“Ha—ai,”
Ridian tak kuasa menjawab, sapa lemah dari sosok yang yang selama ini mengambil alih pikiran dan hatinya, bahkan mimpinya sekalipun itu.
Tidak seorang pun di dalam ruangan bersih beraroma obat-obatan itu, hanya Ridian yang duduk di samping Diah. Menemani gadis yang di sekujur tubuhnya terdapat luka menganga, perban, dan selang infus, bahkan selang oksigen. Di mata Ridian, semua itu terlalu menyakitkan. Untuk Diah, untuk hatinya sendiri.
Ke mana perginya rambut panjang dan hitam legam yang dulu tergerai indah?
Ridian melenguh menahan sesak, mendekap erat tangan Diah ke dadanya.
“Ma—afkan, aku,” lirih Diah. “Ka—mu tahu, mung—kin benar u-ucapan orang tua. Tidak ba-baik ter—lalu berharap…”
“Diah, sudah. Jangan teruskan.”
Ridian menggerung, membelai kepala Diah yang nyaris tertutup perban keseluruhannya. Bahkan gadis itu hanya mampu memandang pria pujaan dengan sebelah mata saja. Satu yang lainnya… Ahh… Ridian tak lagi kuasa menahan isak. Sengaja membenamkan wajahnya di pinggiran ranjang, meredam tangisnya sendiri.
Diah memaksa bibir yang kaku untuk mengulas senyum. Paling tidak, untuk yang terakhir kalinya pada orang terkasih.
“A-aku terlalu senang,” bulir hangat akhirnya jatuh juga, namun Diah menekan sesak yang ada dengan sisa kehidupan yang tinggal tak seberapa. “Ing—in menjemputmu ke… ke Jakarta.Ta-tapi—“