Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Industri Gula Indonesia, Kenangan Manis yang Jadi Pahit?

11 Maret 2020   01:23 Diperbarui: 11 Maret 2020   01:23 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Industri gula adalah industri yang diregulasi oleh pemerintah. Kebijakan segregasi pasar oleh pemerintah pun pada kenyataanya tidak menyelesaikan masalah. Malah seringkali terjadi kisruh diantara pemain industri, para pedagang besarnya dan oknum lainnya.

Aturan yang ditetapkan adalah pembagian pasar, bahwa GKP (gula kristal putih), sebutan untuk gula yang diproduksi dari perkebunan tebu lokal, adalah boleh dijual di pasar bebas untuk kebutuhan rumah tangga. Konsumen bisa membelinya di pasar-pasar mana saja.

Sedangkan GKR (gula kristal rafinasi) hasil dari olahan gula mentah yang dimpor oleh IP (importir produsen). Saat ini 11 pabrik gula rafinasi, hasil olahannya hanya boleh dijual ke industri makanan dan minuman. Jadi GKR tidak boleh dijual secara retail ke pasar konsumen. Hanya ke pabrik (industri) yang kebanyakan adalah industri makanan dan minuman.

Yang saat ini jadi soal adalah, produksi gula lokal tidak mencukupi kebutuhan konsumsi rumah tangga nasional. Tadi di atas sudah disebut bahwa prediksi kebutuhannya di tahun 2020 ini adalah sebesar 2,7 -- 2,8 juta ton. Sedangkan produksinya diperkirakan tidak bakal tembus ke angka 2 juta ton.

Jadi bakal ada defisit pasokan untuk kebutuhan gula konsumsi rumah tangga. Maka hukum ekonomi tentang supply-demand berlaku. Pasokan kurang maka harga mulai melonjak tinggi.

Jadi bagaimana? Ya cara paling gampang adalah dengan mengalirkan GKR ke pasar bebas. Supaya pasokan tercukupi.

Namun ada masalah. Karena ini akan melanggar aturan. Artinya melawan hukum, dan karenanya bisa dihukum.

Sampai disini masalahnya bisa dipolitisir oleh pihak-pihak tertentu yang melihat adanya peluang bancakan lewat konspirasi. Mulai dari asosiasi petani berdasi, oknum-oknum regulator (pemerintah, dewan, instansi pengawas, dll). Peluang korupsi berjamaah dengan skema tahu sama tahu sudah jamak berlaku bertahun-tahun.

Manakala ada kebutuhan impor (gula mentah) dan pembagian kuota impor, disitulah ilmu silat tingkat tinggi mesti dimainkan. Semua pihak berkepentingan (stake-holders) mesti dirangkul erat dan diberi pemanis agar importasi gula mentah bisa terus berjalan. Tentunya dengan pembagian yang adil dan merata manisnya bagi seluruh anggota konspirasi. So sweet memang.

Pernah di tahun 2002 dicanangkan program Swasembada Gula 2007. Dibentuk Dewan Gula Indonesia pada tahun 2003 (berdasarkan Kepres RI no. 63/2003 tentang Dewan Gula Indonesia). Demi mengembalikan kejayaan industri gula nasional.

Dan sekarang sudah tahun 2020. Sudah 17 kali ulang tahun, sudah lewat masa akil balik. Program ini jelas gagal. Terlalu banyak kepentingan yang membancaki program ini. Target ini diundur terus-menerus sampai akhirnya masuk jurang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun