“Makasih, Mas,” ujar gadis itu sesaat setelah berada di dalam lift.
“Sama-sama,” Ben melirik wajah itu. Busyeeet… batin Ben bergejolak. Gadis itu terlalu manis, hingga… tanpa sadar, air liur Ben menetes mengotori lantai lift. “Ka—mu, pegawai di sini, ya?”
“Hmm,” gadis itu berpikir sejenak. Ekor matanya mendapati jika Ben terus menerus menatap wajahnya. “Boleh dibilang seperti itu sih, Mas—“
“Ben, panggil aja saya, Ben,”
“—Mas Ben,” sang gadis mengulum senyum. Sementara, wanita paruh baya di sampingnya seperti tidak menghiraukan percakapan itu, sepasang mata nanar menatap pintu lift yang tertutup. “Soalnya, saya baru tiga hari di sini,”
“Hoo…” bibir Ben mengerucut, sama sekali tidak mengerti. Hanya lagaknya saja seolah memahami. “Eeeh, kamu--"
“Sukma,” potong sang gadis. “Saya, Sukma. Dan ini,” ia melirik pada wanita paruh baya itu. “Bibi saya. Eeeng… anggap saja begitu. Saya memanggilnya, Mbok Minah,”
“—Oke. Sukma, mau ke lantai berapa?”
“Empat Belas, Mas. Terima kasih,”
Ben memencet tombol bernomor empat belas itu. Lantas kembali memandangi gadis di sampingnya, beralih lagi pada sosok setengah baya tersebut. Begitu berulang-ulang, seolah Ben merasa ada yang ganjil. Kok gak ade mirip-miripnye?
“Saya, mau bawa Mbok Minah bertemu Pak Nugie,” sahut gadis itu, ia menyadari tatapan aneh dari Ben tersebut. “Meski keluarga jauh. Namun, dia satu-satunya yang dimiliki Mbok Minah.”