“Waahh, hari ini, kamu dapat banyak ya,” Pak Sulis kagum, memandang tumpukan keong mas dalam ember kusam di tangannya.
Siti mengangguk, seulas senyum manis tak henti menghiasi wajahnya. Entah kenapa, pagi ini begitu indah. Keong mas seakan mendatangi dirinya, begitu mudahnya ia mengumpulkan seember makhluk-makhluk merayap itu. Penuh, bahkan nyaris melimpah. Dan itu artinya; Siti akan menerima upah yang lebih dari hari biasanya.
“Nih, Bapak lebihin buat jajan kamu,”
Yaa, Pak Sulis si pemilik peternakan bebek itu, memang bukan orang yang pelit. Lebih-lebih pada Siti si gadis cilik yang tak sehari jua libur mengantarkan keong mas untuk pakan ternaknya.
Siti menerima lembaran rupiah lusuh dengan bangga di dada.
“Tapi…” Pak Sulis mengelus kepala Siti, membungkuk, menatap lembut ke dalam bola mata gadis kecil. “Lebih baik kamu simpan saja. Ditabung. Mungkin, satu saat akan berguna,”
Siti mengangguk, dan berpamit diri, melangkah riang pulang ke rumah… bukan, gubuk.
Jalan pulang kali ini begitu terasa indah, menyenangkan. Bunga-bunga di sepanjang tepian jalan seolah serentak bermekaran, mengikut langkah dendang gadis kecil. Menari bersama liukan sang bayu.
Dodotiro, dodotiro
Kumitir bedah ing pinggir
Dondomono, jlumatono, kanggo sebo mengko sore…