Mohon tunggu...
Andra
Andra Mohon Tunggu... Freelancer - Data Analyst

Orang yang antusias dengan isu pembahasan geopolitik, politik, ekonomi, dan sosial

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Ancaman Konflik di Laut Cina Selatan Terhadap Kedaulatan Indonesia: Menciptakan Aspek Pertahanan yang Berkesinambungan

31 Mei 2024   20:07 Diperbarui: 6 Juni 2024   12:46 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peta Laut Cina Selatan yang diklaim oleh beberapa negara ASEAN, Tiongkok, dan Taiwan (source: ww.bbc.com)

VII. Kesimpulan

Ancaman atas konflik dan klaim di Laut Cina Selatan terhadap kedaulatan Indonesia harus dilihat beberapa sisi. Pertama, kita melihat dari kerangka resolusi & keterlibatan diplomatik. Dialog berkelanjutan melalui mekanisme yang dipimpin ASEAN dan pembicaraan bilateral sangat penting untuk mengurangi ketegangan konflik di Laut Cina Selatan. Dalam hal Ajudikasi Hukum, negara-negara yang terlibat konflik harus memperkuat kepatuhan terhadap norma dan mekanisme hukum internasional seperti UNCLOS 1982 sangat penting untuk tatanan berbasis aturan. Langkah-langkah membangun kepercayaan melalui inisiatif seperti perjanjian pembangunan bersama dan kode etik dapat membantu mengelola perselisihan dan mendorong kerja sama. Konflik sengketa di Laut Cina Selatan melambangkan persimpangan hukum internasional dan geopolitik. Penyelesaian konflik membutuhkan pendekatan multifase yang menyeimbangkan ajudikasi hukum, negosiasi diplomatik, dan pertimbangan strategis. Menjunjung tinggi hukum internasional dan membina kerangka kerja regional yang kooperatif tetap penting untuk memastikan perdamaian dan stabilitas dalam ranah maritim yang diperebutkan ini.

Kedua, dalam aspek pertahanan militer, beberapa teori dan konsep pertahanan terkait dengan  pengembangan misil atau rudal telah berkembang untuk menghadapi berbagai ancaman dan tantangan yang ditimbulkan oleh penggunaan senjata ini. Di dalam pencegahan tindakan agresif dari musuh adalah dengan ancaman yang diberikan dengan pembalasan yang sangat merugikan yang dikenal sebagai Teori Pencegahan (Deterrence Theory). Hal ini terkait dengan konteks penggunaan rudal, cruise missile, dan drone sehingga dapat melaksanakan deterrence dengan kapasitas serangan balasan yang kua dan kredibel. Negara seperti Indonesia bisa menggunakan conventional deterrence dengan menggunakan rudal balistik dan jelajah konvensional sebagai bagian strategi deterrence, dengan menunjukkan kemampuan untuk menyerang infrastruktur kritis atau target strategis lawan. Concept of Operations (CONOPS) for Missile Defense merupakan rencana yang menguraikan cara sistem rudal yang akan digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam konteks pertahanan rudal mencakup berbagai sistem pertahanan seperti radar, sistem komando dan kontrol serta interceptor yang akan berguna untuk mendeteksi, melacak, dan menghancurkan rudal lawan.

Ketiga, dalam hal anggaran militer, lembaga seperti Presiden, DPR, Kementerian Pertahanan (Kemenhan), dan Kementerian keuangan (Kemenkeu) menjadi  lembaga-lembaga negara yang membentuk anggaran pertahanan yang kredibel dan tepat sasaran. Hal ini menjadi kunci dalam blue print untuk modernisasi alutista militer Indonesia. Berdasarkan laporan Kemenkeu, anggaran Kemenhan pada 2023 tercatat sebesar Rp144,3 triliun. Selama periode 2020 sampai 2024, anggaran Kemenhan terus mengalami naik turun dan yang tertinggi adalah pada 2022, yakni hingga Rp150,4 T. Apabila seluruh anggaran pada periode tersebut diakumulasikan, total anggaran Kemenhan menyentuh angka Rp692,92 triliun. Persentase sebesar 60,53% dari total keseluruhan alutsista dialokasikan untuk pembelian tank dan kendaraan perang Total tank dan kendaraan perang yang diimpor adalah sebanyak 644,17 ton atau senilai US$77,59 juta.

Dalam hal belanja untuk alustista, penggunaan drone dan rudal balistik menjadi salah satu elemen persenjataan yang patut dimiliki di Indonesia sebagai perlengkapan alustita pertahanan milik Indonesia. Negara kepulauan memerlukan aspek pertahanan yang mumpuni. Laut Cina Selatan merupakan jalur logistik global yang padat. Jika terjadi perang maka komoditas terpengaruh dan mempengaruhi kinerja ketahanan ekonomi Indonesia yang bergantung sama import. Indonesia harus memiliki ketahanan mandiri dan meminimalkan segala upaya made in Indonesia yang mengurangi kertegantungan sparepart alustita impor dari luar negeri. Konsep ini menekankan pentingnya memiliki industri pertahanan yang kuat dan mandiri. Negara-negara yang memiliki basis industri pertahanan yang kuat dapat memproduksi persenjataan dan peralatan militer sendiri, mengurangi ketergantungan pada impor dan meningkatkan kemampuan bertahan dalam jangka panjang. Indonesia sudah mulai memiliki industri pertahanan seperti PT. Pindad dan PT. PAL Indonesia. Namun khusus untuk pertahanan Udara Indonesia masih melakukan skema Kerjasama dengan negara asing seperti proyek pesawat tempur KF-21 Boramae dengan Korea Selatan atau import langsung dari negara asing seperti Pesawat Jet Tempur Rafale dari Prancis. Untuk pertahanan laut beberapa kapal laut dan kapal selam (Scorpone) masih dilakukan import dari negara asing.

Ke empat, terkait pembahasan di paragraf sebelumnya, Indonesia butuh sebuah pertahanan berlapis (Layered Missile Defense) sebagai bentuk strategi perlindungan wilayah atau target dari serangan rudal musuh melalui beberapa lapisan sistem pertahanan, yang dirancang untuk mencegat rudal pada berbagai tahap penerbangannya. Beberapa fase (phase) dalam strategi pertahanan berlapis antara lain :

  • Boost Phase : Intersepsi dilakukan saat rudal masih dalam tahap pendakian setelah diluncurkan. Sistem seperti pesawat tempur atau drone bersenjata dapat digunakan untuk menghancurkan rudal sebelum mencapai kecepatan dan ketinggian maksimal.
  • Midcourse Phase : Intersepsi dilakukan saat rudal berada di luar atmosfer bumi. Sistem seperti Ground-Based Midcourse Defense (GMD) atau menggunakan interceptor untuk menyerang rudal dalam fase ini.
  • Terminal Phase : Intersepsi dilakukan saat rudal memasuki kembali atmosfer bumi dan mendekati targetnya. Sistem seperti Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) dan Patriot Advanced Capability-3 (PAC-3) digunakan untuk mencegat rudal dalam tahap akhir penerbangan.

Terkait dengan tiga fase pertahanan tersebut, Indonesia tentunya sudah harus menerapkan konsep Anti-Access/Area Denial (A2/AD) yang digunakan untuk mencegah lawan dari memasuki atau beroperasi di wilayah tertentu melalui penggunaan senjata jarak jauh, termasuk rudal balistik dan jelajah. Dalam dunia pertahanan militer, berbagai teori dan konsep telah berkembang untuk mengelola ancaman yang ditimbulkan oleh rudal dan misil. Konsep-konsep ini mencakup strategi pencegahan, pertahanan berlapis, A2/AD, keseimbangan antara kemampuan ofensif dan defensif, serta stabilitas strategis. Setiap konsep ini memainkan peran penting dalam bagaimana negara-negara merancang dan mengimplementasikan sistem pertahanan mereka untuk menghadapi ancaman yang terus berkembang dari teknologi rudal.

Terkait klaim wilayah di Laut Cina Selatan, Tiongkok telah mengembangkan kemampuan A2/AD yang signifikan di Laut China Selatan dan sekitar wilayahnya, menggunakan rudal seperti DF-21D (anti-ship ballistic missile) untuk menargetkan kapal induk dan kapal perang lainnya yang mendekati wilayah tersebut. Hal ini sebagai bentuk warning bagi pemerintah Indonesia. Sudah sepatutnya Indonesia menganut konsep offensive-defensive balance dimana adanya kemampuan aspek pertahanan yang seimbang antara kemampuan ofensif dan defensif dalam konteks pembangunan alustista seperti rudal atau cruise missile. Hal dikarenakan negara-negara asing terus mengembangkan teknologi untuk meningkatkan kemampuan serangan rudal sekaligus memperkuat sistem pertahanan rudal.

Secara teknis, Indonesia butuh kombinasi kedua alustita baik pesawat tempur dan drone UAV. Penggunaan kombinasi pesawat tempur dan drone UAV dapat memberikan manfaat optimal bagi pertahanan Indonesia. Pesawat tempur dapat digunakan untuk menghadapi ancaman tingkat tinggi yang memerlukan daya tembak besar dan manuver agresif, sementara UAV dapat digunakan untuk patroli dan pengintaian berkelanjutan, memberikan pengawasan yang konsisten dan respons cepat terhadap ancaman tingkat rendah dan menengah. Jika ancaman yang dihadapi lebih cenderung membutuhkan respons cepat dan kuat (seperti ancaman dari pesawat tempur musuh), pesawat tempur mungkin lebih cocok. Namun, jika ancaman lebih terkait dengan patroli wilayah luas dan pengawasan jangka panjang, UAV mungkin lebih efektif. Pertimbangan dari sisi anggaran dan kemampuan pemeliharaan juga penting. UAV menawarkan solusi biaya yang lebih rendah dan risiko yang lebih sedikit terhadap personel. Dengan mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan masing-masing, serta situasi dan ancaman spesifik yang dihadapi, Indonesia dapat mengembangkan strategi pertahanan udara yang seimbang dan efektif. Kombinasi pesawat tempur dan drone UAV akan memungkinkan respons yang fleksibel dan efisien terhadap berbagai jenis pelanggaran wilayah kedaulatan.

Kelima, selain aspek teknis, militer Indonesia juga butuh penguatan dan reformasi di bidang intelijen mengingat era saat ini lebih kepada big data dimana derasnya arus informasi. Salah satunya seperti big data memainkan peranan penting dalam operasi militer modern. Beberapa hal terkait big data dan militer di antaranya :

  • Kesadaran Situasional (Situational Awareness) : Militer mengintegrasikan berbagai sumber intelijen, termasuk analisis media sosial, citra satelit, dan data sensor, untuk mencapai kesadaran situasional yang komprehensif.
  • Deteksi Ancaman (Threat Detection): Intelijen militer menganalisis data besar untuk mendeteksi ancaman dan merencanakan tindakan di masa depan. Analisis tepat waktu ini bisa menjadi masalah hidup atau mati di medan perang atau selama operasi kontra-teror.
  • Pasukan Berbasis Data (Data-Driven Force): Transisi militer dari organisasi yang berpusat pada perangkat keras ke kekuatan berbasis data yang diberdayakan perangkat lunak sangat penting untuk memanfaatkan Artificial Intelligence dan memperlengkapi komandan untuk mencegah atau mengalahkan musuh di masa mendatang.

Ke Enam, yang tak kalah penting juga, Indonesia butuh namanya sebuah ketahanan ekonomi (Economic Resilience) yang merupakan kemampuan suatu negara untuk bertahan dan pulih dari gangguan ekonomi, termasuk yang disebabkan oleh konflik militer. Selain itu, pengalokasian sumber daya strategis (strategic resource allocation) adalah pengelolaan dan distribusi sumber daya kritis (seperti energi, bahan baku, dan makanan) untuk memastikan ketersediaannya selama konflik. Ini mencakup pembangunan cadangan strategis dan pengelolaan rantai pasokan. Hal ini tentunya melibatkan diversifikasi ekonomi, penyimpanan sumber daya strategis, dan kebijakan fiskal serta moneter yang kuat. Ekonomi sebagai aspek penting sebagai penopang dari kekuatan militer Indonesia khususnya persiapan ketika negara dalam keadaan konflik atau berperang dengan negara asing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun