Agama mengajarkan kepada manusia tentang cara memelihara keturunan atau sistem regenerasi yang suci. Aturan atau norma agama untuk memelihara keturunan itu adalah pernikahan. Pernikahan merupakan upacara agama yang sakral (suci), yang wajib ditempuh oleh pasangan pria dan wanita sebelum melakukan hubungan biologis sebagai suami-istri. Pernikahan ini bertujuan untuk mewujudkan keluarga yang sakinah (tenteram, nyaman), mawaddah (cinta kasih, mutual respect), dan rahmah (mendapat Curahan karunia dari Allah).
C. Pendapat Para Ahli Tentang Peran Agama Bagi Kesehatan Mental
Menurut Zakiah Daradjat (1982) salah satu peranan agama adalah sebagai terapi (penyembuhan) bagi gangguan kejiwaan. Pengamalan agama dalam kehidupan sehari-hari dapat membentengi orang dari kejatuhan kepada gangguan jiwa dan dapat pula mengembalikan kesehatan jiwa bagi orang yang gelisah. Semakin dekat seseorang kepada Tuhan, dan semakin banyak ibadahnya, maka akan semakin tenteramlah jiwanya, serta semakin mampu menghadapi kekecewaan dan kesukaran-kesukaran dalam hidup. Demikian pula sebaliknya, semakin jauh orang itu dari agama, akan semakin susahlah baginya untuk mencari ketenteraman batin.
M. Surya (1977) mengemukakan bahwa agama memegang peranan penting sebagai penentu dalam proses penyesuaian din. Hal ini diakui oleh ahli klinis, psikiatris, pendeta, dan konselor bahwa agama adalah faktor penting dalam memelihara dan memperbaiki kesehatan mental. Agama memberikan suasana psikologis tertentu dalam mengurangi konflik, frustrasi, dan ketegangan lainnya, dar memberikan suasana damai dan tenang.
Agama merupakan sumber nilai, kepercayaan dan pola-pola tingkah laku yang akan memberikan tuntunan bagi arti, tujuan, dan kestabilan hidup umat manusia. Kehidupan yang efektif menuntur adanya tuntunan hidup yang mutlak. Shalat dan doa merupakan medium dalam agama untuk menuju ke arah kehidupan yang berarti.
Pada uraian berikut dikemukakan pendapat para ahli lainnya tentang pengaruh agama terhadap kesehatan mental, yaitu sebagai berikut:
Dadang Hawari (2009) mengemukakan, bahwa dari sejumlah penelitian para ahli, ternyata bisa disimpulkan bahwa: (1) komitmen agama dapat mencegah dan melindungi seseorang dari penyakit, meningkatkan kemampuan mengatasi penyakit, dan mempercepat pemulihan penyakit; (2) agama lebih bersifat protektif daripada problem producing; dan (3) komitmen agama mempunyai hubungan signifikan dan positif dengan keuntungan klinis.
Arnold Toynbee (sejarawan Inggris) mengemukakan bahwa krisis yang diderita orang-orang Eropa pada zaman modern ini pada dasarnya terjadi karena kemiskinan rohaniah, dan terapi satu-satunya bagi penderita yang sedang mereka alami ialah kembali kepada agama.
Henry Link (ahli ilmu jiwa Amerika) menyatakan bahwa berdasarkan pengalamannya yang lama dalam menerapkan percobaan-percobaan kejiwaan atas kaum buruh dalam proses pemulihan dan pengarahan profesi, ia mendapatkan bahwa pribadi-pribadi yang religius dan sering mendatangi tempat ibadah, bisa menikmati kepribadian yang lebih kuat dan baik ketimbang pribadi-pribadi yang tidak beragama yang sama sekali tidak menjalankan suatu ibadah.
Zakiah Daradjat (1982:58) mengemukakan bahwa: "Apabila manusia ingin terhindar dari kegelisahan, kecemasan, dan ketegangan jiwa serta ingin hidup tenang, tenteram, bahagia dan dapat membahagiakan orang lain, maka hendaklah manusia percaya kepada Tuhan dan hidup mengamalkan ajaran agama. Agama bukanlah dogma, tetapi agama adalah kebutuhan jiwa yang perlu dipenuhi."
Carrel (Aulia, 1980:19-20) mengemukakan bahwa: "Apabila doa inu dibiasakan dan bersungguh-sungguh, maka pengaruhnya menjadi sangat jelas. Ia merupakan semacam perubahan kejiwaan dan kebadanan. Ketenteraman ditimbulkan oleh doa itu merupakan pertolongan yang besar pada pengobatan." Mengenai tidak dikabulkannya doa, selanjutnya Carrel mengemukakan: "Doa itu sering tidak berhasil, karena kebanyakan orang yang memanjatkan doa itu masuk golongan orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri, pembohong, penyombong, bermuka dua, tidak beriman dan mengasihi."