Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Descendant

15 Desember 2015   18:23 Diperbarui: 17 Desember 2015   01:31 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Puti tak ingin gagal, beberapa puluh meter lagi ia akan tiba di bawah tebing Gunung Bungsu, ia memaksa kaki yang telah lelah untuk berlari lebih cepat lagi, dan lagi. Dua ekor anjing semakin dekat, dan seekor di antaranya melompat tinggi. Menerkam gadis belia. Puti terpekik, bahu kirinya disambar anjing besar, tersungkur dan bergulingan ke dasar lekukan—parit yang sedang kering.

Mendengar jeritan histeris, para pengejar yakin jika gadis belia telah berhasil dilumpuhkan kedua ekor anjing tersebut. Mereka semakin bersemangat, mempercepat lari, menyusul ke arah suara sebelum kedua anjing membunuh gadis itu.

Kaing

Kaiiing…

Begitu para hulubalang hampir mencapai tepian parit, mereka sama disambut dengan dua tubuh yang melesat ke arah mereka. Sontak mereka—yang sekarang berjumlah dua puluh orang itu—sama menghindar.

Satu tubuh bergedebukan langsung ke tanah, lainnya menghantam batang pohon dengan keras lalu terhempas ke tanah.

Mata para pengejar sama membelalak. Dua tubuh yang terhempas itu adalah kedua anjing milik mereka. Semua pandangan kembali mengarah ke tepian parit. Sepasang mata sama memindai kegelapan. Mereka masih mendengar deru napas seseorang, dan itu terdengar seperti seseorang yang ketakutan sebelum akhirnya kembali hening. Tidak mungkin gadis belia yang melakukan itu semua, pikir seorang di antara mereka.

Saat seorang dari pengejar mendekati tepian parit, satu sosok—yang entah melompat dari mana—tahu-tahu mendarat di hadapannya. Sepersekian detik, pria yang mengenakan jaket kulit itu tercekat, lalu tubuhnya terhempas ke belakang dihantam kekuatan amat besar. Dan tergeletak dengan mulut berbusa bercampur darah, dan diam.

Sembilan belas orang lainnya sama terperangah menyaksikan satu rekan mereka tewas di depan mata. Sontak mereka memandang ke arah yang sama dengan sikap waspada. Dari gerak tubuh mereka, menggambarkan jika mereka adalah orang-orang yang—setidaknya—mengenal ilmu bela diri.

“Jahanam… barani mambunuah hulubalang Silinduang Bulan! Sabuikkan namo jo gala, nak sanang kami mambuek nisan…!”  ucap seorang yang berpakaian hulubalang pada sosok di depan mereka.

(Translet: “Jahanam… beraninya membunuh prajurit – Istano – Silinduang Bulan! Sebutkan nama dan gelarmu, agar mudah kami ukir di nisanmu…!)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun