Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Industri Gula Indonesia, Kenangan Manis yang Jadi Pahit?

11 Maret 2020   01:23 Diperbarui: 11 Maret 2020   01:23 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*Industri Gula Indonesia: Kenangan Manis Yang Jadi Pahit?*

Oleh: *Andre Vincent Wenas*

Perkiraan konsumsi (demand) total gula nasional tahun 2020 ini adalah sekitar 5,8 sampai 6 juta ton.

Terdiri dari kebutuhan GKP (gula kristal putih) untuk konsumsi rumah tangga sebesar 2,7 sampai 2,8 juta ton. Dan kebutuhan GKR (gula kristal rafinasi) untuk kebutuhan industri makanan dan minuman sebesar 3,1 sampai 3,2 juta ton.

Sedangkan pasokan (supply) GKP dari perkebunan tebu dan pabrik gula nasional tahun 2020 ini diperkirakan tak bakal tembus 2 juta ton. Tahun lalu (2019) produksi GKP sekitar 2,2 juta ton saja.

Jadi sederhananya, demand gula nasional tahun 2020 adalah total 5,8 sampai 6 juta ton. Sedangkan supply (pasokan) dari produksi nasional cuma 2 juta ton. Maka ada defisit (kekurangan pasokan gula) sebesar 3,8  sampai 4 juta ton.

Harga acuan yang dipatok pemerintah adalah Rp.12.500,- per kilogram. Sekarang (per awal Maret 2020) harga eceran sudah berkisar Rp.14.000,-  sampai Rp.17.000,- per kilogram.

Pertanyaannya tentu, dari mana kekurangan pasokan ini mesti dipenuhi? Supaya tidak terjadi kekurangan pasokan dan tidak terjadi gejolak harga.

Jawabannya ya sederhana saja, impor. Supaya cepat.

Hanya saja yang perlu diingat adalah, importasi gula ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Bahkan sejak tahun 1967.

Padahal dulu Indonesia pernah mengalami masa gemilang di industri gula nasionalnya.

Periode tahun 1930-an, ada 179 pabrik pengolahan tebu menjadi gula kristal. Dengan hasil produksi 3 juta ton gula per tahun. Dan saat itu surplus produksi sehingga bisa jadi salah satu eksportir gula terbesar di dunia.

Dalam perjalanannya, diakhir dekade ada krisis ekonomi itu dan mengalami penurunan harga gula. Akibatnya, industri gula sempat rontok, dan baru pada akhir dekade tersisa 35 pabrik dengan produksi 500 ribu ton gula per tahun.

Situasi baru agak pulih menjelang Perang Pasifik, dengan 93 pabrik dengan kemampuan produksi 1,5 juta ton per tahun. Setelah Perang Dunia II, tersisa 30 pabrik yang aktif.

Pada persiode tahun 1950-an Indonesia masih menjadi Indonesia eksportir netto gula. Masuk di tahun 1957 semua pabrik gula dinasionalisasi. Sekarang ada sekitar 60-an pabrik gula yang dikelola BUMN dan swasta.

Lalu, sejak 1967 sampai sekarang Indonesia kembali menjadi importir gula. Bahkan saat ini mungkin jadi salah satu importir gula terbesar di dunia.

Cerita pergulaan nasional seperti ini sebetulnya adalah cerita lama. Setiap tahun berulang terus. Sudah lebih setengah abad, cerita impor gula diputar ulang, seperti kaset rusak.

Memang impor gula sekarang ini diatur supaya tidak mengimpor dalam bentuk gula jadi. Tapi diimpor dalam bentuk gula mentah. Alasannya supaya ada nilai-tambah, utamanya segi tenaga kerja, dalam proses rafinasi (memurnikan) gula mentah menjadi gula jadi.

Munculah industri gula rafinasi. Sejak tahun 2004 industri gula rafinasi memulai kiprahnya di Indonesia. Sekarang di tahun 2020 sudah ada 11 pabrik gula rafinasi.

Industri gula rafinasi ini sebetulnya awalnya dimaksudkan sebagai industri sementara demi memenuhi kebutuhan domestik yang mendesak. Lantaran belum atau tidak bisa dipenuhi oleh produksi lokal.

Masalahnya ada di 'on-farm' atau perkebunan tebu yang luasannya tidak bertambah, bahkan mengerut, dan budi-daya tanamannya yang tak ada peremajaan atau penelitian teknis maupun varietas unggulan lagi.

Maupun 'off- farm' atau di pabrik pengolahan yang sudah uzur dan tidak efisien lagi. Kebanyakan pabrik dan mesin peninggalan jaman kolonial dengan manajemen yang bergaya kekolonialan pula.

Industri gula adalah industri yang diregulasi oleh pemerintah. Kebijakan segregasi pasar oleh pemerintah pun pada kenyataanya tidak menyelesaikan masalah. Malah seringkali terjadi kisruh diantara pemain industri, para pedagang besarnya dan oknum lainnya.

Aturan yang ditetapkan adalah pembagian pasar, bahwa GKP (gula kristal putih), sebutan untuk gula yang diproduksi dari perkebunan tebu lokal, adalah boleh dijual di pasar bebas untuk kebutuhan rumah tangga. Konsumen bisa membelinya di pasar-pasar mana saja.

Sedangkan GKR (gula kristal rafinasi) hasil dari olahan gula mentah yang dimpor oleh IP (importir produsen). Saat ini 11 pabrik gula rafinasi, hasil olahannya hanya boleh dijual ke industri makanan dan minuman. Jadi GKR tidak boleh dijual secara retail ke pasar konsumen. Hanya ke pabrik (industri) yang kebanyakan adalah industri makanan dan minuman.

Yang saat ini jadi soal adalah, produksi gula lokal tidak mencukupi kebutuhan konsumsi rumah tangga nasional. Tadi di atas sudah disebut bahwa prediksi kebutuhannya di tahun 2020 ini adalah sebesar 2,7 -- 2,8 juta ton. Sedangkan produksinya diperkirakan tidak bakal tembus ke angka 2 juta ton.

Jadi bakal ada defisit pasokan untuk kebutuhan gula konsumsi rumah tangga. Maka hukum ekonomi tentang supply-demand berlaku. Pasokan kurang maka harga mulai melonjak tinggi.

Jadi bagaimana? Ya cara paling gampang adalah dengan mengalirkan GKR ke pasar bebas. Supaya pasokan tercukupi.

Namun ada masalah. Karena ini akan melanggar aturan. Artinya melawan hukum, dan karenanya bisa dihukum.

Sampai disini masalahnya bisa dipolitisir oleh pihak-pihak tertentu yang melihat adanya peluang bancakan lewat konspirasi. Mulai dari asosiasi petani berdasi, oknum-oknum regulator (pemerintah, dewan, instansi pengawas, dll). Peluang korupsi berjamaah dengan skema tahu sama tahu sudah jamak berlaku bertahun-tahun.

Manakala ada kebutuhan impor (gula mentah) dan pembagian kuota impor, disitulah ilmu silat tingkat tinggi mesti dimainkan. Semua pihak berkepentingan (stake-holders) mesti dirangkul erat dan diberi pemanis agar importasi gula mentah bisa terus berjalan. Tentunya dengan pembagian yang adil dan merata manisnya bagi seluruh anggota konspirasi. So sweet memang.

Pernah di tahun 2002 dicanangkan program Swasembada Gula 2007. Dibentuk Dewan Gula Indonesia pada tahun 2003 (berdasarkan Kepres RI no. 63/2003 tentang Dewan Gula Indonesia). Demi mengembalikan kejayaan industri gula nasional.

Dan sekarang sudah tahun 2020. Sudah 17 kali ulang tahun, sudah lewat masa akil balik. Program ini jelas gagal. Terlalu banyak kepentingan yang membancaki program ini. Target ini diundur terus-menerus sampai akhirnya masuk jurang.

Entah sampai kapan cerita tentang penentuan dan pembagian kuota importasi gula mentah ini akan berulang terus. Akan berulang terus lantaran memang dipelihara supaya begitu terus. Tentu hanya setan yang bercokol di ruang-ruang gelap konspirasi yang tahu.

Semua sudah tahu sama tahu, bahwa cerita soal jebloknya supply-demand gula bukanlah barang baru. Diulang terus setiap tahun. Ini seperti keledai idiot yang jatuh ke lubang yang sama berkali-kali. Mungkin lubangnya enak, sehingga mesti diupayakan sedemikian rupa supaya lubang itu tetap ada.

Industri gula di Indonesia memang pernah punya kenangan yang manis, namun sekarang sudah jadi kenyataan yang pahit.

11/03/2020

*Andre Vincent Wenas*, Sekjen *Kawal Indonesia* - Komunitas Anak Bangsa

Beberapa sumber berita: [1] [2] [3] [4]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun