Diah terdiam, ucapannya hanya bergema di tenggorokan. Bibir Ridian menjawab semuanya, memaksa bulir hangat jatuh lebih banyak lagi, dan lagi.
“Ma—afkan aku, Rid…”
Senyum tangis sendamu
Sentiasa di hatiku…
Selama prosesi pemakaman itu, tak sedikit pun Ridian beranjak. Nanar menatap tubuh orang terkasih dikuburkan, dan menghilang di balik timbunan tanah. Hanya air mata tanpa suara yang menjawab setiap ada tangan-tangan yang menyentuh pundaknya.
Shima tak banyak bicara. Bagaimanapun, ia ikut merasakan kepedihan itu. Setia mendampingi Ridian, bahkan hingga orang-orang berangsur-angsur meninggalkan makam.
“Nak,” satu tangan menyentuh lembut pipi Ridian. “Relakan, Diah, ya? Mungkin—bukan jodoh… ka-kalian.”
Runtuh sudah pertahanan Ridian, ucapan ibunda dari orang terkasih memaksa lututnya bertekuk. Tertunduk di depan kubur basah. Diah, sang gadis pujaan hati telah pergi. Kecelakan maut yang menimpa Diah, memisahkan asa dua hati yang kini telah pun memiliki dunia berbeda.
“Rid,” panggil Shima di sela isak.