Mohon tunggu...
Andri Sipil
Andri Sipil Mohon Tunggu... Insinyur - Power Plant Engineer

a Civil Engineer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Meminjam Uang

2 Juli 2016   07:08 Diperbarui: 2 Juli 2016   12:09 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gajiku bulan ini dipotong. Uang yang ditransfer kantor ke rekeningku nominalnya berkurang. Dari slip gaji yang kuterima melalui email, terlihat pemotongan itu besarnya mencapai sepertiga dari besaran nilai uang yang seharusnya kuterima. Bulan ini terpaksa harus merogoh tabungan untuk menombok cicilan rumah dan kendaraan yang masih harus kubayar. Duh, kepalaku tiba-tiba pusing tujuh keliling, terasa cenut-cenut di bagian kiri.

Tercatat sepuluh hari dalam sebulan aku telat ngantor karena kesiangan. Akhir-akhir ini bangun siang seperti telah menjadi kebiasaanku yang baru. Tepatnya sejak pertengahan bulan yang lalu. Saat bertemu kawan lama yang ternyata kantornya berada tak jauh dari kantorku. Teman kuliah di Bandung, namanya Dirga. Kami tak sengaja bertemu saat sama-sama sedang makan siang di salah satu warung steak ternama.

Aku kaget, Dirga pun kukira demikian. Terlihat dari ekspresi terkejut yang muncul di wajahnya. Sambil tertawa ia sigap merangkulku erat dan kubalas rangkulan itu dengan tepukan keras beberapa kali di punggungnya, aku pun tak kalah gembiranya. Kami sama sekali tak menyangka bakal bertemu kembali hari itu.

Hampir empat tahun hilang kabar. Dan ternyata ia sempat mengambil master selama dua tahun di Australia. Sayangnya kami hanya sempat mengobrol sebentar; sekedar bertukar kabar saja. Terbatas waktu istirahat kantor yang hanya satu jam itu.

Melalui pesan singkat Dirga kemudian mengajak bertemu kembali di sebuah tempat nongkrong paling hits di Jakarta. Aku meng-iya-kan saja; malam ini pasti akan jadi reunian yang menyenangkan, pikirku. Lagi pula jarang-jarang aku pulang malam. Kalaupun pernah itu hanya untuk lembur menyelesaikan pekerjaan yang telah lama menumpuk. Dan sejak saat itu aku jadi rutin keluar malam dengannya.

***

Gajiku sebetulnya tidak kecil-kecil amat. Meskipun harus dipotong sampai sepertiganya tetapi masih cukup untuk memenuhi kebutuhan selama satu bulan, termasuk untuk membayar cicilan. Masalahnya pemotongan itu mengurangi bagian yang selalu kualokasikan untuk orang tua. Tak mungkin aku turut memotongnya. Belum lagi jika ada keperluan-keperluan mendadak. Sudah pasti dana tabunganlah yang akan kukorbankan.

Dan benar saja apa yang dikhawatiran terjadi juga. Saat sedang pusing mengatur pos-pos pengeluaran sebuah pesan tiba-tiba saja masuk ke ponselku.

“Bang, boleh pinjam uang dua juta?! Nanti tiap bulan dicicil tiga ratus.”

Pesan itu dari adikku. Aku tidak segera membalasnya. Meletakkan kembali ponsel itu di atas meja dan melanjutkan menyusun list pada agenda berwarna hitam. Dalam kondisi begini aku sebenarnya sedikit kesal jika mendapat pesan-pesan seperti itu. Inginnya tak menghiraukan, dan memang sudah seharusnya aku tak mengindahkan pesan-pesan seperti itu karena sebetulnya aku juga sedang dalam kondisi sulit. Tapi tak bisa, selalu saja terpikirkan. Apalagi jika pesan-pesan itu datang dari keluargaku sendiri.

Aku meraih ponselku kembali dan berusaha untuk tetap tenang tidak terpancing emosi. Sebab kalau tidak begitu balasan yang kukirim biasanya berupa kalimat-kalimat sinis yang bersifat menceramahi. Aku sudah sangat berpengalaman dengan semua kesalahan itu. Dan tak ingin hal itu terjadi lagi hingga membuatku kembali menyesal.

Pernah suatu hari salah satu kakak perempuanku ingin meminjam uang. Ia telah menikah dan memiliki satu orang putra. Ia meminjam uang untuk membayar rumah kontrakan yang sudah jatuh tempo. Kebetulan suaminya baru menyelesaikan kontrak kerja di sebuah pabrik dan tidak diperpanjang sehingga menganggur dan tidak ada penghasilan.

Aku yang saat itu sedang pusing dengan urusan rumah sakit karena Ibu jatuh di kamar mandi dan terkena struk ringan, tak dapat menahan diri hingga emosi dan berkata sangat kasar kepadanya. Aku mengatainya dengan kalimat-kalimat yang mengecilkan ia dan suaminya, seperti hanya bisa menyusahkan dan tidak banyak membantu. Serta banyak kata menyakitkan lainnya yang aku yakin telah keluar dari mulutku ini.

Kakakku hanya diam tak menanggapi. Tidak marah apalagi balik memaki. Ia kemudian melangkah pergi begitu saja sambil menggendong anaknya yang masih berumur dua tahun. Sejurus kemudian aku sadar telah berbuat salah dan segera meminta maaf kepadanya. Namun saat itu hanya isak tangis yang kudapatkan dari balik kain yang ia gunakan untuk menutupi wajahnya. Baru kutahu setelah itu kalau kepongahanku telah begitu dalam menyayat-nyayat hatinya. 

Selepas itu aku benar-benar menyesal. Menyesal telah merasa paling bersusah payah di dalam keluarga. Menyesal telah menganggap hanya aku yang selalu dibebani dengan persoalan uang keluarga. Jika saja tidak demikian barangkali aku tak akan menjadi sedurhaka ini kepada kakakku. Mulai saat itu aku belajar untuk bisa menahan emosi dan mengingatkan diri sendiri bahwa segala hal selalu bisa dibicarakan bila memiliki pikiran yang tenang.

***

“Pinjam buat apa?”

“Buat service motor. Sudah banyak yang harus diganti.”

Adikku ini yang bernama Dayat dulu buruk kelakuannya minta ampun. Kerjaannya cuma begadang, nongkrong-nongkrong di pinggir jalan. Saking bandelnya ia pernah membikin malu keluarga dengan membobol warung milik tetangga. Saat itu tengah malam, bersama teman-temannya ia mengambil rokok berdus-dus dan sempat kepergok warga kemudian ditangkap.

Kami sekeluarga memarahinya. Mungkin aku yang paling murka di antara yang lain. Semua karena perasaan malu dan kecewa. Sementara Bapak, Ibu, serta dua kakak perempuanku hanya memandanginya sedih. Satu adikku yang paling kecil hanya bisa menangis sesenggukan. Sepanjang dimarahi, Dayat hanya menunduk sambil mendekap kedua lututnya, tanpa suara.

Sejak kejadian itu tak ada yang berubah dari diri Dayat. Kukira ia akan tobat dan menjadi anak baik. Membahagiakan ibu bapak. Ternyata ia tetap keluar bersama dengan teman-teman nakalnya itu. Tetap nongkrong di pinggir jalan sambil merokok. Bahkan bulan-bulan ke depan penampilannya telah berubah layaknya seorang preman.

Kaos tengkorak dengan jeans ketat menempel pada tubuhnya yang tinggi ceking, semua serba hitam. Jeans itu dipenuhi dengan sobekan-sobekan. Kepalanya botak di bagian pinggir, sementara rambut yang tersisa di tengah dicat berwarna cokelat pirang dan dibentuk seperti duri-duri raksasa. Ujung telinganya ditindik, bagian sekitar matanya juga gelap. Rantai menjuntai di belakang celana. Sementara sepatunya tinggi seperti tentara namun terlihat lebih seram.

Ia biasanya bergerombol ke sana kemari. Sesekali aku sempat melihatnya di sebuah terminal. Mendekati angkot satu demi satu. Mengamen dengan hanya bermodalkan tepukan tangan. Beberapa ibu-ibu terlihat memberikan uang receh, yang lain menunduk dengan wajah pucat karena ketakutan.  

Ia sama sekali tak canggung keluar-masuk rumah. Seperti tak ada satu pun yang telah ia ubah dari dirinya. Ia seperti tak peduli lagi pada tatapan dan pendapat orang lain. Sepanjang hari, minggu, bahkan bulan tak ada satu anggota keluarga pun termasuk diriku yang tahu ke mana ia sering pergi dan apa yang telah dilakukannya. Hanya sesekali saja aku melihatnya di terminal saat itu, selebihnya ia benar-benar menghilang.

Kadang berhari-hari bahkan berminggu ia tidak pulang. Kalaupun pulang sosok yang nampak tidak lebih dari seorang gelandangan; kurus, kotor, bau tak terurus. Bahkan jika mau jujur gembel pun masih terlihat lebih baik daripada dirinya.

Ibu Bapak cuma bisa mengelus dada. Hanya aku yang berani turut campur menasihatinya. Namun seringnya ia hanya menjawab sekenanya, dengan kata-kata yang tidak jelas di telinga. Perkataan-perkataannya terdengar seperti orang sedang mabuk. Ngelantur.

Terserahlah kataku pada Bapak dan Ibu; selama ia tidak membuat onar dan membikin malu keluarga lagi seperti dulu, aku tak peduli. Aku sudah capek menegurnya. Nampaknya kedua orang tuaku pun demikian dengan sikapnya. Kelamaan kami pun tak lagi menghiraukannya.

***

Saat Dayat mengirimkan pesan itu, aku telah lama tinggal sendiri di sebuah perumahan, sudah tidak lagi bersama orang tua. Sebagai anak satu-satunya di keluarga yang sempat mengenyam pendidikan hingga bangku kuliah, aku memang memiliki jalan hidup yang jauh lebih baik dari anggota keluarga lainnya. Punya pekerjaan bagus dengan penghasilan cukup untuk bisa dibilang mapan.

Sejauh ini aku masih menjadi tumpuan keluarga, mungkin akan begitu seterusnya. Bapak dan Ibu sudah tua. Kedua kakakku pun sudah menikah dan hidup dari penghasilan suami yang juga hanya cukup untuk hidup mereka sekeluarga. Tak bisa terlalu diharapkan.

Sementara adikku yang paling kecil masih di bangku SMP. Masih jauh untuk sampai kuliah dan bekerja. Sementara Dayat jangankan menjadi tulang punggung keluarga. SMA saja ia tidak tamat; saat itu jalanan masih lebih dipilihnya daripada harus menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk mendengarkan guru mengajar.

Satu hal yang kutahu dan bisa diandalkan dari dirinya adalah kemahirannya dalam mengutak-atik mesin motor. Kepandaiannya itu mungkin ia dapatkan dulu sewaktu sering menghabiskan waktu nongkrong di salah satu bengkel bersama temannya.

Beberapa kali aku sempat memanggilnya datang ke rumah untuk men-service atau sekedar mengganti oli motor. Seringnya ia akan membawa motor itu dan men-service-nya di tempat biasa ia menyimpan segala peralatan bengkel miliknya. Saat-saat itu ia sudah tidak seberandal dulu. Tidak bertindik dan garis bawah matanya juga tidak hitam. Pakaiannya normal sebagaimana remaja umumnya. Namun rambut cokelat pirangnya masih gondrong karena tak pernah dipotong.

Bagi siapa pun yang baru melihatnya pasti akan menyangsikan tiap sikap dan perkataannya. Bahkan cenderung mencurigai. Ya, penampilan memang sumber awal lahirnya sebuah kesan. Baik atau buruk tergantung sejauh mana seseorang mempunyai kemahiran dalam bersolek.

Saat itu adikku datang ke rumah dengan membonceng motor temannya. Ia mengambil motorku yang akan di-service. Setelah beberapa saat meninggalkan rumah tiba-tiba seseorang terdengar memanggil-manggilku dari luar pagar. Aku lantas membuka pintu dan betapa kagetnya saat kulihat di sana telah berdiri dua orang sekuriti perumahan sedang mengapit adikku dan temannya.

Sekuriti itu bertanya padaku. Mengonfirmasi apakah benar motor milikku itu dibawa atas sepengetahuan dan ijin dariku. Sebuah tindakan yang barangkali tidak akan pernah mereka lakukan jika saja adikku itu tidak berpenampilan seperti seorang preman pasar. Aku lantas membenarkan dan saat itu juga adikku dan temannya dipersilahkan pergi.

Setelah peristiwa itu tiba-tiba aku tercenung. Aku tahu dan mengerti bahwa apa yang dilakukan kedua sekuriti itu adalah sebuah keharusan karena tugas. Tapi rasa-rasanya ada sebuah ketersinggungan yang tiba-tiba hadir. Ya, ketersinggungan yang seharusnya menjadi milik adikku.

Sudah pasti dan aku yakin ia telah menyampaikan hal yang sebenarnya kepada kedua sekuriti itu; mengatakan bahwa ia adalah adikku dan motor itu dibawa atas sepengetahuanku. Namun mereka tetap tak percaya. Mereka tak percaya adikku karena perihal penampilannya hingga kemudian menggiringnya ke rumah ini.

Bukankah seharusnya adikku yang bertahun-tahun berada di jalanan itu tersinggung dan marah. Terutama saat aku mengonfirmasi mengenai kebenaran tiap ucapannya pada kedua sekuriti itu. Kenapa ia tidak berteriak di depan wajah mereka dan menuntut harga dirinya untuk dikembalikan. Kenapa ia tidak bertindak sekasar penampilannya. Ia bahkan diam saja saat digiring, menerima tiap tatapan orang-orang yang dilewatinya dengan tenang.

Saat itulah aku tahu kalau adikku itu telah berubah. Ia telah menjadi dewasa dan mengerti arti sebuah konsekuensi. Jauh di lubuk hatinya barangkali ia telah tersinggung juga malu. Namun ia berusaha menahannya.

***

Aku dengar kalau Dayat telah bekerja. Namun aku tak pernah menanyakan di mana tempatnya bekerja. Ibu pernah bilang katanya ia kerja di bengkel motor, tapi kemudian kabarnya berubah-ubah. Saat itu aku tahu kalau Ibu pun sebenarnya tidak tahu dengan pasti di mana adikku itu bekerja.

“Punya gaji berapa?”

“Satu juta tiga ratus.”

“Kalau begitu jangan tiga ratus, ganti lima ratus tiap bulannya.”

“Iya.”

“Jangan suka pinjam-pinjam, kalau punya kebutuhan ya menabung.”

“Iya.”

Aku meletakkan ponsel kembali dan setuju meminjamkannya uang dua juta. Sesulit apa pun keadaanku, keadaannya pasti jauh lebih pahit. Aku selalu yakin bahwa suatu hari Tuhan juga akan memudahkan tiap urusanku. Lagi pula tak akan ada yang bisa hidup tenang berkecukupan sementara tega membiarkan saudaranya dalam kekurangan. Meski tindakan itu harus kulakukan dengan menguras tabunganku sendiri.

Sampai dua hari kemudian tiba-tiba kunci motorku hilang. Saat itu aku pulang kerja dan memarkir motorku di stasiun. Aku pulang ke rumah menggunakan angkutan umum. Keesokan paginya aku minta Dayat datang ke stasiun untuk mengakali motor tersebut.

Pagi-pagi sekali kami pergi ke stasiun. Dengan harapan kondisi masih sepi sehingga leluasa mengutak-atik kendaraan roda dua tersebut. Aku membonceng pada motor Dayat yang telah di-service meminjam uang dariku. Dibawanya sebuah kotak yang berisi kunci-kunci mesin berbagai ukuran.

Saat mengakali kunci motor itulah tiba-tiba ia memohon;

“Bang, bayar utangnya tiga ratus dulu ya bulan ini, soalnya sisa gajinya sedikit.”

Belum sempat protes kemudian ia melanjutkan;

“Tiap bulan bantu Ibu lima ratus, Bapak tiga ratus. Buat Empok Nur dua ratus, kasihan suaminya belum lagi kerja, Bang.”

Serasa ada sesuatu yang menusuk-nusuk tenggorokan dan napasku menjadi sesak. Aku lantas berdehem-dehem agar bisa leluasa bicara, wajahku kuatur sebisa mungkin tanpa ekspresi.

“Memang kerja di mana?”

 “Kerja di rumah makan seafood di Jakarta, Bang. Oh ya, sebentar lagi kalau bonus turun, langsung saya kasih uangnya ke Abang.”

“Bonus?!”

“iya Bang, jadi karyawan terbersih.”

Kata-kata terakhir itu diucapkannya dengan malu-malu. Ada sedikit senyum bangga yang tertahan di ujung bibirnya. Namun ia tetap tak mau melepaskan. Seolah berita itu bukan sesuatu hal yang penting buatku.

Mataku tiba-tiba terasa panas. Dengan cepat aku membalikkan badan melangkah pergi. Kukatakan padanya ingin membeli minum. Sementara saat semua perasaan hampir tumpah menjadi air mata, tiba-tiba ponsel di saku celanaku berbunyi.

Sebuah pesan dari Dirga: “Kapan kita dugem lagi, Bro?!”

Aku tertegun membaca pesan tersebut, untuk kemudian segera menghapusnya.

---o0o---

Depok, 01 Juli 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun