Mohon tunggu...
Andri Sipil
Andri Sipil Mohon Tunggu... Insinyur - Power Plant Engineer

a Civil Engineer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Meminjam Uang

2 Juli 2016   07:08 Diperbarui: 2 Juli 2016   12:09 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah suatu hari salah satu kakak perempuanku ingin meminjam uang. Ia telah menikah dan memiliki satu orang putra. Ia meminjam uang untuk membayar rumah kontrakan yang sudah jatuh tempo. Kebetulan suaminya baru menyelesaikan kontrak kerja di sebuah pabrik dan tidak diperpanjang sehingga menganggur dan tidak ada penghasilan.

Aku yang saat itu sedang pusing dengan urusan rumah sakit karena Ibu jatuh di kamar mandi dan terkena struk ringan, tak dapat menahan diri hingga emosi dan berkata sangat kasar kepadanya. Aku mengatainya dengan kalimat-kalimat yang mengecilkan ia dan suaminya, seperti hanya bisa menyusahkan dan tidak banyak membantu. Serta banyak kata menyakitkan lainnya yang aku yakin telah keluar dari mulutku ini.

Kakakku hanya diam tak menanggapi. Tidak marah apalagi balik memaki. Ia kemudian melangkah pergi begitu saja sambil menggendong anaknya yang masih berumur dua tahun. Sejurus kemudian aku sadar telah berbuat salah dan segera meminta maaf kepadanya. Namun saat itu hanya isak tangis yang kudapatkan dari balik kain yang ia gunakan untuk menutupi wajahnya. Baru kutahu setelah itu kalau kepongahanku telah begitu dalam menyayat-nyayat hatinya. 

Selepas itu aku benar-benar menyesal. Menyesal telah merasa paling bersusah payah di dalam keluarga. Menyesal telah menganggap hanya aku yang selalu dibebani dengan persoalan uang keluarga. Jika saja tidak demikian barangkali aku tak akan menjadi sedurhaka ini kepada kakakku. Mulai saat itu aku belajar untuk bisa menahan emosi dan mengingatkan diri sendiri bahwa segala hal selalu bisa dibicarakan bila memiliki pikiran yang tenang.

***

“Pinjam buat apa?”

“Buat service motor. Sudah banyak yang harus diganti.”

Adikku ini yang bernama Dayat dulu buruk kelakuannya minta ampun. Kerjaannya cuma begadang, nongkrong-nongkrong di pinggir jalan. Saking bandelnya ia pernah membikin malu keluarga dengan membobol warung milik tetangga. Saat itu tengah malam, bersama teman-temannya ia mengambil rokok berdus-dus dan sempat kepergok warga kemudian ditangkap.

Kami sekeluarga memarahinya. Mungkin aku yang paling murka di antara yang lain. Semua karena perasaan malu dan kecewa. Sementara Bapak, Ibu, serta dua kakak perempuanku hanya memandanginya sedih. Satu adikku yang paling kecil hanya bisa menangis sesenggukan. Sepanjang dimarahi, Dayat hanya menunduk sambil mendekap kedua lututnya, tanpa suara.

Sejak kejadian itu tak ada yang berubah dari diri Dayat. Kukira ia akan tobat dan menjadi anak baik. Membahagiakan ibu bapak. Ternyata ia tetap keluar bersama dengan teman-teman nakalnya itu. Tetap nongkrong di pinggir jalan sambil merokok. Bahkan bulan-bulan ke depan penampilannya telah berubah layaknya seorang preman.

Kaos tengkorak dengan jeans ketat menempel pada tubuhnya yang tinggi ceking, semua serba hitam. Jeans itu dipenuhi dengan sobekan-sobekan. Kepalanya botak di bagian pinggir, sementara rambut yang tersisa di tengah dicat berwarna cokelat pirang dan dibentuk seperti duri-duri raksasa. Ujung telinganya ditindik, bagian sekitar matanya juga gelap. Rantai menjuntai di belakang celana. Sementara sepatunya tinggi seperti tentara namun terlihat lebih seram.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun