Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

2 Jam Berikutnya

24 Februari 2017   03:51 Diperbarui: 24 Februari 2017   04:00 823
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Nggak ada. Tidak ada,” kataku.

Aku tiba di kebun binatang pukul empat kurang duapuluh menit. Aku menunggu Mantan Pacarku di depan kandang Gajah. Di sana ada  bangku semen yang melingkar dibuat lengkap dengan sandarannya. Bangku semen itu seperti lingkaran kue bolu yang terpotong sisinya yang digunakan sebagai pintu masuk dan di tengah-tengahnya ada sebuah meja, yang juga terbuat dari semen. Aku duduk dan menutup kepalaku dengan tudung jaket yang kukenakan.

Lima detik kemudian dua orang datang dan duduk di seberangku. Satu pria kurus dan satu lagi wanita gendut. Mereka duduk berdempetan. Tak lama setelah itu, Si pria membuka percakapan, “Bom pertama sekutu dijatuhkan di kota Berlin pada perang dunia ke 2 dan membunuh satu-satunya gajah di Kebun Binatang Berlin itu,” ujar Si Pria kurus.

Jeda panjang. Lalu, nampaknya Si Wanita gendut keberatan kalau sekarang adalah waktu yang tepat bicara soal sejarah atau kematian. Dan ia menggeser percakapan itu ke arah yang paling ia sukai.

“Urusan kita datang ke sini kan, katamu, akan membagikan informasi tentang tanggapan orang tuamu terhadap hubungan kita. Kamu nggak lupa kan?” Si Gendut bicara kesal, lalu ia menggeser pantatnya sekitar lima senti dari Si Kurus.

Sampai percakapan ini, aku menyimpulkan kalau mereka adalah sepasang kekasih. Dan karena mereka sepasang kekasih, dan karena tidak ada hal khusus yang ingin kulakukan, selagi menunggu mantan pacarku, kurasa mendengarkan sepasang kekasih yang bertengkar bisa menjadi kegiatan yang seru bagiku.

Si Kurus menjawab dengan suara canggung namun lembut. “Untuk saat ini saja. Tolonglah. Ibuku baru saja mengalami hari buruk. Kita bisa menunda untuk membicarakan masalah ini. Kumohon bersabarlah....”

“Kau bilang ini masalah?”

Si Kurus tidak menjawab. Ia menggeser letak bokongnya untuk mendekati Si Gendut, yang setiap kali mengatakan sesuatu, semakin menggeser dan menjauh darinya. Bangku semen yang kami duduki, berbentuk lingkaran yang berujung. Jika memang mereka terus menggeser bokong seperti itu, kurasa aku akan merasa terpojok. Apa sebaiknya aku juga ikut bergeser?

“Aku sudah cukup bersabar. Apalagi?” Si Gendut nampak marah sekali, hingga aku berpikir ia akan menalan Si Kurus, kalau dia mau. “Selama lima tahun, kita menjalin hubungan tak jelas macam anggsuran kendaraan saja. Kau selalu menyuruh aku bersabar, tapi bersabar seperti apa yang kau inginkan?”

Si Kurus menggeser tempat duduknya lebih dekat ke kekasihnya. Aku menggeser tempat dudukku. Mereka mengamatiku sedetik, lalu mulai fokus lagi pada akar masalah mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun