Mohon tunggu...
Andri Sipil
Andri Sipil Mohon Tunggu... Insinyur - Power Plant Engineer

a Civil Engineer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Meminjam Uang

2 Juli 2016   07:08 Diperbarui: 2 Juli 2016   12:09 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ia biasanya bergerombol ke sana kemari. Sesekali aku sempat melihatnya di sebuah terminal. Mendekati angkot satu demi satu. Mengamen dengan hanya bermodalkan tepukan tangan. Beberapa ibu-ibu terlihat memberikan uang receh, yang lain menunduk dengan wajah pucat karena ketakutan.  

Ia sama sekali tak canggung keluar-masuk rumah. Seperti tak ada satu pun yang telah ia ubah dari dirinya. Ia seperti tak peduli lagi pada tatapan dan pendapat orang lain. Sepanjang hari, minggu, bahkan bulan tak ada satu anggota keluarga pun termasuk diriku yang tahu ke mana ia sering pergi dan apa yang telah dilakukannya. Hanya sesekali saja aku melihatnya di terminal saat itu, selebihnya ia benar-benar menghilang.

Kadang berhari-hari bahkan berminggu ia tidak pulang. Kalaupun pulang sosok yang nampak tidak lebih dari seorang gelandangan; kurus, kotor, bau tak terurus. Bahkan jika mau jujur gembel pun masih terlihat lebih baik daripada dirinya.

Ibu Bapak cuma bisa mengelus dada. Hanya aku yang berani turut campur menasihatinya. Namun seringnya ia hanya menjawab sekenanya, dengan kata-kata yang tidak jelas di telinga. Perkataan-perkataannya terdengar seperti orang sedang mabuk. Ngelantur.

Terserahlah kataku pada Bapak dan Ibu; selama ia tidak membuat onar dan membikin malu keluarga lagi seperti dulu, aku tak peduli. Aku sudah capek menegurnya. Nampaknya kedua orang tuaku pun demikian dengan sikapnya. Kelamaan kami pun tak lagi menghiraukannya.

***

Saat Dayat mengirimkan pesan itu, aku telah lama tinggal sendiri di sebuah perumahan, sudah tidak lagi bersama orang tua. Sebagai anak satu-satunya di keluarga yang sempat mengenyam pendidikan hingga bangku kuliah, aku memang memiliki jalan hidup yang jauh lebih baik dari anggota keluarga lainnya. Punya pekerjaan bagus dengan penghasilan cukup untuk bisa dibilang mapan.

Sejauh ini aku masih menjadi tumpuan keluarga, mungkin akan begitu seterusnya. Bapak dan Ibu sudah tua. Kedua kakakku pun sudah menikah dan hidup dari penghasilan suami yang juga hanya cukup untuk hidup mereka sekeluarga. Tak bisa terlalu diharapkan.

Sementara adikku yang paling kecil masih di bangku SMP. Masih jauh untuk sampai kuliah dan bekerja. Sementara Dayat jangankan menjadi tulang punggung keluarga. SMA saja ia tidak tamat; saat itu jalanan masih lebih dipilihnya daripada harus menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk mendengarkan guru mengajar.

Satu hal yang kutahu dan bisa diandalkan dari dirinya adalah kemahirannya dalam mengutak-atik mesin motor. Kepandaiannya itu mungkin ia dapatkan dulu sewaktu sering menghabiskan waktu nongkrong di salah satu bengkel bersama temannya.

Beberapa kali aku sempat memanggilnya datang ke rumah untuk men-service atau sekedar mengganti oli motor. Seringnya ia akan membawa motor itu dan men-service-nya di tempat biasa ia menyimpan segala peralatan bengkel miliknya. Saat-saat itu ia sudah tidak seberandal dulu. Tidak bertindik dan garis bawah matanya juga tidak hitam. Pakaiannya normal sebagaimana remaja umumnya. Namun rambut cokelat pirangnya masih gondrong karena tak pernah dipotong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun