Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Bangunlah

3 Agustus 2015   17:05 Diperbarui: 3 Agustus 2015   17:05 1031
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lir ilir, lir ilir

Tandure wes sumilir

Tak ijo royo-royo, tak senggo kemanten anyar…

“Siti, aku berangkat sekolah dulu, ya?” Endah berpamit diri, pada sahabatnya, Siti. “Ntar sore, kita main lagi, aku bantuin nyari keong mas.”

Siti melepas kepergian sahabatnya itu, menimba ilmu. Tersenyum, hanya itu yang bisa ia lakukan. Endah sama seperti dirinya, seusia, namun lebih beruntung. Dari keluarga yang sedikit berada, dan Siti, dari keluarga yang sedikit tidak berada.

Meski ada kecemburuan dalam tatapan bening bola matanya, namun Siti tak pernah mempersoalkan itu. Membusungkan dada, Siti mendongak menatap langit pagi nan cerah, lantas kembali membungkuk. Menyibak rumpun tanaman padi, menyelidik setiap lekuk tanah, mencari dan mengumpulkan keong mas.

“Dapat lagi…” seru Siti dengan senang, memasukkan keong tersebut ke dalam ember kusam yang terkait di pinggangnya.

Cah angon, cah angon

Penekno blimbing kuwi

Lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotiro…

 

“Waahh, hari ini, kamu dapat banyak ya,” Pak Sulis kagum, memandang tumpukan keong mas dalam ember kusam di tangannya.

Siti mengangguk, seulas senyum manis tak henti menghiasi wajahnya. Entah kenapa, pagi ini begitu indah. Keong mas seakan mendatangi dirinya, begitu mudahnya ia mengumpulkan seember makhluk-makhluk merayap itu. Penuh, bahkan nyaris melimpah. Dan itu artinya; Siti akan menerima upah yang lebih dari hari biasanya.

“Nih, Bapak lebihin buat jajan kamu,”

Yaa, Pak Sulis si pemilik peternakan bebek itu, memang bukan orang yang pelit. Lebih-lebih pada Siti si gadis cilik yang tak sehari jua libur mengantarkan keong mas untuk pakan ternaknya.

Siti menerima lembaran rupiah lusuh dengan bangga di dada.

“Tapi…” Pak Sulis mengelus kepala Siti, membungkuk, menatap lembut ke dalam bola mata gadis kecil. “Lebih baik kamu simpan saja. Ditabung. Mungkin, satu saat akan berguna,”

Siti mengangguk, dan berpamit diri, melangkah riang pulang ke rumah… bukan, gubuk.

Jalan pulang kali ini begitu terasa indah, menyenangkan. Bunga-bunga di sepanjang tepian jalan seolah serentak bermekaran, mengikut langkah dendang gadis kecil. Menari bersama liukan sang bayu.

Dodotiro, dodotiro

Kumitir bedah ing pinggir

Dondomono, jlumatono, kanggo sebo mengko sore…

 

Angin pantai menyapa jauh ke daratan. Menyibak rambut Siti yang tergerai. Duduk sendiri di atas bangku usang. Melamun liar pada rembulan yang malu-malu di balik awan.

“Ngelamunin apa, kamu?”

Sapa sang ibu dari belakang sedikit membuyarkan khayalan Siti. Siti sumringah pada sang ibu yang duduk di sampingnya. Kembali tenggelam pada rona sang bulan. Sang ibu menghela napas panjang, sama memandang rembulan indah.

“Bu, apa Ibu gak kangen ya, sama Bapak?”

Tanya tiba-tiba dari mulut mungil itu menghentak dalam keheningan sang ibu. Ia paksakan diri untuk tersenyum.

“Kamu itu…” kilah sang ibu, “kayak orang dewasa aja nanyanya.”

Yaa, tentu saja ia kangen, merindukan sang suami yang nyaris sewindu penuh tak lagi pernah ia peluk. Gunjingan para tetangga, semakin menumpuk kerinduan itu di dadanya.

“Siti… kangen Bapak, Bu. Kalau Bapak ada, pasti Siti… bisa sekolah,”

Sang ibu menarik tubuh kecil itu ke dalam pelukannya. Meski gulir kehangatan mengaburkan pandangannya, namun ia tidak ingin memperlihatkan itu. Tidak pada sang buah hati.

“Mungkin,” kata terucap dalam serak yang tak dimengerti Siti kecil, “Bapak lagi kangen kita juga, di sana.”

Sang ibu membekap lembut kedua pipi sang anak, menatap dalam pada kepolosan mata sang anak.

“Ibu, akan berusaha lebih keras lagi, Nak. Biar…” sang ibu alihkan pandangannya, pada rembulan yang telah muncul sempurna. “Biar kamu bisa sekolah,” dan menekan segala keresahan yang mengalangi rasa.

“Siti, juga mau menabung, Bu.” Wajah polos begitu indah dalam senyuman, menatap dengan janji. “Kalau sudah banyak, Siti mau sekolah…”

Kembali sang ibu memeluk buah hati satu-satunya, semaian kasih yang tersisa dari sang suami yang telah lama pergi.

Mumpung padang rembulane

Mumpung jembar kalangane

Yo sorako, sorak iyo…

Lir ilir, lir ilir

Tandure wes sumilir

Tak ijo royo-royo, tak senggo kemanten anyar…

 

Sumber syair; lirik lagu; Lir ilir – Sunan Kalijaga

TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM, COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.

Ando Ajo, Jakarta 03 Agustus 2015.

Sumber ilsutrasi.

Terima Kasih Admin Kompasiana^^

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun