Bukan jawaban yang didapat Bilal, tapi belasan cambukan mendera tubuh. Lagi dan lagi. Memperparah luka yang sudah ada.
“Bagaimana mungkin…” Bilal tersenyum demi sakit yang dirasa. “Orang yang kalian beri gelar sebagai Al-Amin, lantas kalian sebut pendusta, haa…?”
“Jahanam!” Meski ucapan itu benar, namun Umaya tak ingin mendengar itu, lebih-lebih dari mulut seorang budak, berkulit hitam pula. “Kau—kau, akan kubuat kau hidup segan, mati tak mau, Bilal!”
Maka, tidaklah berkurang sedikit jua siksaan atas tubuh Bilal bin Rabah melainkan semakin sadis dan menjadi-jadi. Umaya benar-benar melepaskan hasrat iblis di dalam hati, mengazab sang budak tak kenal ampun.
Tubuh Bilal ditelentangkan di atas pasir gurun yang panas. Dua tangan dan dua kaki terentang, diikat tiang pancang. Terkadang, dengan kedua tangan terikat, Bilal diseret dengan seekor kuda yang berlari di tengah teriknya padang pasir.
Tidak sampai di situ, Umaya menindihkan batu besar ke dada Bilal. “Kau pasti ingin hidup, kan? Jadi, katakan Bilal. Katakan…!”
“Tuhan itu satu,” desah bibir yang pecah kepanasan itu. “Tuhan itu satu.”
Umaya habis akal, sehingga berniat membunuh saja budak berkulit hitam itu sebelum seseorang menghentikan niatnya.
“Hentikan, hei, Tuan Umaya!”
“Zaid bin Tsabit, lancang kau menghentikanku!” Umaya menatap garang. “Apa maumu, haa…?”