Memang benar kata orang-orang, KKN itu banyak kejadian ajaibnya.
Kali ini aku akan bercerita tentang pengalamanku selama KKN di tahun 2019 lalu. Pengalaman ini bukanlah pengalaman yang menyenangkan, apa lagi untuk temanku, sebut saja namanya Aan.
Aan bukanlah teman yang aku kenal dengan dekat sebelum KKN, namun ketika kelompok KKN keluar kami mau tak mau harus mengenal satu sama lain lebih jauh. Aan sendiri bukanlah tipe yang sulit di dekati, ia bahkan termasuk laki-laki easy going dan disukai oleh rekan-rekan yang lain karena selalu tanggap dan cepat dalam bekerja.
Namun masalah terjadi ketika kami sampai di lokasi KKN, tepatnya sebuah desa di daerah Jawa Barat.
Desa itu tergolong desa yang tertinggal. Letaknya di kaki gunung, sumber air mereka mengandalkan mata air di gunung tersebut. Di sana pun Listrik hanya akan menyala sampai senja, membuat kami harus memasang lentera untuk memperjelas penglihatan ketika malam datang.
Kehidupan masyarakat masih sangat kental dengan tradisi leluhur. Di beberapa kali kesempatan aku bahkan bisa melihat sesajen yang diletakkan di ujung jalan menuju gunung. Katanya sesajen itu diberikan agar para penduduk yang sebagian besar menggantungkan hidup mereka dari gunung tersebut bisa pulang dengan selamat setelah pendakian.
Aku sedikit banyak terkejut. Di antara majunya kota-kota seperti Bandung dan sekitarnya, ada daerah terpencil lain yang sama sekali tak terjamah.
Kala itu tim KKN kami terbagi menjadi dua. Yang perempuan menginap di rumah Pak Kades, sementara kami yang laki-laki menginap di sebuah bangunan yang katanya dulu merupakan bekas tempat bertemunya para sesepuh desa.
Bangunan itu hanya tak memiliki banyak ruangan, hingga untuk mandi kami harus menumpang di kamar mandi umum, sementara untuk makanan kami akan ikut masak di rumah Pak Kades. Jadi tak heran kalau setiap sore aku atau kawan lelakiku yang lain akan menenteng dua termos ke rumah Pak Kades, itu semua hanya agar kami merasa aman jikalau lapar menyerang tengah malam.
Kembali ke Aan, di hari pertama kami langsung operasi bersih di bangunan yang akan kami tinggali tersebut. Dibantu dengan teman-teman perempuan kami mulai menyapu area sekitar. Aan saat itu diminta Nita, rekan perempuan kami, untuk mengambil air di musala.
Aku berinisiatif untuk menemani. Kami berdua akhirnya membawa dua ember untuk diisi. Sepanjang perjalanan aku bisa melihat rumah-rumah warga yang jaraknya berjauhan. Kata Pak Kades, tempat itu diisi oleh tiga puluh kepala keluarga, namun karena jarak rumah yang kentara, desa jadi terasa begitu sepi. Belum lagi saat siang hari orang-orang sibuk pergi ke gunung atau ladang, membuat desa tersebut terasa begitu kosong.
"Gue aja yang ke dalem An, lo tunggu di sini ya," kataku pada Aan yang dengan mudah pria itu setujui.
Inilah alasanku ingin ikut dengan Aan, selain membantu aku juga mau sekalian membasuh muka. Air di sana sangatlah dingin, hingga membuatku sedikit kaget. Namun hasilnya sungguh luar biasa, wajahku yang awalnya terasa lembap kini berubah menjadi segar, kantuk yang aku rasakan sebelumnya hilang entah ke mana.
Aku kembali dengan dua ember tadi. Ketika aku mendekati Aan, lelaki itu tengah duduk di teras musala sambil mengunyah sesuatu.
"Makan apa lo?" tanyaku.
"Eh ini, tadi ada ibu-ibu kasih ubi rebus."
"Mana? Gue juga mau dong."
Aan menyengir, lalu menatapku seolah merasa bersalah. "Ngasihnya cuman satu, gue abisin deh."
Wah kurang asem, pikirku. Tapi mau bagaimana lagi, masa aku marah karena sebuah ubi rebus. Kami pun kembali ke bangunan anak laki-laki dan meneruskan untuk beres-beres dengan yang lain.
Sejak saat itu Aan seolah mendapatkan mujur kelewatan. Karena ke mana pun dia pergi, lelaki itu pasti bertemu dengan warga dan mendapatkan makanan cuma-cuma.
"Kali ini abis makan apa lo An?" tanya Banyu yang sedang menyeduh mi instan kuah untuk beberapa orang teman termasuk aku.
"Dikasih pisang gue. Gila enak banget!"
Lelaki itu duduk di atas tikar, berhadapan langsung dengan lentera yang baru saja dinyalakan.
"Lo pake pelet apa sih An? Kayanya warga banyak yang sayang sama lo," Indra yang baru saja menyeduh kopi bertanya.
"Ya namanya juga anak saleh, banyak yang sayang lah!"
Riuh suara protes kami terdengar, namun hal itu tak membuat Aan gusar. Ia malah berbaring dan tahu-tahu sudah tidur.
"Yah, kebiasaan ini anak. Belum juga isya udah tidur. Mana susah lagi banguninnya."
Aku langsung menoleh ke arah Aan begitu Banyu berkata demikian. Memang benar apa yang dikatakan Banyu, Aan terlampau sering tidur lebih awal dari pada yang lain dan saat di bangunkan akan susah bukan main.
Sekali dua kali mungkin tidak apa-apa, hanya saja kadang ketika kami evaluasi kegiatan bersama tim perempuan di rumah Pak Kades, Aan masih saja tak bisa dibangunkan. Alhasil bukan cuman dia yang kena dampaknya, tapi kami semua.
"Alamat Dinan marah lagi deh," ucap Indra dengan raut wajah tak enak. "Bangunin Nyu, males gue dengerin anak-anak cewek pada ngomel."
Banyu berdecak, namun walau pun begitu ia tetap saja menghampiri Aan dan mengguncang-guncang tubuhnya hanya agar lelaki itu lekas bangun. Tapi lagi dan lagi, Aan tidur bak mayat. Bahkan lelaki itu sama sekali tak merespons ketika aku ikut turun tangan memanggilnya.
Dari sana baik aku atau pun Banyu mulai merasa ada yang tidak beres.
Indra yang masih di sudut ruangan terlihat kaget ketika aku segera mendekati Aan dan ikut mengguncang-guncangkan tubuhnya. Sopian dan Wayan yang melihatnya pun bergabung denganku. Mereka bahkan berusaha mendudukkan Aan, dan hasilnya tetap nihil. Lelaki itu masih tertidur seolah tak diganggu dan diusik.
"Panggil Pak Kades Dan, cepet!"
Aku mengangguk mendengar perintah Wayan. Dengan cepat aku sambar senter dan berlari ke luar. Langkahku cepat sekali hingga aku tak sadar kalau sudah menggunakan sandal yang bukan pasangannya.
Entah karena panik atau bagaimana, aku merasa kalau rumah Pak Kades tak kunjung terlihat. Selain itu selama perjalanan ke sana tak henti-hentinya aku melihat ke belakang. Aku merasa diikuti. Aku bahkan seolah bisa mendengar suara langkah kaki lain yang mengikuti langkah kakiku.
Sesampainya di rumah Pak Kades aku langsung mengetuk pintu tak sabaran. Kebetulan yang membukakan pintu adalah Pak Kades sendiri, sementara itu di ruang tamu terlihat Dinan yang baru saja datang dengan satu teko penuh teh hangat.
"Pak, tolong Pak. Itu Aan..., " suaraku tersamar oleh napas yang tidak beraturan.
"Ada apa Dan, Aan kenapa?" Dinan mendekat dan bertanya dengan khawatir.
"Aan ngga bisa bangun Din," jawabku usai bisa mengendalikan napas dengan benar. "Tadi pulang langsung tidur, karena mau ada evaluasi gue sama Banyu bangunin dia. Tapi sampe Sopian sama Wayan ikut bangunin tuh anak ngga bangun-bangun."
Penjelasanku tampaknya tak terlalu dimengerti oleh Pak Kades, jadi dia memutuskan untuk segera melihat keadaan Aan secara langsung. Bersama dengan Dinan dan Nita, kami pergi ke bangunan laki-laki.
Sejujurnya aku berharap Aan hanya bercanda, tak apa lah jika nanti aku akan dongkol bukan main kepadanya. Yang penting tak terjadi apa-apa kepada lelaki itu. Tapi sial harapanku tak terwujud, yang ada malah lebih parah.
Sebelum kami sampai suara Banyu sudah terdengar dari jauh. Bahkan beberapa warga sudah berkumpul di depan bangunan itu. Pak Kades berlari melihatnya, di susul dengan aku yang tak bisa meninggalkan Dinan dan Nita.
"Sadar An, lo kenapa sih malah kaya gini!"
Aku hanya melihat sekilas keadaan Aan. Tampak kalau tubuh lelaki itu kaku hingga ketika Bayu mengguncangnya, seluruh tubuh Aan malah terangkat bersamaan. Selain itu, mata Aan yang tadi terpejam kini melotot, membuat bulu kudukku meremang hebat. Tatapannya kosong, bola matanya yang hitam kini seolah membesar dan menyingkirkan bagian putihnya.
Terlihat tubuhnya kini ditahan oleh Banyu dan Wayan, sementara Sopian berada di belakang berusaha menopang Aan semampunya. Mereka terlihat seperti orang-orang yang tengah menahan beban berat.
Beberapa tetua desa datang tak lama kemudian. Mereka merapalkan doa-doa yang sama sekali tak terlihat jelas di telingaku.
Tepat ketika doa-doa itu selesai, tiba-tiba Aan berteriak. Suaranya melengking, matanya yang semula hitam kini berubah pelan-pelan menjadi normal. Lalu setelahnya ia muntah. Cairan mirip lumpur keluar begitu banyak. Melihatnya aku sontak memalingkan wajah, begitu pula dengan Nita dan Dinan yang tak kuasa menahan pekikan.
Setelah itu Pak Kades buru-buru menghampiri kami. Wajahnya yang selalu ramah kini berubah pucat pasi.
"Kalian balik aja ke rumah saya. Nanti kalau Aan sudah sadar saya akan kabari lagi," kata Pak Kades. Awalnya aku hendak menolak karena bagaimana pun aku sangat mengkhawatirkan keadaan Aan dan ingin membantu kawan-kawan yang lain. Namun ketika melihat Dinan dan Nita yang ketakutan aku pun memilih untuk kembali.
Selama perjalanan kedua perempuan itu menempel di kedua sisi tubuhku. Hal itu membuat kami tak bisa leluasa berjalan.
"Awalnya kenapa sih Dan, kok bisa kaya gitu?" tanya Nita.
"Ya kaya biasa, pas pulang dia ngga kenapa-kenapa malah masih bisa ngobrol dulu. Tapi setelah itu dia malah tidur, dan pas Banyu bangunin anaknya ngga mau bangun. Malah waktu itu Sopian sama Wayan coba buat angkat badannya Aan, tapi tetep aja ngga bangun."
"Aan ngga sembarangan kan selama di desa. Jangan-jangan malah tuh anak bikin yang ngga-ngga!" Dimana menyahut, tangannya entah kenapa meremas lengan atasku semakin erat.
"Tapi Nan, kita kan tau sendiri Aan kaya gimana. Rasanya ngga mungkin ah kalau dia gegabah gitu," Nita menyangkal ucapan Dinan. Aku cukup setuju dengan Nita. Karena selama ini tak pernah sedikit pun aku melihat Aan bertindak kurang ajar. Bahkan kalau boleh dibilang Aan adalah anggota tim yang paling sopan. Itu juga yang membuat sebagian warga begitu menyenangi Aan.
"Ya siapa tau aja Nit pas di jalan dia kelepasan makan sesajen yang ada di deket gunung itu!"
"Kayanya...," aku yang hendak menyela Dinan seketika terdiam karena sadar akan sesuatu.
Makanan, Aan berkata kalau dia sering sekali mendapatkan makanan. Tapi yang aku tahu Aan mendapatkan makanan-makanan itu kan dari warga, dan yang jadi masalah baik aku atau pun kawan yang lain tak pernah tahu warga mana yang Aan maksud.
"Kenapa Dan?" tanya Nita yang mungkin merasa heran dengan ucapanku yang tak diteruskan.
"Ah ngga," ucapku singkat.
Hal ini masih belum mendapatkan titik terang, dan aku tak akan mau berburuk sangka kepada Aan. Jadi satu-satunya jalan ya diam saja sampai Pak Kades memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi kepada kawanku itu.
***
Setelah kejadian itu Aan dipindahkan ke rumah Pak Kades. Kesehatannya menurun, sepanjang sisa KKN ia hanya menghabiskan waktunya di rumah, membuat laporan, menyusun data, atau apa saja yang bisa dilakukannya.
Aku sendiri sampai KKN selesai tak pernah mendengarkan penjelasan Pak Kades. Selain itu kami semua bertingkah seolah kejadian itu tak pernah ada. Baik Banyu, Wayan atau Sopian kompak tutup mulut. Aku pun tak ingin mencari tahu karena sadar mungkin itu akan mempengaruhi kinerja timku.
Sampai akhirnya masa KKN pun berakhir. Aku harus pulang dengan rekan-rekanku. Perpisahan kami dan warga sekitar berlangsung begitu dramatis. Apa lagi anak-anak perempuan, mereka menangis di pelukan ibu-ibu desa.
Di antara kami semua tampaknya hanya Aan yang merasa lega. Wajahnya yang semula lebih banyak murung kini tampak sedikit lebih cerah. Aku bisa mengerti, karena bagaimana pun peristiwa yang dialami Aan bukanlah pengalaman yang menyenangkan.
"Sekali lagi terima kasih Pak, sudah mau menerima saya dan kawan-kawan saya," ucap Wayan seraya menjabat tangan Pak Kades.
"Saya juga seneng bisa menemani kalian semua selama di sini. Ya walau pun ada satu dua hal yang tak terduga, tapi semoga semua itu bisa jadi pelajaran kita semua ya."
Setelah pamit dan segala macam tetek bengeknya, sebagian dari kami mulai naik ke atas mobil yang disediakan kampus. Sementara aku, Banyu dan Wayan menggunakan motor karena mobil itu tak cukup untuk kami semua.
Aku naik bersama Banyu, sedangkan Wayan sudah melaju melewati mobil dengan beberapa barang bawaan. Ketika kami berjalan ke arah musala aku kembali ingat pengalaman di hari pertamaku di desa itu. Saat itu juga untuk kali pertamanya Aan mendapatkan makanan dari warga.
"Ini dia rumahnya," bisik Banyu sebelum kami melewati musala yang kebetulan berseberangan dengan sebuah rumah panggung tua. Seorang nenek berdiri di depan rumah itu, tampak tengah menunggu sesuatu.
"Rumah apaan?"
"Oh iya ya. Lo belom kan dikasih tau," ucap Banyu seraya terkekeh. "Itu kan rumah janda tua yang suka kasih Aan makanan."
Aku mengangguk, hipotesisku soal Aan yang makan sembarangan itu akhirnya patah. Sementara motor melaju, aku sempat melihat nenek tadi melambaikan tangan dan aku balas dengan anggukan kecil.
"Katanya tuh nenek suka sama Aan. Naluri orang tua kayanya, makanya tiap ketemu Aan dikasih makan mulu"
Aku tertawa. Sudah pasti nenek itu menyukai Aan. Sosok sopan seperti kawanku itu pasti jadi idaman orang tua.
"Masalahnya, itu nenek udah meninggal sejak dua tahun yang lalu!"
"Hah?"
"Dan waktu itu katanya Aan mau dibawa pergi sama si nenek."
"HAH?"
"Kita ngga kasih tau semua ini ke elo karena pada kenyataannya, tuh nenek juga ngincer lo!"
Aku sontak terdiam. Banyu sialan, dia sekarang malah tertawa keras sementara aku dipenuhi rasa waswas. Seketika aku jadi ingat nenek tadi. Apakah dia masih ada di sana, masih melambaikan tangannya, atau yang lebih parah dia malah mengejar.
Ah tidak, aku tidak berani menengok ke belakang bahkan sampai motor kami sudah sampai di jalan besar.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H