Mereka memanggilku Bu Daya, atau Mbak Daya khusus di kelas perasaan. Kata Pakde Iwan, aku adalah guru Bahasa Inggris yang manis. Bila tersenyum meringis bikin kebelet pipis,bertampang arab, arabpati nggenah.
 Kali ini rasanya mukaku  masih meronakan keunguan di wajah, ungu padam, bukan merah padam karena warna kulit yang  sawo matang. Aku masih menyimpan kesumat terhadap Gigip, murid kelas perasaanku yang pagi tadi absen menjemputku berangkat mengajar.
Masih tak habis pikir, bisa-bisanya Si Gigip berani melakukan itu padaku. Apalagi ada wanita lain, Halipah yang kulihat bersamanya, saat menggandeng sepeda bututnya menuju parkiran.Â
Aku harus melakukan sesuatu, apa yah? Masak nanya kenapa? Malu dong, kayak nggak ada orang lain ajjah. Aku harus balas dendam, kalau Gigip bisa dapat wanita lain, kenapa aku tidak? Aha, ide genit kutemukan, pas bersamaan dengan adegan, "braak!"buku di tanganku terjatuh. Agak jauh dari depan pintu kantor.
Dengan sigap Bije  merunduk bantu memungut buku, padahal dia sedang membawakan tas laptopku yang lumayan berat.Â
"Duk! Aduh," keningku terantuk kepalanya, persis seperti film india. Aih sungguh romantis, mata Bije memandangku lekat, aku tersipu, menunduk, malu. Kali ini tangannya akan mengusap keningku yang terantuk kepalanya tadi, kucegah.
" Ih, jangan Bije, gak boleh ya, kita bukan mahram kan?" Kuucapkan dengan nada selembut salju, mesra.
" Iya bu saya mengerti, tapi saya hanya ingin menyingkirkan sesuatu di kening ibu."
"Apa? Jangan bilang ada ulat hijau lagi loh ya?"
"Bukan bu, kali ini lain, rupanya ibu  digemari reptilia  deh. "
"Hah, reptil? Hewan melata? Aduh  Bijee, tolong diambil, idiih, jijik iih, ayo dong Bije, cepetan!"
"Iya, iya bu sebentar, itu masih ngumpet di dalam rambut, sebentar ya?"
" Nah ini bu, tadi kelihatan, sembunyi  di antara rambut dan jilbab ibu, sekarang berubah warna dia, tuh bu, lihat!" Bije dengan santainya memegang buntut bunglon sebesar jari kelingking seperti cicak, lalu mengelus kepalanya, jinak.
Jangan-jangan piaraan Bije ikut sekolah juga? Oh tidak.
Ya ampun beneran! Itu bunglon, serasa tertimpa duren kepalaku, Â puyeng, ingin pingsan tidak berani, takut dibantu Bije lagi, ntah piaraan apa lagi nanti yang akan nenmpel di tubuhku. " Ihh ngeriii."
 Tak jadi terpesona aku melihat Bije, yang ada hanya takut sama bunglon di tangannya itu.Â
Ku edarkan pandangan, bersirobok dengan mata Si Gigip yang hanya ternganga melihatku hampir pingsan.
"Giiip! Ada apa kau ini, bantu Bu Daya kek, bawain ini buku - buku ke meja ibu."
Sigap aku berdiri, seolah tak terjadi apa-apa.
 "Dan kau Bije, taruh saja laptop ibu di meja juga."
Sungguh, ini adalah pagi yang mengherankan, mimpi apa aku semalam, kenapa kesialan menimpaku terus terusan. Hadeeh, mungkin ini efek sholat subuh kesiangan. Â Gara-gara Si Gigip, Â kemarin sudah pulang sore masih juga ingin melanjutkan kelas perasaan lewat chat WA sampai tengah malam. Ya Allah ampunilah hambamu ini, kuberjanji tidak akan melakukan kekonyolan itu lagi.
" Terimakasih Bije, Gigip , kalian boleh pergi."Â
"Ya bu sama-sama." Bije tegas menjawab, berlalu dari hadapanku dengan tetap mengelus kepala bunglon. "Iiihh, nakutin."
"Ada apa Gip, kenapa kau masih di sini?"
" Ngng, nganu Bu, Maaf tadi ban saya bocor, jadi tidak bisa jemput ibu."
" Oh ya?, Iya gak papa masuklah, nanti saja penjelasan lengkapnya, Â kurang 5 menit bel berbunyi."
" Iya bu!"
Punggung Gigip kutatap, sepertinya dia tidak berbohong, baju putihnya nampak basah keringat. Dan betul, tak lama sesudah Gigip keluar, bel masuk berbunyi. Aku masuk kelas, dengan kepala masih pusing, membayangkan bunglon tadi.
Mampir toilet sebentar, merapikan jilbab, melihat barang kali ada hewan melata lain di muka atau kepalaku. Rasanya aman. Duh, lega, kuteguk segelas air putih hangat, berangkat menuju kelas dua belas B, tempat Gigip dan Bije belajar.
Di dalam kelas aku mengajar seperti biasa, seperti tak terjadi apa-apa, bahkan meskipun Bije berkali kali mengupil kubiarkan saja. Gigip pun tak kuhiraukan, padahal aku tahu, kuku di jempolnya hampir habis digigit- gigit, sambil menatap diriku saat menjelaskan tentang Travelling . Entah apa yang ada di otaknya, kenapa harus jempol yang jadi sasaran? Apa mungkin dia ingin traveling ke hatiku?
Ah biarlah, hari ini aku sedang tidak ingin berurusan dengan lelaki. Usai mengajar, aku kembali ke kantor, duduk istirahat, minum teh. Baru beberapa helaan nafas Gigip sudah terlihat di depan mata. Kuarahkan pandangan  pada dua  tangannya yang membawa buku Lembar Portofolio teman-temannya. Kulihat,  itu kuku dari jempol sampai kelingking  bergerigi, "Haduuh doyan amat makan jari Si Gigip ini, " batinku
" Ya Gip taruh saja di meja." Perintahku pada Gigip.
" Eng , nanti pulang sama saya ya bu." Gigip berkata sangat pelan.
Aku pura-pura tak mendengar, melanjutkan mengoreksi tugas murid-murid, kuberikan kode lirikan sambil memainkan kacamata naik turun yang yang artinya" iya".Â
Gigip girang bukan kepalang, diapun keluar dari kantor guru dengan sesungging senyuman yang tak pernah pudar.
Di kantor, kulihat ada guru Matematika, Â Pak Ping namanya, dia dari dulu suka memperhatikanku, hanya saja kuabaikan, bagiku pamali kencan dengan teman, bisa heboh satu kantor kalau mengetahuinya.
"Ehem, Bu Daya nanti mau pulang sama Gigip lagi?" tanyanya menyelidik.
"Iya Pak Ping, lumayan daripada ngojeg."
Jawabku sekenanya.
"Ada hubungan apa ibu sama Si Gigip, kok tiap hari pulang bareng?"
"Halah pak, wong saking rumah Gigip kan jalannya melewati rumah saya, jadi ya sama samalah."
"Oh begitu, kalau pulang sama saya mau?"
"Cie,cie?" Bu Ester, salah seorang guru mulai menggoda.
"Diterima saja bu, mobilnya Pak Ping baru loh, ini habis dibikinkan bubur jenang merah, hayuk bu dimakan sama-sama." Lanjut Bu Ester tak berdosa.
"Oh ya, mobil apa pak?" Tanyaku baru tahu, sambil mengincip sesendok bubur jenang merahnya.
" Pick Up bu, sekalian buat ngangkut anak-anak yang mau nyari nunutan pulang."
"Oh ya, mulia sekali anda Pak Ping."
"Ah biasa aja bu, ini sambil bisnis, nanti anak-anak yang numpang saya kenakan biaya seribuan, kalo ibu jadi bareng saya, nanti tolong yang minta uang ke anak-anak ibu yah, keuntungan 30-70, untuk ibu 30 persen."
Lancar, tanpa berdosa dia menjelaskan tugas dan fungsiku yang mirip kenek.
Oh Em Ji, Helloooo...wajah manis begini mau dijadikan kenek, wah bisa-bisa bukan hanya uang yang kudapatkan, tapi hati merekapun bisa aku luluh lantakkan.
"Waduh pak, maaf bukan menolak, tapi saya lebih suka naik sepeda motor, kalau naik mobil suka mual, mungkin gak bakat jadi orang kaya kali ya?"
"Ah ibu bisa aja, dicoba dulu deh bu, siapa tahu dengan saya, tidak mual, bersama Mas Ping, hilangkan rasa mual."
Gila ini , dia sudah memanggil dirinya dengan sebutan Mas, itu panggilan sayang bagi orang jawa, dengan tampang ke gantengan lagi, iya sih dia emang ganteng mirip Shaheer Seikh tapi kalau harus jadi kenek? Duh, duh, makin emoh saja rasanya.
" Ah Pak Ping, maafkan daku ya pak? Bukan tak mau, tapi saya terlanjur komitmen sama Si Gigip, anak didik kita. Mengingkari janji tak baik kan pak? Mungkin lain kali yah, kalau sedang tidak ada janji dengan Si Gigip ."
" Baiklah bu, saya tunggu, semoga suatu saat ibu tidak terikat komitmen lagi, kutunggu jandamu."
Kata-kata Pak Ping mengingatkanku pada tulisan yang sering kutemukan di bak truk pengangkut sapi. Dia menjawab seraya berlalu sambil ngeloyor pergi meninggalkanku sendiri dengan Bu Ester, Â menghabiskan sisa bubur jenang merah berdua.
"Kan emang sudah janda, ngapain ditunggu lagi," gumam Bu Ester menggoda.
Kupukul Bu Ester lembut, dengan remote mobil-mobilan anaknya yang dari tadi tergeletak di meja.
"Tapi aku juga nggak mau sama duda, mauku sama daun muda, wek." Jawabku spontan, berbisik ke telinga  Bu Ester.
"Hahaha," Bu lina mendelik dengan tawa.
Kubiarkan saja.Â
Usai sudah kegiatan sekolah hari ini. Sebelum pulang aku pergi ke toilet, mematut diri di depan cermin, menambahkan dempul bedak beberapa senti, agar tertutup kerut dan legam di wajah ini, berubah jadi glowing," taraa masih pantes kok bersanding dengan yang lebih muda seperempat abad dari usiaku." Aku membatin kegenitan.
Ku langkahkan kaki ke luar kantor yang sudah sepi, ada Gigip menanti.
" Mbak Daya saya bawakan ya tas laptopnya, kalau perlu hati mbak juga."
"Boleh-boleh, ini tasnya. Untuk hati, nanti dulu, malu ih dilihat orang, kau duluan lah tunggu di bawah pohon Kamboja seperti biasa."
" Ah, iya mbak, maaf lupa, habis kangen sih." Mengerdipkan mata dia.
Kubiarkan Gigip berlalu mengambil motornya. Sesudah kupastikan dia keluar sekolah,  aku melangkahkan kaki, melenggang seperti macan kelaparan, berjalan gemulai menuju pintu ke luar  gerbang sekolah.
Mataku melihat Gigip sedang menungguku di bawah pohon Kamboja, agak jauh dari sekolah, seberang jalan. Berbunga hatiku menujunya. Belum dua langkah, N Max hitam Bije  telah menghadang.
"Bareng saya bu?"
Haduh, aku kok sekarang takut yah sama Bije. Bayangan ulat dan bunglon masih terlihat, mungkin mereka sedang bersama Bije saat ini, ihh nggak ah, lagian Gigipku sudah menunggu.
" Oh maaf ya Bije, lain kali yah, itu ibu sedang ditunggu."
" Oh, baiklah bu, saya duluan kalau begitu, semoga besok pagi ban sepeda motor Gigip bocor lagi."
Ha? Do'anya kok jelek, jangan-jangan dia yang sudah bikin ban motor Gigip bocor, Â ah bodo amat, Â biarin ajjah, yang penting hari ini aku bisa bareng sama Gigip.
 Kuhampiri Gigip yang tersenyum manis, memamerkan gigi taringnya, helm hitam diulurkan, kali ini kulihat dia sudah tidak lagi menggigit jarinya, berganti hatiku yang tergigit, aw tapi tidak sakit.
" Nanti langsung lanjut kelas perasaan ya mbak Daya." Tutur Jun sambil menyetir sepeda motornya.
"Iya, kutahu apa yang kau mau."Â
Aku dan Gigip berlalu, mengikuti arah mata angin dengan cinta bertiup syahdu. Sementara dari kejauhan Bije menatap dengan mata nyalang, menyimpan dendam, mencari cara menikung cinta Gigip dan Mbak Daya, agar hati Mbak Daya tak tergigit Gigip lagi.
Suramadu 28122018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H