(Saya ingin anak laki-laki, bukan anak perempuan. Titik)
Ramadhan kali ini sepertinya aku mendapatkan berkah yang banyak. Bergelimpangan doa, rahmat dan rejeki dari Tuhan. Aku merasa begitu karena aku habis saja mengambil suatu keputusan yang sangat hebat dalam hidup ini. Diusiaku yang menanjak ke 30 tahun ini, aku memilih menikah dengan menikahi seorang laki-laki. Laki-laki yang menjadi teman hidupku itu seorang pekerja seni.
Tapi sayangnya kami harus berjauhan untuk sementara waktu. Suamiku sedang menyelesaikan sekolahnya di Bandung, sedang aku berdomisili di Bengkulu. Jika menggunakan pesawat jarak tempuh antara Bandung Bengkulu memakan waktu sekitar satu setengah jam. Namun, ya itu karena ongkos dsb, alhasil kami bersepakat untuk bertemu satu bulan sekali. Kemungkinannya fifty fifty, kalau tidak aku yang berkunjung kesana ya dia yang menjengukku kesini.
Kehidupan pernikahan kami bisa dianggap sederhana. Aku seorang pekerja sosial, begitu aku menyebut diriku. Aku sesekali menulis untuk media lokal dan mengajar disebuah Yayasan yang menampung anak-anak berkebutuhan khusus. Awalnya karena aku suka mengajar saja, tidak punya keterampilan untuk mengajar khusus untuk anak berkebutuhan khusus. Namun karena jam terbangku yang cukup tinggi, akhirnya aku dipercaya memiliki satu kelas penuh untuk anak-anak berkebutuhan khusus di yayasan tersebut.
Sedari dari kuliah aku memang sedikit nyeleneh. Hingga ibu sering kali mengomeli diriku. Kerap kali ibu memintaku untuk mengikuti berbagai tes Pegawai Negeri Sipil (PNS). Apalagi disaat sekarang ini, ijazahku sedang banyak digemari oleh instansi-instansi baik dipemerintahan maupun swasta. Ibu juga kerap kali selalu menyodorkan berbagai lowongan kerja diperusahaan-perusahaan ternama atau BUMN.Maklum, disini PNS masih menjadi idola pekerjaan dimasyarakat. Tak segan pula ibu ikut-ikutan ingin membayar satu kursi untukku agar dapat bekerja menjadi PNS.
'jadi PNS itu enak, hidup terjamin, pekerjaan santai apalagi kamu perempuan, bisa sambil ngurus anak, suami. Sampe tua ada jaminan, apalagi kebanggaan ibu', celoteh ibu tak henti-henti.
Kadang perkataan itu sembari ibu menangis sesenggukan dihadapanku. Tapi aku tetap tak bergeming. Aku durhaka. Entahlah. Tapi apa yang dikatakan oleh ibu, membuatku risih sekali. Itu menandakan, kematian bagi diriku. Tidak ada pekerjaan yang santai, yang ada kita melakukan korupsi pada negara untuk mendapatkan waktu santai. Lalu, jaminan, ah aku juga bisa membuat jaminan ocehku dalam hati. Toh tiap bulan aku menyisihkan sebagian gajiku untuk membayar uang pensiun yang aku rencanakan sendiri. Lantas apa yang ada dipikiran ibu? Berapa sih gaji PNS? Aku kadang seperti angkuh, bukankah aku bisa mendapatkan gaji yang baik jika aku bekerja baik pula.
Hingga umur 30 tahun menjemputku, dan aku memilih seorang laki-laki, yang notabene temanku kuliah dulu untuk hidup bersama. Awalnya aku memilih tidak menikah saja, toh nantinya statusku menjadi 'istri', yang notabene dikatakan oleh negara sebagai 'anggota rumah tangga'. Sedangkan aku bersepakat dengan suamiku, bahwa akulah yang menjadi Kepala Rumah Tangga.
'tidak lumrah perempuan yang menjadi kepala rumah tangga. Dimana harga diri suamimu didepan masyarakat. Perempuan itu ya menjadi istri, anggota rumah tangga. Jikalau suami sudah meninggal barulah kamu layak menjadi kepala rumah tangga', ayah kali ini yang memberi ceramah kepadaku.
Kala itu, aku berdebat dengan Ketua RT waktu aku mengurus kartu keluarga. Aku diam saja dan masuk rumah. Aku mulai tidak bisa diam sepertinya, tapi apa yang harus aku lakukan. Sebelum aku menikah, ibu kerapkali mengenalkan aku dengan beragam laki-laki, yang katanya berada dilevel mapan. Kalau tidak seorang PNS dipemerintahan, Karywan, Guru dan laki-laki sebangsanyalah.
Aku seperti dicucuk kambing saja setiap bulan dikenalkan ibu oleh beragam laki-laki. Kadang aku turuti kemauan ibu, aku menemui laki-laki tersebut. Tapi kadang aku ilfeel dengan calon-calon yang disodorkan ibu. Kira-kira begini pembicaraan kami.
'hai, aku Dani. Kebetulan aku bekerja dipemprov. Wenni kerja dimana ya?'
'aku pekerja sosial, juga mengajar di Yayasan untuk anak berkebutuhan khusus. Sesekali aku menulis untuk koran lokal', ungkapku.
'kalo boleh tau, itu PNS juga ya? Trus anak berkebutuhan khusus apa ya?'
Gubrak. Illfeel gak sih? Pertanyaan dasar yang seharusnya tidak dipertanyakannya lagi? Lalu, sepertinya jika aku tidak PNS aku sulit diterima dikalangannya dan serasa tidak tren gitu. Akhirnya, aku mogok ingin menikah dan kuputuskan sementara waktu tidak menikah.
Ibu menangis lagi kala aku mengutarakan maksudku agar ibu tidak mencarikan aku jodoh lagi. Akhirnya dengan jalan Tuhan, aku menemukan suamiku ini. Tak sengaja lewat jejerang sosial facebook. Kami intens berkirim surat elektronik dan terlibat diskusi banyak mengenai anak berkebutuhan khusus. Hingga suatu hari aku mengutarakan padanya bahwa aku ingin menikahinya. Aku memberinya waktu tiga bulan untuk berfikir, dan akhirnya dia menjawab dengan kalimat 'iya, kita menjadi teman hidup'.
Oh, ya ada lagi nih wejangan dari keluarga kala aku mengutarakan niatku untuk menikah dengan suamiku.
'laki-laki mana itu? Pekerjaannya apa? sudah mapan belum?'
'nanti kamu kalau sudah menikah harus menjadi istri yang baik. Mengabdi dan patuh terhadap suami. Layani suamimu dengan baik, siapkan semua keperluannya dengan baik walau kamu bekerja. Jangan pernah menolak jika suami mengajak berhubungan seksual, kalau kamu menolak nanti dilaknat Tuhan. Trus kamu harus pandai-pandai mengatur uang, jadi istri ya nrimo apapun yang diberi suami'
Aku yakin, itu kalimat yang aku ingat saja. Selebihnya aku banyak tidak mengingat nasehat-nasehat yang diberikan padaku.Ada kalimat yang sama sekali membuat aku geram pada keluarga kala itu 'haduh, wen, makan apa kamu sama laki-laki seperti itu?' Aku tetap diam saja. Padahal dalam hati aku pilu.
Aku juga sempat ribut dengan beberapa tetanggaku yang sering memanggilku dengan sebutan Nyonya Rio, dalam arisan yang diadakan dilingkungan sekitar rumahku. Aku sebel, namaku Wenni, bukan Nyonya Rio dan sudah kujelaskan berkali-kali. Tapi tetap saja mereka menaganggapku aneh. Sudahlah, aku capek rasanya menghadapi dunia ini.
Setelah menikah, aku tinggal di Bengkulu bersama adik suamiku, dulunya dia adalah adik angkatku. Aku tak tau kalau si Dini ini saudara kandung suamiku kala itu. Tapi kami seperti sahabat. Setiap hari kami bekerja dengan semangat dan malam hari kami baru bertemu dirumah.
---
'setiap habis shalat dan sebelum buka puasa sekarang aku rajin berdoa nyet', ungkapku.
'doa apa kamu?', kata Dini sewot
'cepet dapet baby laki-laki, gak mau dapet baby perempuan', kataku tersenyum manis.
'lah, diskriminasi namanya kamu itu, kok ya sudah mau melangkahi Tuhan', katanya tambah sewot.
'biar aja, orang pengennya gitu kok', kataku tersenyum tambah manis.
'halah, kalo gitu ntar Tuhan malah kasih kamu banyak anak laki-laki tau', muka Dini kulihat tambah kesal.
'lha, itu kamu yang duluin Tuhan tau', kataku lagi.
'ya kamu temenin aku USG besok ya', rengekku.
Dini melemparku dengan batal.
'nih, janinnya sehat, gemuk kelihatannya, sudah kelihatan nih bu, selamat bayi ibu nanti perempuan', kata dokter Yudho kepadaku.
Aku langsung manggut dan sebel dengan dokter ini. Dini tersenyum kecil.
'nah, apa kubilang mbak?' lanjut Dini mengejekku.
'mungkin salah dok, saya berdoa tiap malam dapat anak laki-laki dok', kataku tak mau kalah.
'ya saya lihat satu kali lagi ya bu kalau belum yakin', kata dr Yudho tersenyum
'nih, perempuan bu, jelas kok ini, ini membentuk garis vagina bu. Kalau laki-laki tidak begini', kata dokter menjelaskan.
Aku langsung cemberut.
'gak apa-apa ibu Wenni, laki-laki perempuan sama saja Toh titipan Tuhan. Apalagi ini anak pertama bukan?'
'iya dok, tapi bukan itu masalahnya dok', kataku berkelit.
'sudah yang penting anda dan janin sehat bu. Ini saya kasih resep ya bu untuk vitamin, jangan lupa persiapkan diri untuk persalinan ya bu', nasehat dokter Yudho.
Aku kembali kerumah dengan dongkol dan tak nafsu makan. Aku langsung masuk kamar dan tidur. Hingga Dini tak kutegur. Aku ingin anak laki-laki, bukan anak perempuan, titik.
Sayup-sayup kudengar Dini menelpon suamiku memberitahu bahwa aku sudah kehilangan nafsu makan seminggu terakhir, padahal biasanya aku makan lumayan banyak. Akhirnya suamiku pulang kerumah.Aku menangis sesenggukan seperti anak kecil. Aku merengek padanya bahwa aku ingin anak laki-laki bukan anak perempuan.
Suamiku menggeleng-geleng kepala saja dan memelukku erat-erat.
'apa gerangan yang membuatmu hingga bersedih begitu sayang?', katanya lembut.
'mana ada anak perempuan yang hidupnya senang, bahagia punya pilihan didunia ini', kataku menggerutu.
'lho-lho ada apa ini?', kata suamiku senyum manja.
'dari kecil kami sudah diwajibkan bekerja didapur, tidak punya pilihan, selalu mengekor, hingga menikahpun selalu mengekor. Biar anak laki-laki saja yang kulahirkan, jadi tidak merasakan penderitaan perempuan', rengekku pada suamiku.
'lha orang tuanya kan kita. Ibunya perempuan hebat, cerdas dan pintar. Ayahnya juga begitu, yang tau bagaimana caranya menjadi laki-laki. Lantas kenapa takut sayang?', katanya bijak.
Aku tersenyum. Tapi tetap saja, anak laki-laki yang kupanjatkan doa kepada Tuhan. Bukan saja tentang penderitaannya, tapi tentang bagaiamana menciptakan laki-laki yang menjadi manusia.
(untuk suamiku), Bengkulu, 2 Agustus 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H