Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suara yang Menggetarkan Surga

12 Februari 2016   16:16 Diperbarui: 12 Februari 2016   16:30 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Kumandang Adzan."][/caption]

[Renungan Jumat]

 

Adalah seorang pria berkulit hitam keturunan Abbesinia. Bila jemarimu menjengkal sejarah, bila telunjukmu menyusuri peta dunia, maka akan kau dapati negeri itu kini bernama Ethiopia.

Dia, bukan siapa-siapa, hanya seorang anak manusia yang terlahir di tengah bobroknya dunia di mana orang-orang berkuasa, orang-orang berharta merasa lebih agung dari Dzat Yang Mahaagung.

Ia, hanya anak manusia yang lahir dengan strata sosial terendah dan paling hina di zaman itu. Padahal ia dan semua makhluk di dunia ini tidak ada yang meminta untuk terlahir menjadi seorang budak. Nyawa yang bebas diperjualbelikan. Badan yang bebas untuk disiksa kapan saja oleh sang majikan. Diri tiada lebih berharga dari anjing peliharaan.

 

Datanglah kabar berembus, menembus butanya mata-hati para penguasa, para bangsawan, dan mereka-mereka yang mengaku memiliki sifat ilahiah.

Mengusik pendengaran, telak menghantam keegoan. Mengotori pandangan jika aku adalah kekuasaan. Membusukkan penciuman yang berkarat akan kezaliman yang telah mengakar. Membakar amarah dalam tiap-tiap dada mereka, sebab tiada seorang pun yang berani menentang sebelum ini.

Yaa, nama itu jelas-jelas membawa hal yang tiada mereka inginkan. Penentang budaya jahiliah nenek-moyang mereka. Kabar akan nama itu… membersitkan selaksa makna pada relung-relung teraniaya bila Sang Pemilik Kehidupan tidaklah lupa pada hamba-hambaNya yang bertakwa.

 

Budak Abbesinia yang raganya dimiliki Umaya sang majikan, mendengar kabar menggembirakan. Bukan sekadar keinginan untuk bebas dari perbudakan, namun ia telah lebih dulu memaknai: jika Tuhan itu ada, tidak mungkin Ia meridai perbudakan ini. Jika Tuhan itu Mahakuasa, tentulah ia tidak seperti sesembahan para bangsawan ini.

Kegembiraan budak Abbesinia tercium Umaya. Lantas memerintahkan si budak untuk mencambuk seorang pemuda Arab dari kalangan bawah. Pemuda Arab bernama Amar itu pun sama gembiranya dengan sang budak Abbesinia pada “kabar penuh harapan” tersebut.

“Bilal… cambuk dia!” titah Umaya bak seorang raja diraja. “Apa kau tuli budak Abbesinia, haa! Cambuk wajah pemuda bodoh yang mengatakan majikan dan budak memiliki derajat yang sama. Cambuk dia, Bilal…!”

Pemuda Abbesinia, budak kulit hitam bernama Bilal bin Rabah bergeming. Apa yang ia dengar, sama persis dengan ucapan pemuda Arab itu tadi. Tuhan adalah satu, Tuhan tidak sama dengan apa yang ada di dunia ini. Bilal, menjatuhkan cambuk ke lantai. Tak ingin menyakiti pemuda Arab yang bukanlah siapa-siapa bagi dirinya itu.

“Bilal…!” Umaya naik pitam. “Berani kau menentang aku, Tuanmu ini. Haa…?”

“Bilal, cepat kau ambil cambuk itu,” ujar Amar yang menyadari pasti jika Bilal memiliki keyakinan seperti halnya dengan dirinya sendiri. Lewat tubuh bergeming itu, lewat sepasang mata membersit harapan tinggi. “Bilal. Cambuklah aku. Tiada mengapa, aku rida atas apa yang akan kau lakukan. Bilal, jangan diam saja! Me—reka akan membunuhmu Bilal. Lakukalah…!”

 

Demikianlah sikap Bilal, ia tetap membangkang perintah Umaya. Hingga Umaya benar-benar di ujung amarahnya, dan memerintahkan budak-budak lainnya untuk menyiksa Bilal.

“Siksa budak jahanam itu. Cambuk dia!” titah Umaya dengan lantang. “Jangan sampai kalian lewatkan sejengkal pun tubuhnya… Cambuk lagi!”

Tiada tangis alih-alih ratap mengiba yang keluar dari mulut Bilal, meski sekujur badan luka akibat sabetan cambuk. Memerah terkuak, mengalirkan darah yang tidak sedikit. Hingga panasnya gurun di siang nan teramat terik sekalipun, Bilal tiada mengeluh.

“Katakan Bilal,” Umaya unjukkan kuasa dalam seringai menjijikkan. “Katakan Putra Abdullah itu pembohong! Katakan Muhammad itu pendusta. Katakan, Bilal! Katakan…!”

“Bagaimana mungkin seorang putra yang amanah, seorang yang jujur, laki-laki yang dapat dipercaya… harus kusebut pembohong?”

Bukan jawaban yang didapat Bilal, tapi belasan cambukan mendera tubuh. Lagi dan lagi. Memperparah luka yang sudah ada.

“Bagaimana mungkin…” Bilal tersenyum demi sakit yang dirasa. “Orang yang kalian beri gelar sebagai Al-Amin, lantas kalian sebut pendusta, haa…?”

“Jahanam!” Meski ucapan itu benar, namun Umaya tak ingin mendengar itu, lebih-lebih dari mulut seorang budak, berkulit hitam pula. “Kau—kau, akan kubuat kau hidup segan, mati tak mau, Bilal!”

 

Maka, tidaklah berkurang sedikit jua siksaan atas tubuh Bilal bin Rabah melainkan semakin sadis dan menjadi-jadi. Umaya benar-benar melepaskan hasrat iblis di dalam hati, mengazab sang budak tak kenal ampun.

Tubuh Bilal ditelentangkan di atas pasir gurun yang panas. Dua tangan dan dua kaki terentang, diikat tiang pancang. Terkadang, dengan kedua tangan terikat, Bilal diseret dengan seekor kuda yang berlari di tengah teriknya padang pasir.

Tidak sampai di situ, Umaya menindihkan batu besar ke dada Bilal. “Kau pasti ingin hidup, kan? Jadi, katakan Bilal. Katakan…!”

“Tuhan itu satu,” desah bibir yang pecah kepanasan itu. “Tuhan itu satu.”

Umaya habis akal, sehingga berniat membunuh saja budak berkulit hitam itu sebelum seseorang menghentikan niatnya.

“Hentikan, hei, Tuan Umaya!”

“Zaid bin Tsabit, lancang kau menghentikanku!” Umaya menatap garang. “Apa maumu, haa…?”

“Bisakah Anda menahan emosi barang sesaat, Tuan Umaya?” Zaid yang dibebaskan dari perbudakan dan diangkat anak sedari kecil oleh Rasulullah, tetap mengunjukkan ketenangan dan senyum di wajah. “Abu Bakar ingin membeli dia,” Zaid menunjuk Bilal yang nyaris pingsan karena siksaan.

“Aku tidak akan menjual budakku, pergilah kau!”

“Apa kau akan menolak juga jika harganya dinaikkan tiga kali lipat?”

Umaya terpancing kecerdikan Zaid, hingga akhirnya lebih memilih uang dalam kantong di tangan Zaid.

“Bangunlah, Bilal,” Zaid membantu Bilal untuk berdiri, dan memapahnya berlalu dari sana. “Kau telah merdeka Bilal. Abu Bakar menebusmu hanya untuk memerdekakanmu.”

Bilal terdiam dalam haru. Hari yang ditunggunya dalam mimpi kini terjadi.

 

Semenjak dimerdekakan, Bilal bin Rabah mengabdikan diri hanya kepada Allah dan membantu perjuangan RasulNya. Hinggalah sampai di satu saat, kala pengikut Muhammad bin Abdullah mendirikan Masjid pertama untuk beribadah, di Madinah.

Kala Masjid telah didirikan, Hamzah bin Abdul Muthalib memandang bangunan tersebut dari luar. Terpikirkan sesuatu oleh paman Rasulullah tersebut.

“Ada sesuatu yang hilang di sini…”

Ucapan Hamzah yang berjuluk Singa Padang Pasir didengar hampir semua yang hadir, termasuk Rasulullah, Zaid, dan Bilal.

“Untuk mengumpulkan orang-orang dengan segera. Kita butuh sesuatu di sini,” lanjut Hamzah. “Bel, mungkin.”

“Bel sudah digunakan oleh umat Nasrani,” sahut Zaid.

“Mungkin terompet dari tanduk seperti yang digunakan umat Yahudi,” usul beberapa orang.

“Atau juga drum, mungkin?” usul yang lain pula.

“Tidak-tidak-tidak,” sanggah Hamzah. “Kita butuh sesuatu yang lebih baik dari itu.”

“Bagaimana jika hanya dengan suara saja?” usul Zaid. “Yaa, mengikut pandangan Umar bin Al-Kattab.”

“Apakah Rasul menyetujuinya?”

Hamzah berpaling kepada Muhammad sang keponakan. Muhammad sangat senang dengan usulan tersebut, ia menyetujuinya dan menunjuk Bilal lah orang yang tepat untuk itu.

Bilal tercengang, “Ke—kenapa harus saya?”

Hamzah terkekeh, menyentuh pundak Bilal. “Kau, Bilal… punya suara yang sangat indah dibanding kami semua.”

Bilal bukannya mempertanyakan kenapa harus dirinya, sementara dalam pandangan Bilal masih banyak ornag-orang yang layak dan terhormat untuk itu. Bilal tidak ingin takabur, namun Baginda Rasul dan semua orang tersenyum kepadanya yang membuat luluh hatinya.

Bilal melihat satu tembok yang tinggi, dan ia naik ke atas tembok itu. Lantas dengan mengumandangkan Azan untuk pertama kalinya dengan lengkingan merdu yang mampu menggetarkan hati.

“Allahu Akbar, Allahu Akbar.”Bilal memulai seruannya. Tidak ada yang mengajarkan kepadanya pada apa yang harus dikumandangkan, melainkan lahir dari ketulusan hatinya. “Allahu Akbar, Allahu Akbar. Asyhadu allaa ilaaha illallah, Asyhadu allaa ilaaha illallah. Asyhadu anna Muhammadarrasulullah, Asyhadu anna Muhammadarrasulullah…”

Orang-orang yang mendengar mendadak berhenti dari pekerjaannya, memandang pada Bilal di atas tembok itu. Dan merasa, itu adalah panggilan untuk menunaikan ibadah.

“Marilah kita salat, marilah kita salat.” Bilal terus mengumandangkan seruan itu hingga semua orang berkumpul didalam Masjid. “Marilah menuju kejayaan, marilah menuju kejayaan…”

Tidak mereka-mereka yang berpijak di bumi saja yang tertegun, tapi juga para penghuni surga. Suara itu, lantunan itu, seruan itu berkumandang indah untuk pertama kalinya menjamah seisi semesta.

 

Bilal bin Rabah, seorang budak berkulit hitam yang dimuliakan Allah di sisiNya. Bilal bin Rabah di antara pemeluk Islam awal. Bilal bin Rabah yang langkah kakinya didengar Baginda Rasul di surga sana.

Bilal bin Rabah, menjadi pendukung sekaligus sahabat Baginda Rasul. Bilal bin Rabah, yang meyakini derajat manusia pastilah sama, terutama di mata Tuhan. Dan ia, mendapatkan itu dari Dzat Yang Mahaagung.

Bilal bin Rabah… hingga kini kumandangnya masih bergaung tak berkeputusan, mungkin sampai nanti, hingga dunia ini berakhir.

 

Wallahu a'lam bishawab.

Dari berbagai sumber Islami. 

 

-----o0o-----

TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.

Ando Ajo, Jakarta 12 Februari 2016.

Sumber ilustrasi.

Terima Kasih Admin Kompasiana^^ 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun