“Untuk mengumpulkan orang-orang dengan segera. Kita butuh sesuatu di sini,” lanjut Hamzah. “Bel, mungkin.”
“Bel sudah digunakan oleh umat Nasrani,” sahut Zaid.
“Mungkin terompet dari tanduk seperti yang digunakan umat Yahudi,” usul beberapa orang.
“Atau juga drum, mungkin?” usul yang lain pula.
“Tidak-tidak-tidak,” sanggah Hamzah. “Kita butuh sesuatu yang lebih baik dari itu.”
“Bagaimana jika hanya dengan suara saja?” usul Zaid. “Yaa, mengikut pandangan Umar bin Al-Kattab.”
“Apakah Rasul menyetujuinya?”
Hamzah berpaling kepada Muhammad sang keponakan. Muhammad sangat senang dengan usulan tersebut, ia menyetujuinya dan menunjuk Bilal lah orang yang tepat untuk itu.
Bilal tercengang, “Ke—kenapa harus saya?”
Hamzah terkekeh, menyentuh pundak Bilal. “Kau, Bilal… punya suara yang sangat indah dibanding kami semua.”
Bilal bukannya mempertanyakan kenapa harus dirinya, sementara dalam pandangan Bilal masih banyak ornag-orang yang layak dan terhormat untuk itu. Bilal tidak ingin takabur, namun Baginda Rasul dan semua orang tersenyum kepadanya yang membuat luluh hatinya.