“Sebulan di Lombok masih mentok juga?!” Daan terkekeh, punggung tangannya dicubit oleh Daisy, dan juga bibir yang sengaja dimonyong-monyongkan itu menanggapi pertanyaan sekaligus keheranannya. “Hahh, ya udahlah. Kamu mau ikut, Sayang?” Daisy mengangkat kedua alis indahnya, Daan terkekeh lagi. “Bathup, menyegarkan diri?”
Di dalam kamar mandi. Dua cangkir kopi hitam masih mengepulkan asap tipis, berjejer di atas meja keramik kecil di sisi kanan Daan bersandar. Daan berendam sembari memeluk Daisy di dalam bathup.
“Kasusnya pelik juga, ya…” ujar Daisy
“Yaah,” sahut Daan, dan mengecup rambut basah Daisy. “Hampir gak ada petunjuk—” saat menyibakkan rambut Daisy ke depan bahu kanan wanita tersebut, Daan melihat dua luka gores di leher belakang sang kekasih. “Leher kamu, kenapa, Yang?”
“Agas. Gatel banget, yaa aku garukin aja ampe lecet.”
Daan memiringkan kepala, ia perhatikan lagi areal luka gores di tengkuk Daisy. Tidak ada bekas gigitan nyamuk pantai itu di lehernya, gumam Daan dalam hati. Itu, tidak mirip sama sekali dengan luka lecet akibat garukan. Lebih terlihat seperti luka cakaran dalam sekali tarikan.
Intuisi Daisy tak bisa dianggap biasa saja, sebagai seorang novelis perfeksionis, hal sekecil apa pun akan menjadi pertimbangan lain baginya. Termasuk, gerak tangan Daan yang seolah terhenti, dan debaran tak beraturan yang ia rasakan di punggungnya dari dada pria tersebut.
“Masak kamu cemburu sama nyamuk pantai, sih?” manja Daisy dengan mengulas senyum teramat manis.
Jam tujuh pagi. Daan dalam perjalanan menuju Mapolda. Dalam kondisi jalan ramai pagi ini, butuh waktu nyaris satu jam bagi Daan untuk mencapai kantornya. Dan sialnya, ia melupakan laporan yang diminta Dwipa. Ya, keberadaan Daisy membakar gairahnya malam tadi. Dan Daisy pun telah meninggalkan kamar apartemen di awal hari, kebiasaan gadis tersebut sedari awal dikenal Daan.