Pria-pria yang berusaha menangkap Puti sama mencapai gerbang Istano Basa, dua orang di antara mereka membawa dua ekor anjing pelacak. Empat orang penjaga gerbang sama mengerutkan dahi melihat pemandangan tak biasa di hadapan mereka, begitu juga yang di dalam mobil box.
Mobil itu melanjutkan perjalanannya setelah menurunkan tiga dus besar, dan meninggalkan dus-dus tersebut kepada keempat penjaga gerbang.
“Apo nan tajadi? Cando dikaja setan nampak e mah,” tanya seorang penjaga gerbang.
(Translet: “Apa yang terjadi? Seperti dikejar setan saja tampaknya.”)
“Cilako… sabana cilako kito ko,” jawab seorang di antara pengejar. “Si Bungo Tanjuang malarikan diri. Ko kami bausaho mangaja, tapi lari e cando limbubu.”
(Translet: “Celaka… Benar-benar celaka kita. Si Bunga Tanjung melarikan diri. Ini kami berusaha mengejar, tapi larinya bak angin puyuh.)
Belasan meter sudah Puti melewati bangunan Istano Basa, namun ia terus memacu larinya. Gonggongan anjing yang saling bersahutan seakan Si Jundai yang mengikik di gendang telinga. Baru saja gadis belia sedikit merasa senang sebab merasa tiada seorang pun yang mengikuti jejaknya, namun kembali membias. Berganti ketakutan yang kian membesar.
Dan benar saja. Dengan bantuan penciuman kedua ekor anjing, para hulubalang berhasil mengikuti jejak kaki sang gadis belia. Tidak ingin gadis itu lepas, lebih-lebih tak ingin mendapat hukuman dari sang penguasa, dua ekor anjing mereka lepaskan. Begitu rantai lepas dari kala di leher, kedua anjing menghambur cepat dan menghilang dari pandangan mereka, bak anak panah yang terlepas dari busurnya.
Dua ekor anjing begitu cepat menyusul Puti. Gadis belia menggeram dalam ketakutan, gonggongan anjing terdengar begitu dekat. Ia berpaling, dan terpekik kencang.
Mendengar pekik Puti di depan sana, para pengejar mengumbar senyum, bahkan seorang di antara mereka melepas tawa seakan seekor rusa besar siap untuk mereka dapatkan.