Pengalaman buruk itu muncul ketika Yosep Tote yang saat itu menjabat sebagai bupati Manggarai Timur memuluskan kehadiran investor PT. Istindo Mitra Perdana mesti ditentang keras oleh masyarakat adat dan Gereja Katolik Keuskupan Ruteng. PT. Istindo Perdana beroperasi sejak 2009 dan mengeruk mangan dari lahan milik warga Serise yang terletak di tepi jalan sebelum kampung Luwuk.
Setelah PT. Istindo Perdana beroperasi, dampak yang dirasakan warga Sirise cukup parah. Banyak masyarakat di sekitar lokasi tambang terkena sakit lantaran menghirup udara kotor yaitu udara campur debu. Bukan hanya itu, dampak yang paling buruk lagi adalah masyarakat di sekitar lokasi tambang kekurangan air.
Bahkan setelah berakhirnya masa penambangan pada tahun 2013 dan 2017, Bekas galian yang menganga lebar dan dalam tidak ditutup Kembali. Galian mangan Serise masih terlihat hingga saat ini. Pada bekas galian itu kini tak lagi tumbuh pepohonan.
Sedangkan bagi warga yang setuju dengan kehadiran eksplorasi batu gamping dan pabrik semen di Manggarai Timur, keyakinan mereka diletakkan pada penetapan harga ganti rugi tanaman sebesar Rp. 500 ribu per pohon, biaya pembebasan lahan kurang lebih dari Rp12 ribu sampai Rp16 ribu per meter persegi.Â
Saat ini masyarakat di dua kampung tersebut sudah mendapatkan uang muka sebesar Rp10 juta per kepala keluarga. Persetujuan masyarakat tertuang dalam surat kesepakatan antara masyarakat setempat dan pihak perusahaan yang diketahui kepala desa setempat.
Tanah Nuca Lale sebagai Tanah Warisan Leluhur yang harus Dijaga.
Manggarai merupakan tanah yang lahir atas perjuangan para pahlawan. Mari simak penggalan cerita berikut, cerita saat para pahlawan membela tanah Nuca Lale. Sebuah tulisan menarik di FLORESA berjudul: Â "Motang Rua: Kisah Heroik Pahlawan Manggarai" (1), (2)), dan (3).Â
Dari tulisan tersebut diceritakan bahwa pada zaman sebelum merdeka, Manggarai dikuasai oleh Kolonial Belanda. Tepatnya pada awal abad ke-20 Kolonial Belanda mendirikan pemerintahan sipil-militer di Manggarai dengan tujuan untuk memperluas kekuasaan colonial serta memperkuat benteng pertahanan.
Sejumlah tempat pun dipilih untuk dijadikan pusat pemerintahan. Di antaranya Malawatar (Lembor), Cancar dan Puni (Ruteng). Dalam rencana, Belanda ingin meresmikan pemerintahan administratif daerah jajahan Manggarai pada 31 Juli 1909 bertepatan dengan Hari Raya Kerajaan Belanda.
Dari berbagai alternatif tempat yang dijadikan pusat pemerintahan itu, akhirnya, Puni (Ruteng) yang dipilih. Belanda pun mulai membangun rumah-rumah dan perkantoran. Namun, bukan Belanda sendiri yang membangun fasilitas pemerintahan itu, melainkan rakyat Manggarai.
Di tengah isu tentang Kolonial Belanda membangun pemerintahan sipil-militer di tanah Nuca Lale, kemudian muncul nama Motang Rua yang hingga saat ini dinobatkan sebagai pahlawan tanah Nuca Lale. Motang Rua merupakan tokoh heroik yang saat itu tidak terima dengan rencana Kolonial untuk membangun benteng pemerintahan sipil-milter di Manggarai.