Oleh: Adolardus Gunung
wacana terkait izin eksplorasi batu gamping dan pabrik semen di Manggarai Timur baru-baru ini telah mengundang respon publik. Isu ini menjadi viral dan tersebar di telinga masyarakat, khsusnya masyarakat Manggarai Raya setelah bupati Agas Anderas bertemu dengan masyarakat Kampung Luwuk, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, pada Selasa 21 Januari 2020.
Tujuan kunjungan Agas ke desa Satar Punda, kecamatan Lamba Leda untuk menginformasi terkait rencana izin eksplorasi batu gamping dan pabrik produksi semen.Â
Agas menjelaskan kepada masyarakat bahwa Lengko Lolok, sesuai rencana akan dijadikan lokasi untuk eksplorasi batu gamping dan kampung Luwuk untuk lokasi pabrik semen. Oleh karena itu, lanjut Agas, sebelum investor datang, dirinya perlu menyampaikan informasi ini terlebih dahulu ke masyarakat.
Berdasarkan berita di Media Indonesia, PT Singa Merah dan PT Istindo Mitra merupakan dua perusahaan calon investor dalam perencanaan pendirian eksplorasi batu gamping dan pabrik semen di desa Satar Punda, Manggarai Timur sebagaimana diinformasikan oleh Agas Andreas selaku Bupati Manggarai Timur.
Lahir Pro dan Kontra
Setelah Agas Andreas menginformasikan terkait lokasi eksplorasi batu gamping dan pabrik semen di desa Satar Punda Manggarai Timur, berbagai pernyatan pro dan kontra muncul dari berbagai kalangan.Â
Uskup Ruteng misalnya, seperti diberitakan di Media Indonesia pada Rabu 29 April 2020. Uskup menempatkan dirinya pada posisi kontra. Kontra dalam hal ini menolak rencana eksplorasi batu gamping dan pabrik semen di Manggarai Timur.
Menurut Mgr. Siprianus Hormat selaku uskup keusukupan Ruteng, Gereja hanya mendukung kegiatan investasi yang menjunjung tinggi keadilan, menghargai martabat manusia, dan tidak merusak lingkungan hidup.Â
Sikap Gereja Manggarai menurutnya sangat jelas dan tegas disampaikan dalam pernyataan divisi Justice, Peace, Integrity of Creation (JPIC) Keuskupan Ruteng.
Dari pihak pro, misalnya gubernur NTT, Vitor Bungtilu Laiskodat. Dilansir dari Vox NTT, Viktor setuju kehadiran eksplorasi batu gamping dan pabrik semen di Manggarai Timur. Pertimbangan Viktor bahwa saat ini pembangunan di Provinsi NTT membutuhkan semen.Â
Kebutuhan semen di NTT setiap tahun mencapai 1,2 juta ton/tahun. Belum lagi kebutuhan semen di Timor Leste mencapai 600 ribu ton/tahun. Sementara saat ini NTT, kata dia, hanya mampu menghasilkan 250 ribu ton/tahun.
Menurut Laiskodat produksi semen Kupang saat ini hanya mampu mencapai 250 ribu ton per tahun. Terdapat defesit semen 950 ribu ton per tahun. Kemudian kekurangan itu, didatangkan dari Jawa. Menurutnya pabrik semen di Manggarai Timur untuk memenuhi kebutuhan lokal.Â
Apalagi, saat ini pemerintah sedang membangun besar-besaran di Flores. Pemprov NTT akan membangun sepanjang 1.000 km dari Labuan Bajo menuju Wae Rebo di Kabupaten Manggarai dan pasti membutuhkan semen.
Pro dan kontra warga desa Satar Punda. Berdasarkan berita di Floresa, dari 73 kepala keluarga yang menghuni kampung Luwuk, terdapat delapan kepala keluarga di antaranya yang menolak pabrik semen.Â
Sedangkan 65 kepala kelurga lainnya menyambut baik kehadiran calon Investor PT Singa Merah dan PT Istindo Mitra. Sedangkan di kampung Lengko Lolok, misalnya, hanya dua Kepala Keluarga (KK) yang menolak dan 89 KK yang lainnya setuju.
Alasan warga yang menolak pun beragam. Konstatinus Esa, misalnya. Konstantinus Esa merupakan warga kampung Luwuk yang menolak kehadiran pabrik semen.Â
Alasan penolakan Konstan terhadap kehadiran pabrik semen adalah bahwa tanah yang dimilikinya merupakan tanah warisan orang tuannya yang harus dijaga sampai kapanpun. Berikut pernyatan konstan dikutip dari floresa "Tanah yang saya miliki adalah pusaka dari orangtua saya. Pesan orangtua saya, berapa pun anak dan cucumu, wariskan (tanah) ini."
Kemudian Agustinus Fan, warga lain yang menolak perusahaan pabrik semen. Agustinus bertekad mempertahankan lahan warisan ayahnya yang telah meninggal. Menurut Agsutinus tanah itu merupakan sebagai kenangan dari ayahnya yang telah meninggal sehingga harus dipertahankan.Â
Efridus Suhardi, Ketua RT Luwuk yang merupakan bagian dari pro. Efridus menyambut baik kehadiran perusahaan tambang semen. Menurutnya kehadiran perusahaan pabrik semen menguntungkan bagi masyarakat sekitar, karena dapat menerapkan banyak tenaga kerja.
Bagi yang menolak, selain tak ingin kehilangan warisan leluhur yang harus diteruskan ke anak cucu, mereka juga sudah punya pengalaman buruk dengan kehadiran tambang mangan di kampung Sirese pada tahun 2013 dan 2017.
Pengalaman buruk itu muncul ketika Yosep Tote yang saat itu menjabat sebagai bupati Manggarai Timur memuluskan kehadiran investor PT. Istindo Mitra Perdana mesti ditentang keras oleh masyarakat adat dan Gereja Katolik Keuskupan Ruteng. PT. Istindo Perdana beroperasi sejak 2009 dan mengeruk mangan dari lahan milik warga Serise yang terletak di tepi jalan sebelum kampung Luwuk.
Setelah PT. Istindo Perdana beroperasi, dampak yang dirasakan warga Sirise cukup parah. Banyak masyarakat di sekitar lokasi tambang terkena sakit lantaran menghirup udara kotor yaitu udara campur debu. Bukan hanya itu, dampak yang paling buruk lagi adalah masyarakat di sekitar lokasi tambang kekurangan air.
Bahkan setelah berakhirnya masa penambangan pada tahun 2013 dan 2017, Bekas galian yang menganga lebar dan dalam tidak ditutup Kembali. Galian mangan Serise masih terlihat hingga saat ini. Pada bekas galian itu kini tak lagi tumbuh pepohonan.
Sedangkan bagi warga yang setuju dengan kehadiran eksplorasi batu gamping dan pabrik semen di Manggarai Timur, keyakinan mereka diletakkan pada penetapan harga ganti rugi tanaman sebesar Rp. 500 ribu per pohon, biaya pembebasan lahan kurang lebih dari Rp12 ribu sampai Rp16 ribu per meter persegi.Â
Saat ini masyarakat di dua kampung tersebut sudah mendapatkan uang muka sebesar Rp10 juta per kepala keluarga. Persetujuan masyarakat tertuang dalam surat kesepakatan antara masyarakat setempat dan pihak perusahaan yang diketahui kepala desa setempat.
Tanah Nuca Lale sebagai Tanah Warisan Leluhur yang harus Dijaga.
Manggarai merupakan tanah yang lahir atas perjuangan para pahlawan. Mari simak penggalan cerita berikut, cerita saat para pahlawan membela tanah Nuca Lale. Sebuah tulisan menarik di FLORESA berjudul: Â "Motang Rua: Kisah Heroik Pahlawan Manggarai" (1), (2)), dan (3).Â
Dari tulisan tersebut diceritakan bahwa pada zaman sebelum merdeka, Manggarai dikuasai oleh Kolonial Belanda. Tepatnya pada awal abad ke-20 Kolonial Belanda mendirikan pemerintahan sipil-militer di Manggarai dengan tujuan untuk memperluas kekuasaan colonial serta memperkuat benteng pertahanan.
Sejumlah tempat pun dipilih untuk dijadikan pusat pemerintahan. Di antaranya Malawatar (Lembor), Cancar dan Puni (Ruteng). Dalam rencana, Belanda ingin meresmikan pemerintahan administratif daerah jajahan Manggarai pada 31 Juli 1909 bertepatan dengan Hari Raya Kerajaan Belanda.
Dari berbagai alternatif tempat yang dijadikan pusat pemerintahan itu, akhirnya, Puni (Ruteng) yang dipilih. Belanda pun mulai membangun rumah-rumah dan perkantoran. Namun, bukan Belanda sendiri yang membangun fasilitas pemerintahan itu, melainkan rakyat Manggarai.
Di tengah isu tentang Kolonial Belanda membangun pemerintahan sipil-militer di tanah Nuca Lale, kemudian muncul nama Motang Rua yang hingga saat ini dinobatkan sebagai pahlawan tanah Nuca Lale. Motang Rua merupakan tokoh heroik yang saat itu tidak terima dengan rencana Kolonial untuk membangun benteng pemerintahan sipil-milter di Manggarai.
Apalagi yang membangun fasilitas pemerintahan itu, bukan Belanda sendiri melainkan rakyat Manggarai. Mendapat perlakuan seperti itu, Motang Rua sontak untuk melakukan perlawanan terhadap Kolonial. Motang Rua kemudian membentuk sekutu.Â
Sejumlah orang diajaknya untuk melakukan perlawanan, seperti Sesa Ame Bembang, Padang Ame Naga, Naga Ame Demong, Lapa Ame Sampu, Angko, Rumbang, Tengga Ame Gerong, Sadu Ame Mpaung (meninggal di pembuangan Sawa Lunto), Nompang Ame Tilek, dan Ulur.
ekuatan dari sjeumlah kedaluan juga dihimpun seperti dari Kedaluan Lelak ada Paci Ame Rami, Nggarang Rombeng Rejeng, dan Dareng Ame Darung. Dari Kedaluan Ndoso ada Pakar Ame Jaga, Kedaluan Ndehes ada Raja Ame Kasang Ngampang Leok, Kedaluan Ruteng ada Nggorong Carep, Tanggu, Kelang Labe dan Wakul.
Dia juga mengajak adik dan kakanya sendiri yaitu Ranggung Lalong Elor, Parang Ame Panggung, Nggelong, Parung Jalagalu, Lancur Lalong Pongkor, Latu Lando Rata, Tangur, Nicik, Nggangga, Anggang Ame Geong, Nancung Laki Rani, Tagung, Dorok, Corok, Rede, Seneng, Talo, Hasa, dan Andor Jagu.
 Singkat cerita, meskipun Motang Rua dan kawan-kawanya telah berupaya keras untuk melawan Kolonial Belanda, namun upaya mereka tidak membuahkan hasil, justru banyak korban jiwa dari pihak Motang Rua, hingga dengan berbagai politik Belanda berhasil menangkap Motang Rua dan diadili.
Dari sepengggalan cerita yang diambil dari FLORESA di atas, hanya satu yang ingin disampaikan, bahwa sebagai tanah yang diperoleh melalui tumpah darah para pahlawan, sebagai generasi penerus kita diwajibkan untuk menghormati jasa para pahlawan dengan cara menjaga tanah warisan yang telah diwariskan kepada kita.
Ancaman Kerusakan Lingkungan dan Hilangnya Identitas Budaya
Kehadiran Pabrik semen dan batu gamping tentu beresiko tinggi terhadap kerusakan lingkungan. Mengingat sebelumnya pernah terjadi peristiwa serupa di mana Yosep Tote selaku bupati Manggarai Timur saat itu mengamini kehadiran PT. Istindo Perdana untuk membangun pabrik mangan di kampung Serise desa Satar Punda, yang mengakibatkan kerusakan terhadap tanah mereka serta masyarakat sekitar terkena sakit dan kekurangan air.
Masyarakat Manggarai mayoritas berprofesi petani. Dalam masyarakat yang berprofesi sebagai petani, tanah merupakan wadah sumber makanan. Berbagai penghasilan yang dihasilkan dari tanah, seperti kemiri, cengkeh, cokelat, jagung, dan tanaman-tanaman lain yang menjadi penghasilan rutin baik tanaman jangka panjang maupun tanaman berjangka pendek, seperti kacang tanah, kacang merah, kacang hijau serta tanaman-tanaman lainnya.
Apabila tanah dipakai untuk pabrik semen maupun tambang batu gamping sebagai bahan dasar semen, maka kemungkinan besar penghasilan-penghasilan rutin tersebut hilang untuk selamanya, karena tanah telah tidak dapat dipergunakan lagi.
Manusia terus lahir dan berkembang dari masa ke masa, sedangkan tanah tidak pernah lahir kembali. Berpijak pada prinsip ini, maka wajar ketika masyarakat desa Satar Punda kabupaten Manggarai Timur yang menjadi objek target pendirian dua perusahaan yang bergerak dalam pabrik tambang semen menolak untuk mendirikan perusahaan tersebut di atas tanah mereka.
Mengingat kehadiran tambang semen hanya untuk sesaat. Setelah berakhirnya masa penambangan kemungkinan besar tanahnya tidak dapat depergunakan lagi. Serta pada tanah bekas tambang tersebut kemungkinan besar pepohonan tidak dapat tumbuh kembali.Â
Sehingga kekurangan air pun tentu dirasakan warga sekitar. Bukan hanya kekurangan air, bahkan warga sekitar berpotensi besar untuk terkena sakit lantaran udara telah tercemar dengan kotoran debu tambang semen.
Sedangkan, apabila tanah itu tetap alami, maka para petai terutama para pemilik tanah yang dijadikan lokasi tambang semen tetap dapat mempergunakan tanah tersebut sepanjang hayat hidup mereka.
 Serta air pun tetap jaya karena lingkungannya tetap terjaga, pepohonan tetap bertumbuh. Dengan demikian, disarankan agar rencana pabrik tambang semen di kampung Luwuk dan Lengko Lolok, Manggari Timur dipindahkan. "Biarkan Tanah Nuca Lale Tetap Alami".
Terkait dengan rencana bupati Agas untuk merelokasi kampung Lenko Lolok, itu berdampak pada potensi kehilangan identitas budaya yang secara turum temurun telah mereka pertahankan. Meningat kampung Lengko Lolok merupakan suatu entitas sosial masyarakat yang memiliki beraneka ragam adat istiadat sebagai identitas budaya.
Â
Catatan: Artikel ini merupakan opini semata. Untuk itu, segala kekurangannya menjadi bahan diskusi bersama.
Referensi: Media Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H