Memasuki Era Reformasi, program KB tetap bergerak. Sayangnya tak sedinamis sebelumnya. Strategi dan pendekatannya telah berubah  mengikuti implementasi kebijakan Otonomi Daerah sejak awal 2000. Kewenangan BKKBN pusat berpindah ke Pemerintah Kabupaten dan Kota.
Terjadi desentralisasi kewenangan dari sebelumnya sentralistik. Â Sistem demokrasi yang berkembang kala itu menjadi faktor yang mempengaruhi capaian program BKKBN.
Di tengah suasana itu, tahun 2009 pemerintah menerbitkan UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.  Dari  aspek legalitas, Undang-undang Nomor  52 Tahun 2009 ini selanjutnya ditindaklanjuti dengan  Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2010 Tentang Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Perpres ini membawa perubahan nomenklatur BKKBN  dari Badan Koordinasi dan Keluarga Berencana Nasional menjadi  Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.
Pada perubahan itu, akronim nama lembaga tetap memakai BKKBN. Namun kata "koodinasi" dihapus. Â Cakupan program dipertegas, mencakup Kependudukan, KB dan Pembangunan Keluarga. Perubahan ini berpengaruh juga pada kewenangan pelaksaaan program KB pada masa tersebut hingga saat ini.
Sayangnya di periode sulit itu, BKKBN hadir bukan sebagai lembaga setingkat kementerian. Padahal lembaga ini harus  mengkoordinasikan program antar mitra kerjanya. Sungguh berat tugas BKKBN saat itu maupun hingga kini. BKKBN tidak diberi "legal standing" yang kuat.
Pada era transisi kebijakan pengelolaan kelembagaan tersebut, pergerakan program melambat. Semua kerja di bawah kendali Pemerintah Kabupaten dan Kota. Mereka memiliki kewenangan penuh terhadap program pengendalian pertumbuhan penduduk melalui KB.
Lembaga BKKBN banyak yang dilebur dan bergabung dengan instansi lain. Ada dalam bentuk Dinas. Banyak pula hanya setingkat Kantor. Saat itu jumlah PKB/PLKB ikut terpangkas. Dari sebelumnya sekitar 27.000 orang, menyusut menjadi hanya 15.000 PKB/PLKB. Menurunnya jumlah mereka mempengaruhi semangat kader KB yang aktifitasnya juga ikut melemah.
Alhasil, sejumlah indikator KB di periode tersebut berada di posisi stagnan. Berdasarkan SDKI (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia), beberapa di antaranya bahkan turun. Sebagai contoh adalah TFR. Indikator ini  berada pada posisi "tetap" sejak SDKI 2002, SDKI 2007 dan SDKI 2012
Baru di 2017 TFR kembali bergerak turun dari 2,6 menjadi 2,4.  Saat itu, Indonesia memang berada pada situasi  transisi demografi. Suatu fase di mana tingkat kelahiran dan kematian yang tinggi menjadi rendah karena ekonomi suatu negara atau wilayah berkembang dari ekonomi pra-industrial menjadi ekonomi yang terindustrialisasi. Namun juga bisa terjadi karena perubahan sistem atau kebijakan pemerintah.
Sebagian besar negara maju telah melewati proses transisi demografi dan memiliki tingkat kelahiran yang rendah. Sementara sebagian besar negara berkembang masih mengalami proses transisi ini. Maka, sebuah kewajaran bagi Indonesia bila di era-era tertentu capaian program bergerak demikian dinamis.
Dinamisasi program KB itu juga ditandai dengan perangkapan jabatan. Suatu pertanda bahwa betapa strategisnya BKKBN dalam konstelasi pembangunan nasional. Di awal reformasi, Menteri Pemberdayaan Perempuan pernah merangkap jabatan sebagai Kepala BKKBN (Menteri PP/Kepala BKKBN).