Desa Tamang, kalau ditempuh dari kota propinsi, sekitar dua jam. Ya, tentu saja jalanan lancer, dan cenderung lengang. Asal sudah keluar dari perkotaan, tidak ada sekalipun hambatan jalan seperti macet. Meskipun tidak lebar, dan hanya muat dua mobil saja, tetapi jalanan mulus. Hamparan sawah membentang di kanan kirinya.
Desa yang damai, namun dibalik semua itu nuasa erotic akan tercium setelah memasuki desa. Setidaknya setelah memasuki warung Bu Tubi. Ada apa sebenarnya di warung itu? Warung berdinding papan dan Sebagian dndingnya menggunakan anyaman bambu. Dari luar seperti warung makan biasa, ada jendela memanjang di bagian depannya. Pada sisi keduanya ada pintu papan bercat hijau. Jendela itu tidak berkaca , namun terbuka dengan penyangga bambu di kedua sisinya.
Orang yang duduk di warung akan terlihat dari jalan. Meja kayu berbentu U, sepanjang meja itu didanpingi dengan kursi bambu. Bu Tubi berdiri di tengah meja itu untuk membuatkan pesanan. Warung menyediakan makanan, tetapi hanya sedikit. Nasi rames dengan lauk tahu-tempe. Tetapi kopi tubruknya konon luar biasa nikmatnya.
Namun yang membuat warung itu ramai, bukan makanan dan minuman yang disediakan, tetapi "pelayanan lain" buat pelanggan. Dan tentu saja "pelayanan lain" itu, tidak disediakan di siang hari, tetapi pada malam hari. Tak heran bila warung itu buka hamper 24 jam.
Bu Tubi memiliki lima orang pembantu. Namun di siang hari, kelimanya tidak ikut membantunya di warung. Mereka ada di rumah gubuk belakang warung itu. Mereka bekerja di malam hari, melayani pembeli yang datang malam hari, melayani birahi mereka.
Gadis-gadis itu bukan gadis setempat, tetapi gadis dari daerah lain yang memang dipekerjakan untuk melayani pelanggannya. Sudah menjadi rahasia umum, warung kecil yang di siang hari menyediakan kopi dan penganan itu, malam harinya menjadi rumah bordil.
Lalu dimanakah mereka melayani para tamu, di warung dan gubug itu tidak ada kamar. Memag tidak disediakan kamar, para tamu, pelanggan membawa pelacur-pelacur itu kemana saja untuk main. Kebanyakan main di kebon atau di sawah. Jadi tak perlu membayar sewa kamar.Â
Lalu bagaimana perempuan setangah baya yang wajahnya mirip artis Meriam Bellina bisa menjadi induk semang beberapa pelacur itu?
Ceritanya Panjang.
*
Bekerja di kota, adalah dambaan setiap anak gadis yang baru remaja. Mereka ingin memiliki baju-baju bagus, make up, dan tentu saja memiliki uang untuk jajan dan melancong. Begitu pun dengan Tubinem. Setelah lulus SD, gadis itu berangkat ke kota, dan mendapatkan pekerjaan sebuah pabrik kecil.
Dia tergolong paling muda. Wajahnya cantik, dengan tubuh langsing semampai bak seorang bintang film. Jadilah Tubi primadona di pabrik itu. Semua buruh laki-laki membicarakannya. Dan buruh wanita mencemburuinya. Tetapi Tubi tidak peduli, karena niatnya ke kota adalah untuk bekerja.
Namun dibalik semua hiruk pikuk pembicaraan mengenainya, Sapan selalu melihatnya di kejauhan. Laki-laki itu mandor di pabrik. Tubuhnya kekar, wajahnya tampan dan disukai para buruh wanita. Dia adalah seorang laki-laki yang royal, suka mentraktir dan tidak galak seperti mandor yang lain.
Sapan menyukai Tubi. Sebagai wanita yang baru datang di kota itu, tentu saja ada perasaan takut dan waspada. Apalagi melihat umurnya, laki-laki itu sudah memasuki usia matang, sedangkan dirinya belum juga dua puluh tahun.
Namun tarik menarik dua hati itu terus berlanjut, apalagi hampir setiap hari mereka berjumpa. Di pabrik itu, tidak terlalu banyak pekerja, tidak seperti pabrik raksasa yang punya ribuan buruh. Jadi mereka pun saling kenal satu sama lain.
Sapan meniupkan isu kalau dia menyukai Tubi. Para wanita menjadikan itu sebagai bahan gossip.
"Cantik sih, tapi orang desa," kata seorang buruh wanita.
"Cantik apanya, nanti besar kepala," sahut lainnya.
Tubi sendiri mengetahui gossip itu dari teman sekos, Siti, yang juga kerja di pabrik itu. Tubi juga merasa Sapan menyukainya, dan apalagi yang lebih hangat di pabrik selain gossip antara mandor dan buruhnya.
"Katanya sih dia suka kamu, Bi," kata Siti teman sekamarnya.
"Gosip buatan orang, tidak ketahuan benar atau salah," jawab Tubi.
Siti tidak berkomentar.
"Kalau dia suka, dia akan bilang sendiri," tutur Tubi kemudian.
Apa yang dikatakan Tubi disampaikan Siti kepada Sapan. Tanpa tunggu lama, Sapan pun menyampaikan perasaan sukanya pada Tubi. Mereka pun jadian. Kadang Sapan main ke kosan Tubi, atau sebaliknya, Tubi yang main dikosan Sapan.
Dalam hati kadang Tubi bertanya, kenapa udah usia segitu, Sapan belum menikah. Tetapi Tubi takut untuk mengungkapkan perasaannya. Pakai logika saja, kalau Sapan sudah beristri pasti akan menyewa rumah untuk tinggal sekeluarga. BUkan kos dengan para buruh pria.
Mereka berdua pun kemudian dimabuk cinta. Pada Sapan, Tubi menyerahkan kehormatannya. Dia yakin bahwa suatu hari akan menikah dengan lelaki kesayanngannya. Beberapa barang milik Sapan ada dikosan Tubi, begitu pun barang-barang Tubi, sebagian sudah di kamar Sapan.
Mereka memutuskan tinggal Bersama demi menghemat biaya kos. Keduanya memindahkan semua barangnya ke kamar baru itu. Perjalanan cinta mereka begitu mulus, tetapi bukannya tanpa gangguan. Baik orang pabrik maupun tetangga kos, tahu kalau mereka belum menikah. Mereka hanya kumpul kebo.
"Kita sudah setahun hidup bersama, bagaimana kalau kita menikah saja," ajak Tubi.
Sapan tidak menjawab. Malah melengos pergi. Tubi berfikir mungkin kekasihnya belum siap. Setiap ada kesempatan, Tubi menanyakan Kembali kesediaan Sapan untuk menikah. Kalau mereka menikah, mereka tidak menjadi bahan perbincangan orang. Namun Sapan masih belum memberikan tanggapan.
"Kenapa sih, kalau Mas mencintaiku, kenapa tidak mau menikah saja?"
"Tidak, karena aku sudah punya anak dan istri."
Tubi kaget mendengar jawaban itu. Hatinya merasa teriris-iris, karena sudah dibohongi. Dipukulinya laki-laki itu dengan tinjunya karena merasa kesal.
"Kenapa tidak bilang sejak dahulu? Sekarang aku sudah menyerahkan kehormatanku, dan dengan mudah kau tolak aku. Jadikan aku istri yang kedua," tangis Tubi.
"Tidak bisa, aku tak bisa menikah lagi, kalau kau tak suka, silakan pergi," kata Sapan melengos.
Tubi hanya menangis merasa terkhianati. Namun dia tetap bertahan di kosan itu. Bagaimana pun juga dia masih mencintai laki-laki itu. Dan dia belum berfikir untuk meninggalkannya.
Hubungan mulai tak hangat. Sapan kadang tidak pulang ke kosan mereka. Suatu hari Tubi mendengar berita mengejutkan, seorang buruh laki-laki memergoki Sapan main ke lokalisasi. Tubi tak percaya dengan cerita itu. Namun Ketika Siti menceritakan hal yang sama, Tubi baru percaya dan berjanji akan menanyakan langsung kepada Sapan mengenai berita itu.
"Yang lihat langsung itu, Mas Dodit, pacarku, dia mengikutinya," kata Siti.
Dengan perasaan kecewa, Tubi menunggu Sapan di kosan. Sapan sudah jarang pulang ke kos. Kalau bertemu di pabrik juga putra-pura sibuk. Tubi menunggu sampai laki-laki itu pulang. Ketika tahu dia beristri, dan menjadikannya istri kedua saja, Tubi sudah senang dan ikhlas. Tetapi kalau dia main dengan pelacur, hatinya benar-benar terkhianati
Malam itu, Sapan pulang. Dia melipat beberapa baju dan dimasukkan ke dalam tas besarnya. Tubi tahu, dia akan menginap di rumah temannya, atau mungkin pulang ke desa menemui istrinya. Dia ke kos hanya mengambil baju-bajunya. Dengan hati-hati Tubi mendekati laki-laki itu. Berusaha setenang mungkin, dan kali ini dia sudah benar-benar siap dengan jawabannya.
"Dodit melihatmu ke lokasisasi, apa itu benar?"
Sapan tak menjawab.
"Tidak apa-apa kok aku tak akan marah."
"Iya, aku ke sana," jawab Span kemudian dengan nada ragu dan takut.
"Tapi kenapa?"
"Di desaku ada mitos, laki-laki tidak boleh menikah lebih dari satu, tetapi boleh selingkuh atau melacur."
"Oh jadi itu juga alas an kenapa Mas Sapan tak mau menjadikanku istri kedua?"
Laki-laki itu mengangguk.
"Desa apa Namanya?" tanya Tubi.
"Tamang, sebelah selatan kota ini."
Keesokan harinya, Tubi ijin tidak masuk kerja. Lalu dia naik kendaraan umum menuju desa Tamang. Desa asal Sapan. Des aitu sepertinya desa miskin yang jauh kemana-mana. Tubi sempat berbicang dengan beberapa laki-laki yang ditemunya mengenai kebenaran apa yang dikatakan pasangan kumpul kebonya. Mereka berkata bahwa mitos itu benar adanya.
"Terus laki-laki desa ini, kalau cari perempuan atau pelacur dimana," tanya Tubi pada laki-laki itu.
"Ke lokalisasi di kota atau ke kota di gunung itu," katanya menunjuk sebuah gunung diantara hamparan sawah.Â
Tubi tahu maksudnya, memang di kota dingin yang letaknya di lereng gunung itu banyak lokalisasi, mulai yang  murah mau pun yang mahal.
"Jadi disini enggak ada ya tempat melacur? tanya Tubi.
"Enggak ada Mbak."
Tubi juga menanyakan rumah tempat tinggal Sapan. Dari kejauhan dia bisa melihat istri Sapan sedang menjemur padi di halaman rumahnya. Hatinya hancur berantakan, sakit dan dendam. Pulang ke kosan dia menjual semua perhiasannya. Dia juga menyatakan keluar dari pabrik, alasannya mendapatkan pekerjaan yang baru.
Tubi membawa sedikit barang dan tabungan kembali ke desa Tamang. Dia berbincang dengan salah seorang lelaki yang penah ditemuinya dan mengutarakan niatnya. Laki-laki itu ragu, namun kemudian setelah dibawa Tubi ke semak-semak dan boleh menikmati tubuhnya, laki-laki itu bersedia membangun warung dan gubug untuk Tubi.
"Nanti mbak bisa sewa bagian depan kebun saya yang paling dekat jalan raya," kata laki-laki itu pada perempuan yang telanjang bulat di sampingnya itu.
Tubi mengangguk setuju.
Gubug itu berdiri dan dia membawa anak-anak gadis yang miskin putus sekolah diajaknya bekerja di situ. Pelanggannya pun kebanyakan penduduk wilayah itu dan sekitarnya. Yaitu mereka yang tidak mau poligami, tapi boleh melacur atau selingkuh.
Jakarta, 17 Oktober 2020
Oleh: Anggie D. Widowati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H