBN itu diperkuat dengan dukungan kredit murah dari pemerintah. Agar tepat sasaran, BKKBN menelurkan data operasional bernama "Pendataan Keluarga". Hasil Pendataan keluarga di antaranya menghasilkan pengelompokan keluarga menjadi Keluarga Pra-Sejahtera, Keluarga Sejahtera I, Keluarga Sejahtera II, Keluarga Sejahtera III dan Keluarga Sejahtera III plus. Istimewanya, data yang dihasilkan "by name' by address".  

Itulah sebuah strategi cemerlang BKKBN dalam membuka peluang bagi peserta KB untuk berusaha di kegiatan ekonomi produktif keluarga. Sehingga norma "bahagia sejahtera" dalam NKKBS bisa diwujudkan. Bukan hanya norma "keluarga kecil" saja. Sukses itu membawa Presiden Soeharto menerima award dari sejumlah lembaga dunia. Satu di antaranya berupa "UN Population Award".

Penghargaan itu diterima pada dasawarsa 1989. Satu tahun sebelumnya, Presiden Soeharto  menerima "Global Statement Award" dari population Institute, AS. Penghargaan ini selanjutnya diberi nama "Soeharto Award" dan untuk kali pertama diterima oleh Presiden Zimbabwe. Penghargaan lainnya, oleh UNFPA (Dana Kependudukan PBB) Indonesia ditetapkan sebagai satu dari empat negara di dunia sebagai "Center of Excellence" di bidang KB dan pemberdayaan keluarga.  Sejak penetapan itu, tepatnya di dasawarsa 1990, puluhan negara dengan ratusan perutusan berguru program KB dan pemberdayaan keluarga di Indonesia. Banyak desa menjadi wilayah percontohan yang dikunjungi delegasi asing.

Tak ketinggalan, BKKBN aktif  memberikan pelatihan  dengan materi pokok kesehatan reproduksi dan kontrasepsi kepada semua mitra kerja. Calon kepala desa, kepala desa terpilih, camat hingga bupati dan walikota juga menjadi target sasaran pelatihan. Termasuk Institusi Masyarakat Pedesaan (IMP) dan banyak Kelompok Kegiatan (Poktan) lainnya. Kunci dari pergerakan di lapangan yaitu para Petugas KB/Penyuluh Lapangan KB (PKB/PLKB). Mereka dibantu para PPKBD (Pembantu Pembina KB Desa) dan sub-PPKBD, atau lebih dikenal sebagai kader KB. Mereka terserak hingga ke ujung dusun. Berapi-api mendengungkan: "KB itu penting,"KB itu untuk membangun keluarga sejahtera. KB itu memutus rantai kemiskinan".  Maka lahirlah slogan pada masa sekitar 1980an yaitu, "2 Anak Cukup. Laki Perempuan Sama Saja".

Perjalanan sejarah BKKBN sangat dinamis dan terus berkembang seiring dengan perkembangan jaman.  Terjadi empat tahap dalam transisi demografi Indonesia yang dipengaruhi oleh kebijakan Pemerintah serta dukungan dari mitra kerja strategis.  Pada awal pembentukan, BKKBN hanya fokus pada Pasangan Usia Subur (PUS) dan Peserta Baru (PB) KB. Pelaksanaan kegiatannya masuk dalam  tahap Perluasan jangkauan.  Pada tahap kedua, BKKBN melangkah pada  PUS, PB dan Peserta Aktif (PA), yang dilaksanakan melalui tahap  Pembinaan .

Tahap ketiga, BKKBN mulai "menggoreng" program terkait kesertaan ber-KB. Badan ini menghitung kesertaan ber-KB melalui angka kontrasepsi (Contraceptive Prevalence Rate/CPR). Ketika itu telah muncul kebutuhan masyarakat akan  pelayanan KB dan kesehatan reproduksi. Konteks dalam hal ini adalah unmet need (kebutuhan KB yang belum terpenuhi).  Tahap keempat, setelah CPR > 55% BKKBN mulai masuk ke tahap Pembudayaan & Kemandirian. Pada tahap ini BKKBN lebih memperkuat pencapaian tujuan pembangunan nasional melalui berbagai kegiatan pembangunan keluarga.  Hal ini sangat penting, sebab Penduduk Tumbuh Seimbang (PTS) yang menjadi salah satu "goals" hanya bisa dicapai jika TFR stabil pada kisaran 2,1 selama 1 generasi (20-25 tahun).

Pada tahap inilah BKKBN melangkah pada tujuan kualitatif. Tahap  yang menonjolkan  nilai/value dan norma yg terkait dengan pembangunan keluarga. Nilai-nilai kualitatif ini mendasari peluncuran Indeks Pembangunan Keluarga (IPK) pada 2020. Indeks dalam IPK terdiri dari Ketenteraman, Kebahagiaan dan Kesejahteraan. Indikator ini  diadopsi dari berbagai kegiatan Pendataan Keluarga yang dilaksanakan BKKBN di tahun-tahun sebelumnya.  Hal ini sejalan dengan pengukuran Indeks Pembangunan Manusia (IPM) karena individu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keluarga.

Atas semua kerja itu pada periode 2000-2010 rata-rata kelahiran di Indonesia menurun. Pemerintah berhasil menekan jumlah kelahiran setiap tahun yang hanya berkisar 4,5 juta bayi. Kondisi ini menempatkan Indonesia pada peringkat ke-4 negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia setelah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat.

Dua pakar ekonomi masa itu, Wijoyo Nitisastro dan Iskandar, pernah memproyeksikan pertumbuhan penduduk Indonesia masa depan.

Data yang digunakan adalah Sensus Penduduk 1961 dan 1971. Proyeksi mereka: jumlah penduduk akan meningkat dengan cepat dan mencapai 330 juta jiwa pada  2010.  Namun, hasil Sensus Penduduk 2010 justru menunjukkan jumlah penduduk Indonesia hanya mencapai  titik pertumbuhan  237,6 juta jiwa.  Artinya, program KB berhasil mencegah  hampir 100 juta kelahiran. Itu lantaran  masifnya program KB dibumikan di seluruh daerah di Indonesia.

Keberhasilan menekan laju pertumbuhan penduduk ini telah membawa manfaat yang besar bagi pembangunan dan ketahanan nasional Indonesia. Yakni meningkatnya usia harapan hidup dari 45 tahun pada  1961 menjadi 65 tahun pada  1996; penurunan proporsi anak di bawah usia 15 tahun telah meringankan beban pembiayaan dalam pemenuhan kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, kesehatan, pendidikan. 

Juga makin pendeknya waktu untuk melahirkan dan merawat anak memungkinkan perempuan untuk masuk bursa kerja; meningkatnya partisipasi Sekolah Dasar dari 41% pada tahun 1968 menjadi 94% pada tahun 1996. Sedangkan partisipasi Sekolah Menengah setingkat SMP meningkat dari 62% tahun 1993 menjadi 80% tahun 2002.

Tentu semua keberhasilan tersebut terukir berkat kuatnya komitmen stakeholders di semua tingkatan. Didukung Sumber Daya Manusia yang berkualitas dalam jumlah yang cukup. Tak terkecuali juga fasiltas sarana dan pra sarana yang memadai.  Pengaruh pendidikan juga mampu menurunkan angka fertilitas total dan meningkatkan angka partisipasi murni SMA (APM SMA) pada tahun 2019 yang berarti Indonesia telah makin meningkat kualitas pendidikannya.

Di tengah dinamika perjalanan program KB, menurunnya TFR secara konsisten dalam waktu panjang telah memberikan dampak positif bangi bangsa Indonesia. TFR yang telah turun menjadi pintu masuk dalam menyambut hadirnya periode bonus demografi di Indonesia di mana angka ketergantungan (defendency ratio) lebih kecil dari 50. Akan masuknya Indonesia dalam periode bonus demografi telah diprediksi dan diingatkan oleh pakar demografi dari Universitas Indonesia, Prof Sri Moertiningsih Adioetomodi tahun 2000-an. Menurutnya, bonus demografi akan dialami Indonesia pada rentang waktu  2015-2035.

Bahkan beberapa provinsi justru sudah memperoleh manfaat bonus demografi sejak 2005.  Peluang bonus demografi harus dipersiapkan cukup panjang melalui berbagai program nasional. Di antaranya program KB. Bila saja gagal meraih, bonus tersebut akan menjadi bencana demografi.

Kaum milenial adalah generasi menjadi garda terdepan dalam menyambut datangnya bonus demografi. Karena itu mereka harus dipersiapkan dengan matang. Di antaranya dalam hal pendidikan, keterampilan dan perencanaan berkeluarga karena adanya persaingan yang makin besar ke depannya dalam kehidupan dengan adanya ledakan jumlah penduduk produktif sehingga perlu merencanakan kehidupan dengan lebih baik.

Memasuki Era Reformasi, program KB tetap bergerak. Sayangnya tak sedinamis sebelumnya. Strategi dan pendekatannya telah berubah  mengikuti implementasi kebijakan Otonomi Daerah sejak awal 2000. Kewenangan BKKBN pusat berpindah ke Pemerintah Kabupaten dan Kota.

Terjadi desentralisasi kewenangan dari sebelumnya sentralistik.  Sistem demokrasi yang berkembang kala itu menjadi faktor yang mempengaruhi capaian program BKKBN.

Di tengah suasana itu, tahun 2009 pemerintah menerbitkan UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.  Dari  aspek legalitas, Undang-undang Nomor  52 Tahun 2009 ini selanjutnya ditindaklanjuti dengan  Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2010 Tentang Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Perpres ini membawa perubahan nomenklatur BKKBN  dari Badan Koordinasi dan Keluarga Berencana Nasional menjadi  Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.

Pada perubahan itu, akronim nama lembaga tetap memakai BKKBN. Namun kata "koodinasi" dihapus.  Cakupan program dipertegas, mencakup Kependudukan, KB dan Pembangunan Keluarga. Perubahan ini berpengaruh juga pada kewenangan pelaksaaan program KB pada masa tersebut hingga saat ini.

Sayangnya di periode sulit itu, BKKBN hadir bukan sebagai lembaga setingkat kementerian. Padahal lembaga ini harus  mengkoordinasikan program antar mitra kerjanya. Sungguh berat tugas BKKBN saat itu maupun hingga kini. BKKBN tidak diberi "legal standing" yang kuat.

Pada era transisi kebijakan pengelolaan kelembagaan tersebut, pergerakan program melambat. Semua kerja di bawah kendali Pemerintah Kabupaten dan Kota. Mereka memiliki kewenangan penuh terhadap program pengendalian pertumbuhan penduduk melalui KB.

Lembaga BKKBN banyak yang dilebur dan bergabung dengan instansi lain. Ada dalam bentuk Dinas. Banyak pula hanya setingkat Kantor. Saat itu jumlah PKB/PLKB ikut terpangkas. Dari sebelumnya sekitar 27.000 orang, menyusut menjadi hanya 15.000 PKB/PLKB. Menurunnya jumlah mereka mempengaruhi semangat kader KB yang aktifitasnya juga ikut melemah.

Alhasil, sejumlah indikator KB di periode tersebut berada di posisi stagnan. Berdasarkan SDKI (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia), beberapa di antaranya bahkan turun. Sebagai contoh adalah TFR. Indikator ini  berada pada posisi "tetap" sejak SDKI 2002, SDKI 2007 dan SDKI 2012

Baru di 2017 TFR kembali bergerak turun dari 2,6 menjadi 2,4.  Saat itu, Indonesia memang berada pada situasi  transisi demografi. Suatu fase di mana tingkat kelahiran dan kematian yang tinggi menjadi rendah karena ekonomi suatu negara atau wilayah berkembang dari ekonomi pra-industrial menjadi ekonomi yang terindustrialisasi. Namun juga bisa terjadi karena perubahan sistem atau kebijakan pemerintah.

Sebagian besar negara maju telah melewati proses transisi demografi dan memiliki tingkat kelahiran yang rendah. Sementara sebagian besar negara berkembang masih mengalami proses transisi ini. Maka, sebuah kewajaran bagi Indonesia bila di era-era tertentu capaian program bergerak demikian dinamis.

Dinamisasi program KB itu juga ditandai dengan perangkapan jabatan. Suatu pertanda bahwa betapa strategisnya BKKBN dalam konstelasi pembangunan nasional. Di awal reformasi, Menteri Pemberdayaan Perempuan pernah merangkap jabatan sebagai Kepala BKKBN (Menteri PP/Kepala BKKBN).

Pada era orde baru, Menteri Negara Kependudukan pernah merangkap sebagai Kepala BKKBN (Menneg Kependudukan/Kepala BKKBN).   Program yang bergerak dinamis diwarnai juga dengan berubahnya slogan BKKBN dari "2 Anak Cukup" menjadi "2 Anak Berkualitas". Namun pada perjalanannya slogan ini kembali mengusung jatidiri awal "2 Anak Cukup". 

Kampung KB juga menjadi icon tersendiri bagi perjalanan program KB. Bukan hanya program BKKBN saja yang hadir di Kampung KB. Program intervensi pemberdayaan masyarakat dari berbagai instansi pun ikut mewarnai perjalanan pembangunan di Kampung KB.

Nuansa koordinasi sangat kental di dalam Kampung KB. Kampung setingkat dusun ini diinisiasi kelahirannya oleh Presiden Joko Widodo. Peluncurannya dilakukan sendiri oleh Presiden pada 14 Januari 2016 di Kabupaten Cirebon (Jawa Barat).

BKKBN bukanlah sebuah lembaga yang mengurusi alat dan obat kontrasepsi saja. Tetapi lembaga yang ikut mengembangkan mental manusia.

Untuk itu, dalam satu periode tertentu di era reformasi, BKKBN sempat mengembangkan program baru dengan title "Revolusi Mental Berbasis Keluarga".  Program ini didasarkan pada tiga dari sembilan agenda prioritas "Nawacita" Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo.

Di era reformasi, generasi muda juga mendapat intervensi total BKKBN. Strategisnya pemberdayaan generasi muda menjadikan BKKBN menelurkan satu program inovasi khusus yang cukup cemerlang, yakni Generasi Berencana atau GenRe. Inilah langkah awal BKKBN mulai mengalihkan garapan dari PUS ke generasi milenial.

Salah satu ranting dari program GenRe itu adalah Pusat Informasi Konseling (PIK) Remaja, PIK Mahasiswa, pemilihan Duta GenRe dan beberapa sub kegiatan lainnya.

Dilakukan secara serius dan total.   Karena generasi milenial adalah pemilik masa depan program BKKBN.  Pergeseran nilai-nilai sosial dalam masyarakat dewasa ini telah membawa pesan kuat bahwa  program KB harus dikemas ulang agar diminati masyarakat. Khususnya oleh generasi milenial. Populasi mereka cukup besar, mencapai 70 juta jiwa.

Supaya program-program yang diluncurkan  digandrungi generasi milenial dan zilenial,  BKKBN telah mengubah paradigmanya. Disadari bahwa generasi milenial kurang  "selera" dengan isu-isu tentang alat/obat kontrasepsi, meski sekalipun ditujukan sebagai "kendaraan" menuju pembentukan norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Karenanya program perlu kendaraan baru yang "sexy". Yang membuat mereka  "fun". Sebuah program yang  mudah dicerna, gue banget, dan ga pake ribet. BKKBN mencoba menangkap selera mereka. Di penghujung 2019, BKKBN telah melakukan rebranding atas logo, jingle dan tagline. Semuanya dikemas dengan marwah kekinian. Mencoba mendekat-dekatkan dengan selera generasi millenial dan zillenial.

Kini, di awal 2020, ketiganya itu telah berubah. Logo menuju cara baru untuk generasi baru dikemas begitu sederhana namun mengena dan sarat pesan. Jingle diimpitkan dengan selera generasi  milenial. Tagline pun demikian:  'Kalau Terencana, Semua Lebih Mudah'. Kemudian  diperbaharui kembali menjadi "Berencana Itu Keren". Semuanya bernuansa milenial.

BKKBN memang telah berubah. Bila dulu pendekatannya adalah kaum perempuan Pasangan Usia Subur  dengan alat kontrasepsi sebagai ujung tombaknya. Kini,  tidak lagi. Remaja menjadi fokus. Pendekatan ini didasarkan atas asumsi bahwa jika kaum milenial memiliki pola pikir keluarga kecil sejak awal, maka pada saat mereka memasuki bahtera keluarga, dengan sendirinya akan memiliki keyakinan untuk mengatur jarak dan jumlah kelahiran yang ideal baginya. Perjalanan panjang sejarah program KB menunjukan bahwa komitmen menjadi kata kunci suksesnya penyelenggaran program pada masa itu. Tentu saja komitmen dari para penyelenggara Negara. Termasuk keterlibatan lembaga swadaya masyarakat (LSM), tokoh agama dan masyarakat serta organisasi swasta lainya.

Tentunya, pergerakan pembangunan keluarga dari pemerintah ini perlu diikuti dengan adanya kesadaran yang sama oleh keluarga di Indonesia dengan sama-sama bergerak dari setiap rumah, setiap keluarga bahkan setiap individu untuk dapat terus meningkatkan kepedulian, tekad dan tanggung jawab bersama dalam peningkatan SDM Indonesia.  Dengan adanya kesadaran bersama tersebut, maka hari keluarga tidak hanya diperingati pada tanggal 29 Juni saja, namun sejatinya setiap hari adalah hari keluarga dimana setiap keluarga akan dapat berbagi cinta kasih, saling mengingatkan dalam menerapkan 8 fungsi keluarga dan tentunya dapat semakin sehat, berpendidikan, sejahtera, bermartabat dan berkarakter menuju Indonesia Emas.  

Selamat hari keluarga bagi seluruh keluarga Indonesia! 

Notes : tulisan ini merupakan cuplikasn pemikiran Komunitas Homeros - pemerhati dan praktisi kependudukan dan keluarga Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun