"Sadar An, lo kenapa sih malah kaya gini!"
Aku hanya melihat sekilas keadaan Aan. Tampak kalau tubuh lelaki itu kaku hingga ketika Bayu mengguncangnya, seluruh tubuh Aan malah terangkat bersamaan. Selain itu, mata Aan yang tadi terpejam kini melotot, membuat bulu kudukku meremang hebat. Tatapannya kosong, bola matanya yang hitam kini seolah membesar dan menyingkirkan bagian putihnya.
Terlihat tubuhnya kini ditahan oleh Banyu dan Wayan, sementara Sopian berada di belakang berusaha menopang Aan semampunya. Mereka terlihat seperti orang-orang yang tengah menahan beban berat.
Beberapa tetua desa datang tak lama kemudian. Mereka merapalkan doa-doa yang sama sekali tak terlihat jelas di telingaku.
Tepat ketika doa-doa itu selesai, tiba-tiba Aan berteriak. Suaranya melengking, matanya yang semula hitam kini berubah pelan-pelan menjadi normal. Lalu setelahnya ia muntah. Cairan mirip lumpur keluar begitu banyak. Melihatnya aku sontak memalingkan wajah, begitu pula dengan Nita dan Dinan yang tak kuasa menahan pekikan.
Setelah itu Pak Kades buru-buru menghampiri kami. Wajahnya yang selalu ramah kini berubah pucat pasi.
"Kalian balik aja ke rumah saya. Nanti kalau Aan sudah sadar saya akan kabari lagi," kata Pak Kades. Awalnya aku hendak menolak karena bagaimana pun aku sangat mengkhawatirkan keadaan Aan dan ingin membantu kawan-kawan yang lain. Namun ketika melihat Dinan dan Nita yang ketakutan aku pun memilih untuk kembali.
Selama perjalanan kedua perempuan itu menempel di kedua sisi tubuhku. Hal itu membuat kami tak bisa leluasa berjalan.
"Awalnya kenapa sih Dan, kok bisa kaya gitu?" tanya Nita.
"Ya kaya biasa, pas pulang dia ngga kenapa-kenapa malah masih bisa ngobrol dulu. Tapi setelah itu dia malah tidur, dan pas Banyu bangunin anaknya ngga mau bangun. Malah waktu itu Sopian sama Wayan coba buat angkat badannya Aan, tapi tetep aja ngga bangun."
"Aan ngga sembarangan kan selama di desa. Jangan-jangan malah tuh anak bikin yang ngga-ngga!" Dimana menyahut, tangannya entah kenapa meremas lengan atasku semakin erat.