Alangkah senangnya hati Ben. Detik itu juga bayang-bayang kegembiraan menghampirinya, melintas dalam benak imajinasinya. Senyum orang tua, senyum adiknya, dan yang jelas, senyum Ben sendiri.
“Terima kasih, Bu Rhein,” Ben menyambut uluran tangan Kepala HRD bernama Rheinara Yuki tersebut. “Terima kasih. Dengan ini, sudah pasti saya gak akan jomblo lagi—Eeeh…?”
“Hee…?!” wajah bening Rhein mengerut aneh.
Ben menutup mulutnya sendiri. Konyol banget sih gue, gumam Ben di hati. “Ma—af, Bu Rhein, sa-saya, terlalu senang heee…”
“It’s okay,” Rhein harus mengulum senyum, mengerti arti ucapan itu tadi—teramat mengerti. “Silakan,”
Sekali lagi, Ben berterima kasih bahkan dengan membungkukkan tubuh kepada Rhein sebelum akhirnya berlalu dari ruangan tersebut. Ben tergesa-gesa membuka pintu hingga tidak menyadari seorang pria bertubuh tegap telah lebih dulu membuka pintu tersebut.
Gdebhuuk…
Ben menubruk tubuh tegap itu dan terhenyak ke lantai. Ben mengusap-usap bokongnya yang terasa nyeri.
“Ma-maaf, Pak, maafkan saya,” Ben buru-buru bangkit, merasa bersalah pada pria itu.
Sementara itu, Rhein yang melihat kejadian menggemaskan di depan matanya tersebut, kontan saja tertawa. Dan itu, terdengar bak buluh perindu, di telinga Ben.
Ben tidak berani memandang wajah pria yang ia tubruk, dengan wajah memerah, Ben berlalu. Namun sepasang telinga masih sempat mendengar seruan manja dari sang Kepala HRD yang Ben yakin ditujukan pada pria tersebut.