"Ada apa Gip, kenapa kau masih di sini?"
" Ngng, nganu Bu, Maaf tadi ban saya bocor, jadi tidak bisa jemput ibu."
" Oh ya?, Iya gak papa masuklah, nanti saja penjelasan lengkapnya, Â kurang 5 menit bel berbunyi."
" Iya bu!"
Punggung Gigip kutatap, sepertinya dia tidak berbohong, baju putihnya nampak basah keringat. Dan betul, tak lama sesudah Gigip keluar, bel masuk berbunyi. Aku masuk kelas, dengan kepala masih pusing, membayangkan bunglon tadi.
Mampir toilet sebentar, merapikan jilbab, melihat barang kali ada hewan melata lain di muka atau kepalaku. Rasanya aman. Duh, lega, kuteguk segelas air putih hangat, berangkat menuju kelas dua belas B, tempat Gigip dan Bije belajar.
Di dalam kelas aku mengajar seperti biasa, seperti tak terjadi apa-apa, bahkan meskipun Bije berkali kali mengupil kubiarkan saja. Gigip pun tak kuhiraukan, padahal aku tahu, kuku di jempolnya hampir habis digigit- gigit, sambil menatap diriku saat menjelaskan tentang Travelling . Entah apa yang ada di otaknya, kenapa harus jempol yang jadi sasaran? Apa mungkin dia ingin traveling ke hatiku?
Ah biarlah, hari ini aku sedang tidak ingin berurusan dengan lelaki. Usai mengajar, aku kembali ke kantor, duduk istirahat, minum teh. Baru beberapa helaan nafas Gigip sudah terlihat di depan mata. Kuarahkan pandangan  pada dua  tangannya yang membawa buku Lembar Portofolio teman-temannya. Kulihat,  itu kuku dari jempol sampai kelingking  bergerigi, "Haduuh doyan amat makan jari Si Gigip ini, " batinku
" Ya Gip taruh saja di meja." Perintahku pada Gigip.
" Eng , nanti pulang sama saya ya bu." Gigip berkata sangat pelan.
Aku pura-pura tak mendengar, melanjutkan mengoreksi tugas murid-murid, kuberikan kode lirikan sambil memainkan kacamata naik turun yang yang artinya" iya".Â