Aku berinisiatif untuk menemani. Kami berdua akhirnya membawa dua ember untuk diisi. Sepanjang perjalanan aku bisa melihat rumah-rumah warga yang jaraknya berjauhan. Kata Pak Kades, tempat itu diisi oleh tiga puluh kepala keluarga, namun karena jarak rumah yang kentara, desa jadi terasa begitu sepi. Belum lagi saat siang hari orang-orang sibuk pergi ke gunung atau ladang, membuat desa tersebut terasa begitu kosong.
"Gue aja yang ke dalem An, lo tunggu di sini ya," kataku pada Aan yang dengan mudah pria itu setujui.
Inilah alasanku ingin ikut dengan Aan, selain membantu aku juga mau sekalian membasuh muka. Air di sana sangatlah dingin, hingga membuatku sedikit kaget. Namun hasilnya sungguh luar biasa, wajahku yang awalnya terasa lembap kini berubah menjadi segar, kantuk yang aku rasakan sebelumnya hilang entah ke mana.
Aku kembali dengan dua ember tadi. Ketika aku mendekati Aan, lelaki itu tengah duduk di teras musala sambil mengunyah sesuatu.
"Makan apa lo?" tanyaku.
"Eh ini, tadi ada ibu-ibu kasih ubi rebus."
"Mana? Gue juga mau dong."
Aan menyengir, lalu menatapku seolah merasa bersalah. "Ngasihnya cuman satu, gue abisin deh."
Wah kurang asem, pikirku. Tapi mau bagaimana lagi, masa aku marah karena sebuah ubi rebus. Kami pun kembali ke bangunan anak laki-laki dan meneruskan untuk beres-beres dengan yang lain.
Sejak saat itu Aan seolah mendapatkan mujur kelewatan. Karena ke mana pun dia pergi, lelaki itu pasti bertemu dengan warga dan mendapatkan makanan cuma-cuma.
"Kali ini abis makan apa lo An?" tanya Banyu yang sedang menyeduh mi instan kuah untuk beberapa orang teman termasuk aku.