“Kalau begitu jangan tiga ratus, ganti lima ratus tiap bulannya.”
“Iya.”
“Jangan suka pinjam-pinjam, kalau punya kebutuhan ya menabung.”
“Iya.”
Aku meletakkan ponsel kembali dan setuju meminjamkannya uang dua juta. Sesulit apa pun keadaanku, keadaannya pasti jauh lebih pahit. Aku selalu yakin bahwa suatu hari Tuhan juga akan memudahkan tiap urusanku. Lagi pula tak akan ada yang bisa hidup tenang berkecukupan sementara tega membiarkan saudaranya dalam kekurangan. Meski tindakan itu harus kulakukan dengan menguras tabunganku sendiri.
Sampai dua hari kemudian tiba-tiba kunci motorku hilang. Saat itu aku pulang kerja dan memarkir motorku di stasiun. Aku pulang ke rumah menggunakan angkutan umum. Keesokan paginya aku minta Dayat datang ke stasiun untuk mengakali motor tersebut.
Pagi-pagi sekali kami pergi ke stasiun. Dengan harapan kondisi masih sepi sehingga leluasa mengutak-atik kendaraan roda dua tersebut. Aku membonceng pada motor Dayat yang telah di-service meminjam uang dariku. Dibawanya sebuah kotak yang berisi kunci-kunci mesin berbagai ukuran.
Saat mengakali kunci motor itulah tiba-tiba ia memohon;
“Bang, bayar utangnya tiga ratus dulu ya bulan ini, soalnya sisa gajinya sedikit.”
Belum sempat protes kemudian ia melanjutkan;
“Tiap bulan bantu Ibu lima ratus, Bapak tiga ratus. Buat Empok Nur dua ratus, kasihan suaminya belum lagi kerja, Bang.”