Ben tersenyum, mengangguk-angguk. Dan sepertinya kebersamaan dengan gadis manis itu harus terputus. Lift telah berada di lantai tiga, pintu lift terbuka, dan Ben harus melangkahkan kakinya keluar dari ruang sempit itu, meski terasa sedikit “menjanjikan”.
“Mari, Neng Sukma,” pamit Ben, sekilas melirik Mbok Minah. “Saya duluan,”
“Mari, Mas,”
Ben masih saja terpaku di atas kursi empuk itu, seolah sepasang mata tak mau beranjak dari objek indah di hadapannya. Dan jelas sekali, Ben tidak mendengar dengan jelas apa-apa yang telah dan sedang diucapkan wanita muda supercantik di hadapannya kini itu. Leher baju di bawah dagu telah lembab, lembab oleh ilernya yang mengucur tak tertahankan. Yang pasti bukan karena aroma White Frappe di atas meja itu, tapi… wajah dan tubuh menggiurkan wanita itulah penyebabnya.
“Anda baik-baik saja, saudara Ben?” wanita cantik mengerutkan dahinya yang supermulus.
Ben kembali menjejak bumi. Sedikit gelagapan, dan “menyapu” liur yang tertumpah. “Enggak... apa-apa, Bu. Sa—ya, baik,”
“Baiklah,” wanita dengan jabatan Kepala HRD tersebut merapikan CV dalam map biru di tangannya. “Mungkin ini keberuntungan bagi Anda—yaa, selain mengingat Anda juga Sarjana Teknik. Beberapa waktu ini, kami memang kekurangan orang,”
Sepasang mata Ben membesar, banyak harap di sana demi mendengar ucapan wanita tersebut.
“Jadi—yaa, selamat Ben,” wanita itu berdiri, mengitari meja, dan Ben mau tidak mau harus berdiri. “Tiga hari lagi, Anda sudah bisa mulai bekerja. Dan saya harap, Anda memberikan yang terbaik bagi perusahaan ini,”