Saat ini konflik di beberapa belahan dunia, beberapa negara sudah banyak yang menggunakan persenjataan dengan teknologi mutakhir atau kekinian. Teknologi persenjataan ini telah mengalami perkembangan teknologi salah satunya seperti Unmanned Aerial Vehicle (UAV) sudah mulai digunakan oleh beberapa negara. UAV merupakan kendaraan udara bertenaga yang tidak membawa operator manusia, menggunakan kekuatan aerodinamis untuk memberikan daya angkat kendaraan, dapat terbang secara mandiri atau diujicobakan dari jarak jauh, dapat dibuang atau dipulihkan dan dapat membawa muatan mematikan atau tidak mematikan. UAV mulai digunakan di beberapa konflik seperti Konflik Rusia- Ukraina (2014-Skrg), Konflik Israel-Palestina, dan Konflik Iran-Israel (2024). Selain UAV, penggunaan misil rudal balistik juga semakin sering dalam penggunaan konflik yang ada saat ini.
Indonesia di kelilingi wilayah lautan dan memiliki ruang udara yang luas, menjadi potensi serangan dari laut dan udara mengancam wilayah Indonesia. Laut Cina Selatan yang mayoritas adalah wilayah laut dan ruang udara yang luas menjadi tugas bagi pemerintah untuk membangun pertahanan yang ekstensif. Jika dibandingkan mengoperasionalkan pesawat, lebih murah dalam hal mengoperasionalkan rudal, cruise missile, dan drone UAV. Drone UAV biasanya lebih murah dalam hal pengadaan dan operasional dibandingkan dengan pesawat tempur. Mereka tidak memerlukan pilot di dalam pesawat, sehingga mengurangi biaya pelatihan dan risiko kehilangan personel. UAV dapat melakukan misi patroli yang panjang tanpa perlu sering kembali ke pangkalan untuk mengisi bahan bakar atau istirahat. Misalnya, drone seperti MQ-9 Reaper dapat terbang selama lebih dari 24 jam. Operasi UAV menghilangkan risiko terhadap personel militer dalam misi berbahaya, karena mereka dioperasikan dari jarak jauh. UAV dilengkapi dengan berbagai sensor dan kamera canggih yang dapat digunakan untuk pengintaian, pengawasan, dan pengintaian (ISR) yang lebih efektif dan persisten. Namun terdapat kekurangan dari UAV, UAV umumnya memiliki kapasitas angkut senjata yang lebih kecil dan kemampuan manuver yang lebih rendah dibandingkan dengan pesawat tempur. Mereka kurang efektif dalam pertempuran udara ke udara. UAV bisa rentan terhadap serangan siber dan gangguan elektronik yang dapat mengganggu operasional mereka. UAV mungkin kurang efektif dalam situasi tempur yang sangat dinamis dan kompleks yang memerlukan keputusan cepat dan manuver agresif.
Pesawat tempur seperti F-16, Su-27/30, atau F-35 memiliki daya angkut senjata yang besar, kecepatan tinggi, dan kemampuan manuver yang unggul, membuat mereka efektif dalam menghadapi berbagai ancaman, termasuk pesawat musuh dan serangan darat. Dalam hal fleksibilitas misi, pesawat temour mampu menjalanan berbagai jenis misi, termasuk patroli udara, serangan darat, penindakan maritim, dan pengintaian. Merka dapat merespons berbagai situasi dengan cepat dan efektif. Kehadiran pesawat tempur di suatu wilayah dapat memberikan efek deterrence yang signifikan terhadap potensi pelanggar, menunjukkan kemampuan militer yang kuat dan kesiapan untuk bertindak atas pelanggaran. Pesawat tempur modern dilengkapi dengan sistem avionik canggih yang memungkinkan interoperabilitas dengan sistem pertahanan lain, baik dalam skala nasional maupun internasional. Namun ada kekurangan dari pesawat tempur seperti biaya operasional yang tinggi, Pengoperasian pesawat tempur melibatkan risiko terhadap pilot dan kru pendukungnya, terutama dalam situasi tempur yang berbahaya. Pesawat tempur memiliki keterbatasan dalam durasi patroli yang disebabkan oleh kebutuhan bahan bakar dan istirahat pilot.
V. Masalah Ekonomi dan Lingkungan (Economic and Environmental Concerns)Â
Indonesia sepatutnya mewaspadai kerjasama ekonomi dengan negara asing khususnya Tiongkok secara oportunistik dan terukur bagi Indonesia. Hal ini dikhawatirkan menciptakan ketergantungan dengan Tiongkok seperti hutang luar negeri dan proyek yang mendapat modal asing dari sektor keuangan milik pemerintah Tiongkok. Pemerintah Tiongkok melalui investasi berusaha untuk menancapkan pengaruh di negara-negara yang menerima modal investasi dari Tiongkok. Salah satu kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari investasi di pertambangan nikel menjadi persoalan bagi pihak Indonesia. Wilayah potensi dengan nikel menjadi tempat yang diekploitasi dari perusahaan asing khususnya dari Tiongkok. Hasil olahan nikel tersebut dipakai di salah satu industri seperti baterai untuk mobil listrik dimana hal ini menjadi manfaat bagi Tiongkok dalam mengurangi polusi udara dari kendaraan berbahan bakar fosil di wilayah Tiongkok. Sedangkan di Indonesia, lingkungan menjadi rusak sebagai akibat aktivitas tambang nikel dan merusak ekosistem di wilayah tambang tersebut. Indonesia tentu mengalami kerugian lingkungan sebagai dampak dari eksploitasi tambang nikel tersebut. Hal tersebut menandakan eksploitasi pihak Tiongkok melalui penanaman modal asing dimana dirugikan adalah Indonesia selaku tuan rumah pemilik lahan dan sumber daya alam.
Â
VI. Perang Ekonomi: Ancaman di balik dari Program Belt Road Innitiative (BRI) dan Debt-trap diplomacy
Perang ekonomi (economic warfare) adalah penggunaan strategi ekonomi untuk melemahkan kekuatan ekonomi lawan, yang pada gilirannya akan melemahkan kemampuan militernya. Ini bisa mencakup sanksi ekonomi, embargo, dan manipulasi pasar keuangan untuk mengganggu stabilitas ekonomi lawan. Indonesia sangat rentan dengan hal ini dikarenakan ada beberapa Kerjasama proyek investasi yang berkaitan dengan Tiongkok.
Belt and Road Initiative (BRI) merupakan program proyek global yang diluncurkan oleh pihak Tiongkok di tahun 2013 sebagai strategi Tiongkok untuk pembangunan global yang ambisius yang bertujuan untuk meningkatkan konektivitas regional dan integrasi ekonomi dengan Tiongkok. BRI ini sebagai strategi yang dijalankan Tiongkok untuk menaklukan wilayah yang tergabung dalam proyek-proyek tersebut. Jika suatu negara tidak mampu membayar utang mereka, maka di dalam perjanjian untuk segera menyerahkan infrastruktur dan sumber daya mereka ke Tiongkok. Strategi yang bertujuan untuk meningkatkan konektivitas regional dan integrasi ekonomi dengan Tiongkok. Banyak negara yang melakukan investasi BRI ini dimana Pembangunan jalan bebas hambatan (highway), jalur kereta api (railways), pelabuhan, dan airport untuk meningkatakn konektivitas antar wilayah. Â Hal ini sebagai jalan bagi Tiongkok untuk meningkatkan pengaruh di beberapa negara yang terikat dengan proyek Belt Road Initiative dengan tergantung secara ekonomi dan kontrol strategis dalam konteks geopolitik.
Silk Road Economic Belt (Jalur Darat) dan The 21st Century Maritime Silk Road (Jalur Maritim), yang memiliki total estimasi nilai project sebesar US$ 1 – 8 Trilliun secara keseluruhan. Melalui proyek BRI tersebut, Tiongkok dapat menekankan diplomasi dengan cara debt trap dimana negara yang memiliki pinjaman jika suatu waktu tidak dapat melunasi hutangnya yang sudah jatuh tempo maka sesuai perjanjian bilateral maka Tiongkok dapar mengontrol aset dan proyek yang dijadikan agunan pinjaman tersebut. Disini jelas Indonesia harus melihat potensi ancaman atas kemudahan dan syarat pinjaman yang ditawarkan oleh Tiongkok.
Indonesia sebagai negara yang memiliki letak strategis menjadi sasaran dari pemerintah tiongkok. Pemerintah Tiongkok dengan ideologi dan prinsip ekspasionisme mereka menjadikan sumber daya alam di negara lain sebagai sumber untuk menghidupi negara Tiongkok yang memiliki populasi manusia sebanyak 1,5 miliar. Bisa saja hal itu menjadi rantai pemberat bagi Indonesia dalam melakukan negosiasi dan diplomasi atas kasus LCS khususnya dengan Tiongkok. Jika kondisi terjebak hutang yang lebih dalam, menjadikan posisi Indonesia sulit dalam hal daya tawar di panggung diplomasi.