Mohon tunggu...
Andri Sipil
Andri Sipil Mohon Tunggu... Insinyur - Power Plant Engineer

a Civil Engineer

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fikber] Senyuman Terakhir

27 November 2015   13:35 Diperbarui: 28 November 2015   07:57 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Andri Sipil, No.13

Tatapanku tertuju pada senjata timah panas itu. Sial, seandainya saja benda brengsek itu meluncur lebih jauh ke arahku. Mungkin saat ini kepalanya sudah kutembak - tergeletak di atas lantai dengan darah berceceran.

Badanku gemetar. Ia melirik kearah pistolnya. Seketika hatiku berkata, Sekarang!!! Aku menerjang ke arah Dr. Jalal atau James. Entah siapalah nama sebenarnya. Yang jelas ia seorang “Bangsat”. Atau kupanggil saja ia si Bangsat? Ya si Bangsat yang masih tersungkur memegangi kemaluannya itu.

Aku meraih pistolnya. Namun tiba-tiba saja tangannya menyergap genggamanku. Lantas kegilaanku kembali kumat. Aku meraung-raung seperti singa betina kehausan darah. Ku gigit tangan si Bangsat, ia menjerit kesakitan. Kemudian aku berdiri dan mengambil jarak aman darinya. Pistol itu kutodongkan tepat ke arah titik di antara kedua matanya.    

“Tenang Anna...!! aku takkan menyakitimu…” Ia mengangkat kedua tangannya. Tanda menyerah. Namun sekilas kembali kulihat seringai iblis menggelayut di ujung senyumannya.

“jangan mendekattt...!! atau ku tembak..” Aku memperingatinya. Nafasku begitu menderu. Keringatku mulai membasahi pergelangan tanganku. Tubuhku mulai kembali gemetar.

“tidak Anna!!...kau tidak akan menembakku..!!”

“Diammmm!!! jangan mendekatt!!!..ku bilang jangan mendekatt!! Aku sudah gila!! Aku sanggup menembakmu!!” kulihat kembali seringai iblisnya. Rupanya ia sedang menguji kegilaanku. Dengan kedua tangan yang masih terangkat. Perlahan, ia melangkah kedepan. Namun sebelum sempat ia kembali melangkah. Aku sudah menembaknya.

“klikkk...!!”

“Klikk..!!”

“hahahaha...! sudah kubilang Anna...hanya tersisa satu peluru di dalam pistol itu, hahahaha!” Ia tertawa puas

“pistol sialannnnn..!!!

Si Bangsat gantian menerjangku. Tubuhku membentur sebuah benda. Aku menjerit. Kami tersungkur tepat di bawah meja. Kami bergulat. Ia menindihku. Ia mencoba merebut pistol yang sudah berada di antara himpitan tubuh kami. Aku terus berteriak, meronta-ronta. Dan tiba-tiba saja.

“Dorrr...!!!”

Suara tembakan meletus dari genggamanku. Aku mendadak lemas. Darah segar mulai membasahi bagian atas tubuhku. Dan seketika duniapun menjadi gelap.

***

Aku berdiri di tengah padang. Padang itu begitu luas. Dipenuhi dengan bunga – bunga berwarna putih, beraroma segar. Padang yang sangat indah. Kuperhatikan sejenak kelopak bunga-bunga itu. Sepertinya aku mengenali bunga ini. Ya, ini bunga daisy. Pekikku senang.

Ku lihat di ujung cakrawala matahari sedang bersinar. Cahayanya berwarna kuning keemasan. Terang yang tidak menyengat, terang yang begitu jernih. Hanya kesejukan yang kurasakan dari pancaran cahayanya.

Di padang itu hanya ada aku. Aku merasakan keheningan yang begitu kental. Bahkan tak ada hembusan angin sedikitpun. Aku seperti sedang berada di alam mimpi.

Kemudian perlahan aku menelusuri jalan kecil dari tempat ku berdiri. Kedua tanganku menyapu bunga-bunga daisy yang mencoba meraih langkah-langkahku. Ku belai kelopaknya yang rapuh. Menghadiahkan tangkai - tangkai bunga itu dengan gerakan-gerakan tarian. Sesaat aku sempat memejamkan mata. Kuhirup keperawanan wewangiannya yang segar.

Setelah cukup lama menyusuri. Langkahku tiba-tiba saja berhenti. Tepat di depan tempatku berdiri, membentang sebuah hamparan samudera berwarna biru, Laut? Aku bertanya pada diriku sendiri. Ternyata padang bunga daisy ini adalah sebuah tebing yang menjulang. Dan aku sedang berada tak jauh dari tepiannya. 

Sekilas aku sempat ragu. Namun setelah kuperhatikan baik-baik ternyata benar. Di ujung sana, tepat di tepian tebing. Kulihat seorang pria sedang duduk memandang ke arah lautan. Penasaran, kemudian aku mendekatinya. Sepertinya aku tak asing dengan pria itu. Belum sampai aku melihat wajahnya. Mulutku sudah memanggil namanya.

“Ran…?!!” Pria itu menoleh padaku, dan menyambutku dengan sebuah senyuman.

“Rheinn..?!”

“Ran…ternyata benar kau!" Aku kemudian duduk di sampingnya. Pelan-pelan kuperhatikan wajahnya. Tak ada lubang peluru dan tak ada darah berceceran di keningnya.

Ia kembali memandangi laut. Aku mengikutinya. Aku meluruskan kakiku pada ujung tebing. Masih nampak beberapa bunga daisy tumbuh di sana-sini. Ran duduk dengan lutut menopang kedua tangannya.

“Ran…apa kita sedang berada di Surga?” Aku memotong konsentrasinya pada laut. Ia menoleh padaku

“mungkin Rhein…aku sendiri tak tahu” Ia tersenyum kembali padaku.

“kenapa hanya kita berdua di sini, Ran?”

“mungkin Tuhan ingin mempertemukan kita kembali Rhein” Tatapannya begitu hangat. Ia kembali menatap lurus. Laut itu sama tenangnya dengan padang daisy ini. Kuperhatikan baik-baik, tak ada ombak secuilpun di sana. Laut itu begitu diam.

“aku sungguh berharap kita benar –benar berada di surga Ran. Di sini terasa begitu damai. Aku lelah dengan semua kerumitan yang terjadi. Aku tak ingin kembali ke dunia” Tiba-tiba saja aku menyandarkan kepalaku pada pundak Ran.

“tidak Rhein, kau harus kembali!, seseorang sedang menunggumu”

“Siapa?!”

“Nugie..!”

Aku kembali menegakkan kepalaku.

“Kembalilah Rhein!, Nugie sedang menunggumu.”

“Haruskah?”

“Tentu, bukankah kau mencintainya?!” Aku mengangguk. Entahlah, Ran sedang bertanya atau sedang mengingatkanku. Yang jelas tiba-tiba saja semua kenangan tentang Nugie memenuhi kembali ruang pikiranku. Aku kembali memikirkannya.

“Bagaimana caraku bertemu dengannya, Ran?!”

“Berjalanlah kearah belakang pohon besar itu. Kau akan menemui Gie di sana. Aku telah memberitahunya” Ran menunjuk ke arah pohon besar yang berada tepat di ujung samping tempatku duduk. Pohon itu begitu rindang. Warna daunnya hijau bercahaya.  

“Benarkah?!”

Ran mengangguk.

“Ran, apakah semua ini nyata? Atau hanya ada di dalam pikiranku saja?”* Ran menatapku.

“Tentu saja semua ini hanya ada di dalam pikiranmu Rhein”* Ia tersenyum

“Tapi bukan berarti itu tidak nyata kan Rhein?”* aku terdiam merenungi kata-kata Ran. Kali ini aku yang memandang jauh ke arah lautan.

“Ran, aku boleh bertanya satu hal padamu?” Ran mengangguk

“Apakah kau mencintai Gie?” Hening, Ran tidak menjawab. Ia masih kembali memandangi lautan.

“Pergilah Rhein…! Nugie sedang menunggumu. Jangan buat ia terlalu lama menunggu” Aku gantian mengangguk. Menurut pada ucapannya. Kutatap wajah Ran. Sebagaimana namanya, Ia nampaknya memang sangat menyukai lautan. Aku segera bangkit dan berjalan meninggalkan Ran. Menuju ke balik pohon besar itu. Aku melangkah dengan perlahan, menghindari kelopak bunga-bunga daisy. Agar tidak terinjak oleh kecerobohanku. Dan tiba-tiba saja aku mendengar suara Ran kembali memanggil namaku.

“Rheinara…!” aku menoleh padanya. Ran berdiri di ujung pandanganku.

“aku mencintai Gie, seperti aku mencintaimu”

Ran tersenyum padaku. Senyuman terakhir yang kudapati dari wajahnya yang manis. Aku membalas senyuman Ran. Kami saling pandang. Dan kemudian tiba-tiba saja semua kembali gelap.

***

“Rheinn…?! Rheinn..?!”

Seseorang menepuk-nepuk wajahku. Ia memanggil - manggil namaku.

Dunia kembali terang. Meski mata minus ku belum terlalu jelas melihatnya.

“Nugieee…?!” Aku mendapati wajah Nugie sudah berada di atas tatapanku. Aku memandanginya dengan perasaan haru. Tak jauh dari ku. Tubuh si Bangsat tergeletak dengan dada bersimbah darah. Sebuah peluru bersarang tepat di jantungnya. Aku melihat pintu yang sudah terbuka, rusak didobrak. Beberapa orang suster berdiri di dekat pintu itu. Sebuah alat suntik Amphethapine tepat berada di sampingku. Kulihat isinya telah kosong.

“Ia menyuntikannya padamu Rhein, aku mendapatinya menancap di lengan kirimu. Nampaknya kau baru saja tersadar dari pengaruhnya Rhein”

Aku kembali menatap wajah Nugie. Menatap dengan amat dalam. Aku bahkan tak lagi memperdulikan apa yang baru saja diucapkannya. Mataku mulai berkaca-kaca. kerinduanku yang selama ini membeku. Tiba - tiba pecah menjadi sebuah tangisan. Aku segera memeluknya dengan erat.   

“Gieeee….!!”

---o0o---

Depok, 27 Nopember 2015

*) Harry Potter: Deathly Hallows, part-2

 

Fiksi Bersambung Lainnya || Group FB Fiksiana Community

---

Ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun