Kupukul Bu Ester lembut, dengan remote mobil-mobilan anaknya yang dari tadi tergeletak di meja.
"Tapi aku juga nggak mau sama duda, mauku sama daun muda, wek." Jawabku spontan, berbisik ke telinga  Bu Ester.
"Hahaha," Bu lina mendelik dengan tawa.
Kubiarkan saja.Â
Usai sudah kegiatan sekolah hari ini. Sebelum pulang aku pergi ke toilet, mematut diri di depan cermin, menambahkan dempul bedak beberapa senti, agar tertutup kerut dan legam di wajah ini, berubah jadi glowing," taraa masih pantes kok bersanding dengan yang lebih muda seperempat abad dari usiaku." Aku membatin kegenitan.
Ku langkahkan kaki ke luar kantor yang sudah sepi, ada Gigip menanti.
" Mbak Daya saya bawakan ya tas laptopnya, kalau perlu hati mbak juga."
"Boleh-boleh, ini tasnya. Untuk hati, nanti dulu, malu ih dilihat orang, kau duluan lah tunggu di bawah pohon Kamboja seperti biasa."
" Ah, iya mbak, maaf lupa, habis kangen sih." Mengerdipkan mata dia.
Kubiarkan Gigip berlalu mengambil motornya. Sesudah kupastikan dia keluar sekolah,  aku melangkahkan kaki, melenggang seperti macan kelaparan, berjalan gemulai menuju pintu ke luar  gerbang sekolah.
Mataku melihat Gigip sedang menungguku di bawah pohon Kamboja, agak jauh dari sekolah, seberang jalan. Berbunga hatiku menujunya. Belum dua langkah, N Max hitam Bije  telah menghadang.
"Bareng saya bu?"
Haduh, aku kok sekarang takut yah sama Bije. Bayangan ulat dan bunglon masih terlihat, mungkin mereka sedang bersama Bije saat ini, ihh nggak ah, lagian Gigipku sudah menunggu.