Di batin luko denai suruakkan
Mangko den acok balangang-langang
Tuhan dangalah… nyanyian malam… [2]
Berulang-ulang syair itu ia bisikkan, plus dengan uraian air mata. Adalah lebih baik ia hidup seperti dulu di Pesisir Selatan, tiada satu pun yang peduli padanya tapi… itu lebih baik. Daripada di sini, orang-orang memberikan perhatian, tapi… semuanya dengan maksud terselubung.
“Jan basadiah…” –(“Jangan bersedih…”)
Tiba-tiba satu suara menyapa pendengaran sang gadis belia. Tiada bentuk, tiada ujud yang bisa dilihat Puti Bungo Tanjuang.
“Turuikkan bisiakan nanko. Apuih sudah aie mato tu, pantang mato buka talingo, langkahkan kaki tu.”
(Translet: “Ikutilah bisikan ini. Hapus air matamu, pentangkan mata buka telinga, langkahkan kakimu.”)
Meski cemas sebab suara tak berwujud, namun nada dalam suara itu begitu menenangkan, Puti tiada merasa sedikit pun ancaman dibalik suara itu. Merasa orang—atau entah siapa pun itu—bermaksud menolong dirinya, Puti melangkahkan kaki mengikuti arahan suara gaib, hingga berhasil keluar dari dalam Istano Silinduang Bulan dan melarikan diri ke Gunung Bungsu.