Mohon tunggu...
Andra
Andra Mohon Tunggu... Freelancer - Data Analyst

Orang yang antusias dengan isu pembahasan geopolitik, politik, ekonomi, dan sosial

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Ancaman Konflik di Laut Cina Selatan Terhadap Kedaulatan Indonesia: Menciptakan Aspek Pertahanan yang Berkesinambungan

31 Mei 2024   20:07 Diperbarui: 6 Juni 2024   12:46 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peta Laut Cina Selatan yang diklaim oleh beberapa negara ASEAN, Tiongkok, dan Taiwan (source: ww.bbc.com)

ANCAMAN KONFLIK DI LAUT CHINA SELATAN TERHADAP KEDAULATAN INDONESIA : MENCIPTAKAN ASPEK PERTAHANAN YANG BERKESINAMBUNGAN 

 

I. Pendahuluan

Laut Cina Selatan (LCS) merupakan kawasan yang membentang sekitar 3,5 juta kilometer persegi dan merupakan rute maritim penting untuk perdagangan global. Hal ini juga diyakini mengandung cadangan minyak dan gas alam substansial yang belum dimanfaatkan. Signifikansi geopolitik dan potensi sumber daya kawasan ini telah menjadikannya hotspot untuk sengketa teritorial. 

Sebagai kawasan strategis yang vital dan kaya sumber daya, wilayah Laut Cina Selatan dan pulau-pulaunya menjadi isu klaim teritorial yang tumpang tindih oleh banyak negara seperti Tiongkok, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan. Tiongkok dengan kepentingan politik dan alasan historis ingin mengklaim Laut Cina Selatan sebagai wilayahnya. 

Dengan alasan tersebut, Tiongkok membangun landasan pangkalan udara militer sebagai bentuk kehadiran Tiongkok di daerah itu yang membuat protes di negara-negara tetangga. Indonesia juga menghadapi klaim Sembilan Garis Putus (Nine Dash Line) oleh Tiongkok dimana wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di perairan Kepulauan Natuna termasuk di dalam klaim Tiongkok tersebut.

 Kehadiran militer Tiongkok di Laut Cina Selatan menjadi pertanda munculnya ancaman bagi Kedaulatan Indonesia. Amerika Serikat ikut andil dalam isu Laut Cina Selatan sebagai bagian dari kepentingan strategis dalam mempertahankan kebebasan bernavigasi dan menegakkan yuridiksi hukum internasional di region laut Cina Selatan.

Negara-negara asing yang memiliki kekuatan militer yang besar dan punya kepentingan di Laut Cina Selatan seperti Tiongkok dengan Chinese Coast Guard-nya dan nelayan asing sering melakukan intrusi ke wilayah kedaulatan Indonesia khususnya di perairan sekitaran Natuna yang berbatasan langsung dengan wilayah Laut Cina Selatan. 

Beberapa kasus seperti penemuan peralatan jelajah laut canggih seperti Seaglider oleh nelayan di perairan Indonesia sebagai salah satu bentuk bukti bahwa terdapat Unmanned Underwater Vehicle’s (UUV) yang dioperasikan secara diam-diam di wilayah perairan  Indonesia, digunakan secara global untuk keperluan pemetaan fisik samudera dan melakukan berbagai misi lain oleh pihak asing. 

Terkait hal tersebut, sudah sepatutnya Indonesia perlu koordinasi antar lembaga untuk menghadapi konflik Laut Cina Selatan. Bukan hanya dari sisi militer saja, namun hubungan politik dua negara berkekuatan militer besar seperti Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok turut mempengaruhi suhu geopolitik di kawasan Laut Cina Selatan yang mana persoalan konflik di LCS menjadi bom waktu yang seakan segera meletus kapan saja.

Peran militer dan diplomasi disini sangat krusial dan penting. Pengadaan dan peremajaan alutista militer menjadi penting mengingat dalam mempertahankan wilayah yang bersinggungan dengan Laut Cina Selatan. Dalam peran militer anggaran merupakan kunci dalam hal modernisasi alutista militer. 

Anggaran Belanja Militer Indonesia melalui Kementerian Pertahanan sebagaimana termasuk di dalam APBN 2024 dan lebih dirinci di dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 76 tahun 2023 bahwa anggaran Kementerian Pertahanan sebesar 139 Trilliun Rupiah lebih yang terbagi ke dalam tiga jenis belanja yaitu belanja pegawai Rp. 54 triliun, barang Rp. 44 triliun, dan modal Rp. 40 triliun. 

Adapun aspek yang dialokasikan negara dalam belanja pertahanan misalnya untuk program modernisasi alutsista, non-alutsista, dan sarana prasarana pertahanan yang terbagi dalam Rp. 3 triliun belanja barang dan Rp. 19 triliun untuk modal. Sedangkan untuk keperluan Tentara Nasional Indonesia antara lain dipakai untuk markas besar TNI AD Rp. 58 triliun, markas besar TNI AL Rp. 25 triliun, dan markas besar TNI AU Rp. 18 triliun. 

Selain sisi belanja alutista militer, aspek diplomasi melalui kerangka hukum internasional, perlu melihat benang merah yang saling mempengaruhi dengan variabel lainnya seperti Program Belt Road Initiative-Silk Road Project yang dicanangkan oleh Tiongkok, pengaruh sosial media seperti Tik-Tok, E-Commerce yang mendapatkan pendanaan dan investasi dari tiongkok, dan penanaman modal investasi asing langsung (direct investment) dari Tiongkok.

 Variabel-variabel tersebut menjadi yang patut diperhitungkan oleh pemerintah Indonesia mengingat menjadi penentu posisi daya tawar Indonesia terhadap ancaman konflik di Laut Cina Selatan. Intelijen juga memainkan peran penting dimana Indonesia melalui Badan Intelijen Negara (BIN) sebagai garda terdepan dalam perolehan informasi terkait potensi dan gambaran konflik yang akan dihadapi Indonesia. Peran intelijen sebagai pengumpulan informasi dari berbagai sumber, termasuk jaringan satelit, kapal patrol lintas batas, dan jaringan mata-mata, untuk mengidentifikasi potensi ancaman ke depannya bagi Indonesia.

 

II. Kerangka Hukum Internasional (International Law Framework) dan Diplomasi Bilateral dan Multilateral

Dalam menghadapi konflik internasional, jika melihat dari sisi kerangka hukum internasional, ada beberapa kerangka hukum internasional yang bisa dijadikan sebagai langkah diplomasi oleh pihak Indonesia di antara nya :

a. Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) 1982 yang Kerangka hukum utama yang mengatur hak dan sengketa maritim. Ini menetapkan pedoman untuk laut teritorial, zona ekonomi eksklusif (ZEE), dan landas kontinen.

b. Putusan Pengadilan Arbitrase (Arbitration Tribunal Ruling (2016), sebagaimana contohnya di dalam kasus yang diajukan oleh Filipina, pengadilan membatalkan klaim sembilan garis putus-putus (Nine Dash Line) Tiongkok, menyatakan bahwa mereka tidak memiliki dasar hukum berdasarkan UNCLOS. 

Namun pihak Tiongkok menolak keputusan itu. Putusan pengadilan arbitrase internasional hanya mengeluarkan putusan pengadilan namun dari mekanisme penegakan putusan sifatnya lemah. Dalam hal penegakan putusan arbitrase bahwa walaupun putusan arbitrase diakui secara internasional melalui Konvensi New York 1958, ada kasus di mana negara atau pihak tidak mematuhi atau mempersulit penegakan putusan tersebut. Hal ini dapat menyebabkan ketidakpastian dan menghambat resolusi akhir dari sengketa, terutama jika pihak yang kalah tidak memiliki aset di yurisdiksi yang mematuhi konvensi.

Dalam hal diplomasi, Indonesia dan Malaysia sebagai anggota ASEAN mengedepankan penyelesaian konflik di Laut Cina Selatan dengan menggunakan forum  internasional dan saluran komunikasi diplomatik yang berlaku khususnya berdasarkan prinsip-prinsip yang ada di UNCLOS 1982. 

Kesepakatan antara Indonesia dan Malaysia menuntut bahwa isu tuntutan maritim di perairan tersebut dan penyelesaiannya hendaklah dibuat secara aman berdasarkan prinsip-prinsip hukum internasional yang diakui secara universal, termasuklah UNCLOS 1982.

Patut diketahui bahwa UNCLOS 1982 sebagai Konvensi Hukum Laut yang mengantikan aturan-aturan yang telah ada mengatur tentang hukum di laut. Sebelum UNCLOS 1982, hukum laut diatur oleh kombinasi hukum adat internasional, konvensi-konvensi Jenewa 1958, perjanjian bilateral dan regional, serta peraturan nasional. 

Prinsip kebebasan laut lepas (freedom of the seas) dan berbagai konvensi dari Konferensi Jenewa 1958 memainkan peran kunci dalam mengatur penggunaan dan pemanfaatan laut oleh negara-negara. UNCLOS 1982 kemudian menggantikan dan memperbarui aturan-aturan ini dengan kerangka hukum yang lebih lengkap dan modern, yang mencakup semua aspek penting dari hukum laut.

Dalam hal dinamika hubungan internasional, penggunaan diplomasi bilateral dan multilateral, negara-negara yang memiliki isu klaim wilayah terlibat dalam negosiasi bilateral dan forum multilateral, seperti ASEAN, untuk mengelola perselisihan dan mencari resolusi damai. 

Namun dalam konteks Laut Cina Selatan, hal tersebut sungguh rumit dalam menyelesaikan persoalan yang ada bahwa masing-masing negara memiliki konteks kepentingan dan pendekatan diplomasi masing-masing. ASEAN bukan seperti Uni Eropa dimana ASEAN belum memiliki badan atau kesatuan forum dalam penyelesaian isu sengketa di Laut Cina Selatan. Indonesia sebagai negara paling besar secara wilayah dan salah satu big brother di ASEAN seharusnya lebih memiliki peran penting dalam penyelesaian bersama untuk menekan Tiongkok dan Taiwan dalam isu klaim wilayah maritim di Laut Cina Selatan. Indonesia dengan segala daya upaya dapat mengupayakan persatuan di antara sesama anggota ASEAN dalam menangani dan penyelesaian konflik di Laut Cina Selatan.

 

III. Aliansi Militer dan Posisi Politik Indonesia

Wilayah Laut Cina Selatan telah mengalami peningkatan atas kehadiran dan kegiatan militer, terutama dari China dan AS, yang menyebabkan meningkatnya ketegangan. Dalam aliansi regional dan pakta keamanan, seperti Perjanjian Pertahanan Bersama AS dan sekutunya, memainkan peran penting dalam mempengaruhi peta aliansi militer di Kawasan ASEAN. Indonesia sebagai salah satu big brother di Kawasan ASEAN, seharusnya melakukan modernisasi bukan hanya dari sisi alutista militer namun juga dari konsep dan sistem pertahanan yang disesuaikan dengan keadaan saat ini. 

Doktrin Politik Luar Negeri Bebas Aktif yang dianut Indonesia mengalami konstentasi politik internasional yang cepat mengalami perubahan. Isu klaim wilayah maritim di LCS menjadi ranah pertarungan antara dua kekuatan dunia antara USA dengan Tiongkok.

Di satu sisi, Indonesia harus mengedepankan kepentingan diplomasi Indonesia. Pemerintah Indonesia seyogianya tidak bersikap netral tanpa bersikap, melainkan bersikap hati-hati dalam membuat kebijakan luar negeri yang tentunya sesuai dengan kepentingan posisi Indonesia. Hubungan Indonesia dengan negara-negara yang tergabung dengan AUKUS (Australia, United Kingdom, & United States), memiliki kerjasama militer seperti latihan militer bersama dan pengadaan senjata dalam rangka modernisasi alutista militer. 

Selain itu, Indonesia juga memiliki hubungan dengan RRT dimana Indonesia melakukan kerjasama di bidang ekonomi investasi langsung untuk beberapa proyek di Indonesia. Dari sisi militer, Indonesia lebih condong bekerjasama dengan pihak AUKUS dibanding dengan Tiongkok. Hal ini dikarenakan sengketa wilayah di Laut Natuna Utara dengan pihak Tiongkok.

Mengenai pencurian sumber perikanan di Laut Cina Selatan, dimana para nelayan sering mendapat tekanan dan dikejar dari nelayan asing dan Chinese Coast Guard dimana ancaman ini menjadi nyata. Para nelayan merasa seperti tamu asing di wilayah sendiri. Kasus pencurian ikan menjadi viral ketika kapal-kapal ikan China yang dikawal kapal penjaga pantai China terdeteksi melakukan penangkapan ikan dalam jarak 130 mil laut dari Ranai, Natuna.[2] Setelah adanya kejadian viral yang terjadi di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia tersebut, barulah pihak TNI Angkatan Laut melakukan patroli rutin di wilayah sekitaran kepulauan Natuna. 

Adanya peningkatan permintaan produk ikan di pasar dunia membuat semakin seringnya aktivitas illegal fishing di wilayah ZEE Indonesia yang berada di Laut Cina Selatan. Adanya peningkatan konsumsi ikan secara global menimbulkan permasalahan baru yaitu terjadinya overfishing. Penangkapan ikan berlebihan (Overfishing) di laut merupakan bentuk eksploitasi yang sangat berbahaya bagi populasi ikan. Para nelayan asing melakukan penangkapan ikan dengan jumlah yang berlebihan, dengan tujuan untuk mendapatkan sebanyak mungkin ikan. Para nelayan Asing menggunakan berbagai cara yang merusak populasi sumber daya laut. Bahan peledak seringkali digunakan sebagai senjata utama dalam penangkapan ikan, yang menyebabkan kematian ikan kecil, ikan besar, terumbu karang, dan biota laut lainnya. 

Dengan adanya fenomena illegal fishing akan berdampak serius pada kondisi perekonomian khususnya di wilayah Kepulauan Natuna yang berbatsan langsung dengan Laut Cina Selatan. Illegal fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI) telah menyebabkan kerugian yang signifikan bagi Indonesia, termasuk kerugian materi. Untuk menetapkan angka asumsi dasar terkait kerugian ini, diperkirakan ada sekitar 1.000 kapal asing dan eks-asing yang melakukan illegal fishing. Selain itu, sekitar 25% ikan yang dicuri dari kegiatan illegal fishing dibuang (discarded) berdasarkan estimasi FAO tahun 2001. 

Dengan asumsi tersebut, jika jumlah tangkapan lestari maksimum (maximum sustainable yield/MSY) ikan sebesar 6,4 juta ton/tahun, maka sekitar 1,6 juta ton ikan hilang akibat pencurian dan pembuangan setiap tahunnya. Jika harga jual rata-rata ikan di luar negeri adalah 2 USD/kg, maka kerugian yang dialami Indonesia bisa mencapai 30 triliun per tahun. Dengan kata lain, illegal fishing memiliki dampak yang sangat merugikan bagi Indonesia, baik dari segi ekonomi maupun keberlanjutan sumber daya perikanan (Mahabror & Hidayat, 2018).

Maka dari itu sebagai dalam mempertahankan wilayah Indonesia yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan yaitu perlu membumikan sistem pertahanan Indonesia yaitu Pertahanan Semesta. Pertahanan Semesta tersebut dikenal dengan Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata) adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh aspek mulai dari warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman baik secara eksternal maupun internal (Dr. R.E Suryana, 2020). Beberapa ciri yang ada dalam Sishankamrata antara lain:

a. Ciri kerakyatan mengandung makna bahwa orientasi pertahanan diabdikan oleh dan untuk kepentingan seluruh rakyat.

b. Ciri kesemestaan mengandung makna bahwa seluruh sumber daya nasional didayagunakan bagi upaya pertahanan.

c. Ciri kewilayahan merupakan gelar kekuatan pertahanan yang tersebar di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,           sesuai dengan kondisi geografi sebagai satu kesatuan pertahanan.

Terkait dengan tiga ciri tersebut harus dijalankan seimbang dimana penglibatan seluruh rakyat tentu tak dapat dielakkan, serta perubahan sosial dan politik yang tak boleh diabaikan. Di samping itu perkembangan teknologi persenjataan telah menambah dimensi baru akan ketidakpastian. Hal ini menjadi tugas pemerintah dan pihak TNI untuk segera membumikan Sishankamrata khususnya di wilayah kepulauan Natuna yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan.

 

IV. Teknologi Persenjataan sebagai aspek dalam pertahanan Indonesia

Saat ini konflik di beberapa belahan dunia, beberapa negara sudah banyak yang menggunakan persenjataan dengan teknologi mutakhir atau kekinian. Teknologi persenjataan ini telah mengalami perkembangan teknologi salah satunya seperti Unmanned Aerial Vehicle (UAV) sudah mulai digunakan oleh beberapa negara. UAV merupakan kendaraan udara bertenaga yang tidak membawa operator manusia, menggunakan kekuatan aerodinamis untuk memberikan daya angkat kendaraan, dapat terbang secara mandiri atau diujicobakan dari jarak jauh, dapat dibuang atau dipulihkan dan dapat membawa muatan mematikan atau tidak mematikan. UAV mulai digunakan di beberapa konflik seperti Konflik Rusia- Ukraina (2014-Skrg), Konflik Israel-Palestina, dan Konflik Iran-Israel (2024). Selain UAV, penggunaan misil rudal balistik juga semakin sering dalam penggunaan konflik yang ada saat ini.

Indonesia di kelilingi wilayah lautan dan memiliki ruang udara yang luas, menjadi potensi serangan dari laut dan udara mengancam wilayah Indonesia. Laut Cina Selatan yang mayoritas adalah wilayah laut dan ruang udara yang luas menjadi tugas bagi pemerintah untuk membangun pertahanan yang ekstensif. Jika dibandingkan mengoperasionalkan pesawat, lebih murah dalam hal mengoperasionalkan rudal, cruise missile, dan drone UAV. Drone UAV biasanya lebih murah dalam hal pengadaan dan operasional dibandingkan dengan pesawat tempur. Mereka tidak memerlukan pilot di dalam pesawat, sehingga mengurangi biaya pelatihan dan risiko kehilangan personel. UAV dapat melakukan misi patroli yang panjang tanpa perlu sering kembali ke pangkalan untuk mengisi bahan bakar atau istirahat. Misalnya, drone seperti MQ-9 Reaper dapat terbang selama lebih dari 24 jam. Operasi UAV menghilangkan risiko terhadap personel militer dalam misi berbahaya, karena mereka dioperasikan dari jarak jauh. UAV dilengkapi dengan berbagai sensor dan kamera canggih yang dapat digunakan untuk pengintaian, pengawasan, dan pengintaian (ISR) yang lebih efektif dan persisten. Namun terdapat kekurangan dari UAV, UAV umumnya memiliki kapasitas angkut senjata yang lebih kecil dan kemampuan manuver yang lebih rendah dibandingkan dengan pesawat tempur. Mereka kurang efektif dalam pertempuran udara ke udara. UAV bisa rentan terhadap serangan siber dan gangguan elektronik yang dapat mengganggu operasional mereka. UAV mungkin kurang efektif dalam situasi tempur yang sangat dinamis dan kompleks yang memerlukan keputusan cepat dan manuver agresif.

Pesawat tempur seperti F-16, Su-27/30, atau F-35 memiliki daya angkut senjata yang besar, kecepatan tinggi, dan kemampuan manuver yang unggul, membuat mereka efektif dalam menghadapi berbagai ancaman, termasuk pesawat musuh dan serangan darat. Dalam hal fleksibilitas misi, pesawat temour mampu menjalanan berbagai jenis misi, termasuk patroli udara, serangan darat, penindakan maritim, dan pengintaian. Merka dapat merespons berbagai situasi dengan cepat dan efektif. Kehadiran pesawat tempur di suatu wilayah dapat memberikan efek deterrence yang signifikan terhadap potensi pelanggar, menunjukkan kemampuan militer yang kuat dan kesiapan untuk bertindak atas pelanggaran. Pesawat tempur modern dilengkapi dengan sistem avionik canggih yang memungkinkan interoperabilitas dengan sistem pertahanan lain, baik dalam skala nasional maupun internasional. Namun ada kekurangan dari pesawat tempur seperti biaya operasional yang tinggi, Pengoperasian pesawat tempur melibatkan risiko terhadap pilot dan kru pendukungnya, terutama dalam situasi tempur yang berbahaya. Pesawat tempur memiliki keterbatasan dalam durasi patroli yang disebabkan oleh kebutuhan bahan bakar dan istirahat pilot.

V. Masalah Ekonomi dan Lingkungan (Economic and Environmental Concerns) 

Indonesia sepatutnya mewaspadai kerjasama ekonomi dengan negara asing khususnya Tiongkok secara oportunistik dan terukur bagi Indonesia. Hal ini dikhawatirkan menciptakan ketergantungan dengan Tiongkok seperti hutang luar negeri dan proyek yang mendapat modal asing dari sektor keuangan milik pemerintah Tiongkok. Pemerintah Tiongkok melalui investasi berusaha untuk menancapkan pengaruh di negara-negara yang menerima modal investasi dari Tiongkok. Salah satu kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari investasi di pertambangan nikel menjadi persoalan bagi pihak Indonesia. Wilayah potensi dengan nikel menjadi tempat yang diekploitasi dari perusahaan asing khususnya dari Tiongkok. Hasil olahan nikel tersebut dipakai di salah satu industri seperti baterai untuk mobil listrik dimana hal ini menjadi manfaat bagi Tiongkok dalam mengurangi polusi udara dari kendaraan berbahan bakar fosil di wilayah Tiongkok. Sedangkan di Indonesia, lingkungan menjadi rusak sebagai akibat aktivitas tambang nikel dan merusak ekosistem di wilayah tambang tersebut. Indonesia tentu mengalami kerugian lingkungan sebagai dampak dari eksploitasi tambang nikel tersebut. Hal tersebut menandakan eksploitasi pihak Tiongkok melalui penanaman modal asing dimana dirugikan adalah Indonesia selaku tuan rumah pemilik lahan dan sumber daya alam.

 

VI. Perang Ekonomi: Ancaman di balik dari Program Belt Road Innitiative (BRI) dan Debt-trap diplomacy

Perang ekonomi (economic warfare) adalah penggunaan strategi ekonomi untuk melemahkan kekuatan ekonomi lawan, yang pada gilirannya akan melemahkan kemampuan militernya. Ini bisa mencakup sanksi ekonomi, embargo, dan manipulasi pasar keuangan untuk mengganggu stabilitas ekonomi lawan. Indonesia sangat rentan dengan hal ini dikarenakan ada beberapa Kerjasama proyek investasi yang berkaitan dengan Tiongkok.

Belt and Road Initiative (BRI) merupakan program proyek global yang diluncurkan oleh pihak Tiongkok di tahun 2013 sebagai strategi Tiongkok untuk pembangunan global yang ambisius yang bertujuan untuk meningkatkan konektivitas regional dan integrasi ekonomi dengan Tiongkok. BRI ini sebagai strategi yang dijalankan Tiongkok untuk menaklukan wilayah yang tergabung dalam proyek-proyek tersebut. Jika suatu negara tidak mampu membayar utang mereka, maka di dalam perjanjian untuk segera menyerahkan infrastruktur dan sumber daya mereka ke Tiongkok. Strategi yang bertujuan untuk meningkatkan konektivitas regional dan integrasi ekonomi dengan Tiongkok. Banyak negara yang melakukan investasi BRI ini dimana Pembangunan jalan bebas hambatan (highway), jalur kereta api (railways), pelabuhan, dan airport untuk meningkatakn konektivitas antar wilayah.  Hal ini sebagai jalan bagi Tiongkok untuk meningkatkan pengaruh di beberapa negara yang terikat dengan proyek Belt Road Initiative dengan tergantung secara ekonomi dan kontrol strategis dalam konteks geopolitik.

Silk Road Economic Belt (Jalur Darat) dan The 21st Century Maritime Silk Road (Jalur Maritim), yang memiliki total estimasi nilai project sebesar US$ 1 – 8 Trilliun secara keseluruhan. Melalui proyek BRI tersebut, Tiongkok dapat menekankan diplomasi dengan cara debt trap dimana negara yang memiliki pinjaman jika suatu waktu tidak dapat melunasi hutangnya yang sudah jatuh tempo maka sesuai perjanjian bilateral maka Tiongkok dapar mengontrol aset dan proyek yang dijadikan agunan pinjaman tersebut. Disini jelas Indonesia harus melihat potensi ancaman atas kemudahan dan syarat pinjaman yang ditawarkan oleh Tiongkok.

Indonesia sebagai negara yang memiliki letak strategis menjadi sasaran dari pemerintah tiongkok. Pemerintah Tiongkok dengan ideologi dan prinsip ekspasionisme mereka menjadikan sumber daya alam di negara lain sebagai sumber untuk menghidupi negara Tiongkok yang memiliki populasi manusia sebanyak 1,5 miliar. Bisa saja hal itu menjadi rantai pemberat bagi Indonesia dalam melakukan negosiasi dan diplomasi atas kasus LCS khususnya dengan Tiongkok. Jika kondisi terjebak hutang yang lebih dalam, menjadikan posisi Indonesia sulit dalam hal daya tawar di panggung diplomasi.

VII. Kesimpulan

Ancaman atas konflik dan klaim di Laut Cina Selatan terhadap kedaulatan Indonesia harus dilihat beberapa sisi. Pertama, kita melihat dari kerangka resolusi & keterlibatan diplomatik. Dialog berkelanjutan melalui mekanisme yang dipimpin ASEAN dan pembicaraan bilateral sangat penting untuk mengurangi ketegangan konflik di Laut Cina Selatan. Dalam hal Ajudikasi Hukum, negara-negara yang terlibat konflik harus memperkuat kepatuhan terhadap norma dan mekanisme hukum internasional seperti UNCLOS 1982 sangat penting untuk tatanan berbasis aturan. Langkah-langkah membangun kepercayaan melalui inisiatif seperti perjanjian pembangunan bersama dan kode etik dapat membantu mengelola perselisihan dan mendorong kerja sama. Konflik sengketa di Laut Cina Selatan melambangkan persimpangan hukum internasional dan geopolitik. Penyelesaian konflik membutuhkan pendekatan multifase yang menyeimbangkan ajudikasi hukum, negosiasi diplomatik, dan pertimbangan strategis. Menjunjung tinggi hukum internasional dan membina kerangka kerja regional yang kooperatif tetap penting untuk memastikan perdamaian dan stabilitas dalam ranah maritim yang diperebutkan ini.

Kedua, dalam aspek pertahanan militer, beberapa teori dan konsep pertahanan terkait dengan  pengembangan misil atau rudal telah berkembang untuk menghadapi berbagai ancaman dan tantangan yang ditimbulkan oleh penggunaan senjata ini. Di dalam pencegahan tindakan agresif dari musuh adalah dengan ancaman yang diberikan dengan pembalasan yang sangat merugikan yang dikenal sebagai Teori Pencegahan (Deterrence Theory). Hal ini terkait dengan konteks penggunaan rudal, cruise missile, dan drone sehingga dapat melaksanakan deterrence dengan kapasitas serangan balasan yang kua dan kredibel. Negara seperti Indonesia bisa menggunakan conventional deterrence dengan menggunakan rudal balistik dan jelajah konvensional sebagai bagian strategi deterrence, dengan menunjukkan kemampuan untuk menyerang infrastruktur kritis atau target strategis lawan. Concept of Operations (CONOPS) for Missile Defense merupakan rencana yang menguraikan cara sistem rudal yang akan digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam konteks pertahanan rudal mencakup berbagai sistem pertahanan seperti radar, sistem komando dan kontrol serta interceptor yang akan berguna untuk mendeteksi, melacak, dan menghancurkan rudal lawan.

Ketiga, dalam hal anggaran militer, lembaga seperti Presiden, DPR, Kementerian Pertahanan (Kemenhan), dan Kementerian keuangan (Kemenkeu) menjadi  lembaga-lembaga negara yang membentuk anggaran pertahanan yang kredibel dan tepat sasaran. Hal ini menjadi kunci dalam blue print untuk modernisasi alutista militer Indonesia. Berdasarkan laporan Kemenkeu, anggaran Kemenhan pada 2023 tercatat sebesar Rp144,3 triliun. Selama periode 2020 sampai 2024, anggaran Kemenhan terus mengalami naik turun dan yang tertinggi adalah pada 2022, yakni hingga Rp150,4 T. Apabila seluruh anggaran pada periode tersebut diakumulasikan, total anggaran Kemenhan menyentuh angka Rp692,92 triliun. Persentase sebesar 60,53% dari total keseluruhan alutsista dialokasikan untuk pembelian tank dan kendaraan perang Total tank dan kendaraan perang yang diimpor adalah sebanyak 644,17 ton atau senilai US$77,59 juta.

Dalam hal belanja untuk alustista, penggunaan drone dan rudal balistik menjadi salah satu elemen persenjataan yang patut dimiliki di Indonesia sebagai perlengkapan alustita pertahanan milik Indonesia. Negara kepulauan memerlukan aspek pertahanan yang mumpuni. Laut Cina Selatan merupakan jalur logistik global yang padat. Jika terjadi perang maka komoditas terpengaruh dan mempengaruhi kinerja ketahanan ekonomi Indonesia yang bergantung sama import. Indonesia harus memiliki ketahanan mandiri dan meminimalkan segala upaya made in Indonesia yang mengurangi kertegantungan sparepart alustita impor dari luar negeri. Konsep ini menekankan pentingnya memiliki industri pertahanan yang kuat dan mandiri. Negara-negara yang memiliki basis industri pertahanan yang kuat dapat memproduksi persenjataan dan peralatan militer sendiri, mengurangi ketergantungan pada impor dan meningkatkan kemampuan bertahan dalam jangka panjang. Indonesia sudah mulai memiliki industri pertahanan seperti PT. Pindad dan PT. PAL Indonesia. Namun khusus untuk pertahanan Udara Indonesia masih melakukan skema Kerjasama dengan negara asing seperti proyek pesawat tempur KF-21 Boramae dengan Korea Selatan atau import langsung dari negara asing seperti Pesawat Jet Tempur Rafale dari Prancis. Untuk pertahanan laut beberapa kapal laut dan kapal selam (Scorpone) masih dilakukan import dari negara asing.

Ke empat, terkait pembahasan di paragraf sebelumnya, Indonesia butuh sebuah pertahanan berlapis (Layered Missile Defense) sebagai bentuk strategi perlindungan wilayah atau target dari serangan rudal musuh melalui beberapa lapisan sistem pertahanan, yang dirancang untuk mencegat rudal pada berbagai tahap penerbangannya. Beberapa fase (phase) dalam strategi pertahanan berlapis antara lain :

  • Boost Phase : Intersepsi dilakukan saat rudal masih dalam tahap pendakian setelah diluncurkan. Sistem seperti pesawat tempur atau drone bersenjata dapat digunakan untuk menghancurkan rudal sebelum mencapai kecepatan dan ketinggian maksimal.
  • Midcourse Phase : Intersepsi dilakukan saat rudal berada di luar atmosfer bumi. Sistem seperti Ground-Based Midcourse Defense (GMD) atau menggunakan interceptor untuk menyerang rudal dalam fase ini.
  • Terminal Phase : Intersepsi dilakukan saat rudal memasuki kembali atmosfer bumi dan mendekati targetnya. Sistem seperti Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) dan Patriot Advanced Capability-3 (PAC-3) digunakan untuk mencegat rudal dalam tahap akhir penerbangan.

Terkait dengan tiga fase pertahanan tersebut, Indonesia tentunya sudah harus menerapkan konsep Anti-Access/Area Denial (A2/AD) yang digunakan untuk mencegah lawan dari memasuki atau beroperasi di wilayah tertentu melalui penggunaan senjata jarak jauh, termasuk rudal balistik dan jelajah. Dalam dunia pertahanan militer, berbagai teori dan konsep telah berkembang untuk mengelola ancaman yang ditimbulkan oleh rudal dan misil. Konsep-konsep ini mencakup strategi pencegahan, pertahanan berlapis, A2/AD, keseimbangan antara kemampuan ofensif dan defensif, serta stabilitas strategis. Setiap konsep ini memainkan peran penting dalam bagaimana negara-negara merancang dan mengimplementasikan sistem pertahanan mereka untuk menghadapi ancaman yang terus berkembang dari teknologi rudal.

Terkait klaim wilayah di Laut Cina Selatan, Tiongkok telah mengembangkan kemampuan A2/AD yang signifikan di Laut China Selatan dan sekitar wilayahnya, menggunakan rudal seperti DF-21D (anti-ship ballistic missile) untuk menargetkan kapal induk dan kapal perang lainnya yang mendekati wilayah tersebut. Hal ini sebagai bentuk warning bagi pemerintah Indonesia. Sudah sepatutnya Indonesia menganut konsep offensive-defensive balance dimana adanya kemampuan aspek pertahanan yang seimbang antara kemampuan ofensif dan defensif dalam konteks pembangunan alustista seperti rudal atau cruise missile. Hal dikarenakan negara-negara asing terus mengembangkan teknologi untuk meningkatkan kemampuan serangan rudal sekaligus memperkuat sistem pertahanan rudal.

Secara teknis, Indonesia butuh kombinasi kedua alustita baik pesawat tempur dan drone UAV. Penggunaan kombinasi pesawat tempur dan drone UAV dapat memberikan manfaat optimal bagi pertahanan Indonesia. Pesawat tempur dapat digunakan untuk menghadapi ancaman tingkat tinggi yang memerlukan daya tembak besar dan manuver agresif, sementara UAV dapat digunakan untuk patroli dan pengintaian berkelanjutan, memberikan pengawasan yang konsisten dan respons cepat terhadap ancaman tingkat rendah dan menengah. Jika ancaman yang dihadapi lebih cenderung membutuhkan respons cepat dan kuat (seperti ancaman dari pesawat tempur musuh), pesawat tempur mungkin lebih cocok. Namun, jika ancaman lebih terkait dengan patroli wilayah luas dan pengawasan jangka panjang, UAV mungkin lebih efektif. Pertimbangan dari sisi anggaran dan kemampuan pemeliharaan juga penting. UAV menawarkan solusi biaya yang lebih rendah dan risiko yang lebih sedikit terhadap personel. Dengan mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan masing-masing, serta situasi dan ancaman spesifik yang dihadapi, Indonesia dapat mengembangkan strategi pertahanan udara yang seimbang dan efektif. Kombinasi pesawat tempur dan drone UAV akan memungkinkan respons yang fleksibel dan efisien terhadap berbagai jenis pelanggaran wilayah kedaulatan.

Kelima, selain aspek teknis, militer Indonesia juga butuh penguatan dan reformasi di bidang intelijen mengingat era saat ini lebih kepada big data dimana derasnya arus informasi. Salah satunya seperti big data memainkan peranan penting dalam operasi militer modern. Beberapa hal terkait big data dan militer di antaranya :

  • Kesadaran Situasional (Situational Awareness) : Militer mengintegrasikan berbagai sumber intelijen, termasuk analisis media sosial, citra satelit, dan data sensor, untuk mencapai kesadaran situasional yang komprehensif.
  • Deteksi Ancaman (Threat Detection): Intelijen militer menganalisis data besar untuk mendeteksi ancaman dan merencanakan tindakan di masa depan. Analisis tepat waktu ini bisa menjadi masalah hidup atau mati di medan perang atau selama operasi kontra-teror.
  • Pasukan Berbasis Data (Data-Driven Force): Transisi militer dari organisasi yang berpusat pada perangkat keras ke kekuatan berbasis data yang diberdayakan perangkat lunak sangat penting untuk memanfaatkan Artificial Intelligence dan memperlengkapi komandan untuk mencegah atau mengalahkan musuh di masa mendatang.

Ke Enam, yang tak kalah penting juga, Indonesia butuh namanya sebuah ketahanan ekonomi (Economic Resilience) yang merupakan kemampuan suatu negara untuk bertahan dan pulih dari gangguan ekonomi, termasuk yang disebabkan oleh konflik militer. Selain itu, pengalokasian sumber daya strategis (strategic resource allocation) adalah pengelolaan dan distribusi sumber daya kritis (seperti energi, bahan baku, dan makanan) untuk memastikan ketersediaannya selama konflik. Ini mencakup pembangunan cadangan strategis dan pengelolaan rantai pasokan. Hal ini tentunya melibatkan diversifikasi ekonomi, penyimpanan sumber daya strategis, dan kebijakan fiskal serta moneter yang kuat. Ekonomi sebagai aspek penting sebagai penopang dari kekuatan militer Indonesia khususnya persiapan ketika negara dalam keadaan konflik atau berperang dengan negara asing.

 

Referensi :

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun