Satu detik lalu adalah masa lalu.
Aku baru saja putus dengan pacarku, 2 jam lalu. Alasannya tidak penting. Begitulah. Karena memang saat kutanyakan padanya, “Kenapa mendadak begini? Apa alasanmu?”
Mantan pacarku justru balik bertanya. “Mendadak?” ujarnya. “Memangnya kau pikir aku ini kambing mau lahiran?”
“Ya terus?” tanyaku.
“Terus apa?” Dia malah balik bertanya lagi. “Pokoknya aku mau putus!”
“Ya, kenapa, aku kan belum ada persiapan. Kenapa mendadak begini?” kataku.
“Mendadak?” katanya. “Emang kau pikir aku ini kambing yang mau lahiran?”
Lalu tiba-tiba sambungan telepon terputus. Entah siapa yang memutuskannya. Mantan pacarku memang punya kenangan buruk soal anak kambing.
--oOo--
Dulu, sebelum jadi dokter hewan, ia pernah mengulang mata kuliah yang dalam praktiknya mengamati proses kelahiran hewan mamalia. Mantan pacarku memilih kambing sebagai bahan penelitiannya. Ia membeli seekor kambing yang sudah hamil tua di pasar hewan dan membawanya ke kampus. Aku sebagai pacarnya yang baik, menemaninya, dan tugasku adalah menyeret seekor kambing berperut besar dan memasukannya ke dalam becak. Mantan pacarku menuju kampus dengan mobilnya. Sementara aku dan kambing itu naik becak mengikut di belakang mobilnya.
Sesampainya di kampus, mantan pacarku terkejut. “Loh, kok perutnya kosong?”tanyanya sambil menatapku. Ia memencet-mencet perut kambing itu. Isinya sudah tidak ada.
“Aku juga nggak tahu,” jawabku.
Telusur punya telusur ternyata kambing itu sudah melahirkan di tengah-tengah perjalannan menuju kampus. Dan mungkin anak kambing itu terjatuh di jalan. Aku betul-betul tidak tahu.
Mantan pacarku cuma menangis. Aku tidak tahu kenapa ia menangis. Lalu setelah merasa cukup menangis, mantan pacarku bilang, “Baiklah. Kita putus!” katanya.
“Kenapa? Karena aku ceroboh ya? Aku nggak mau putus denganmu. Aku sudah duduk selama 30 menit bersama kambing di dalam becak untukmu, kau harus mempertimbangkan itu.”
Mantan pacarku mengelap air matanya dengan punggung tanggannya. Lalu menghela napas. “Baiklah. Kita nggak jadi putus. Tapi sebagai gantinya kau harus mencari anak kambing itu untukku, dan kalau nggak ketemu kita nggak jadi putus, tapi selesai!”
Aku juga menghela napas. Aku menyanggupinya. Aku mencari anak kambing itu sampai magrib tapi tak ketemu. Hubungan kami pun selesai.
Apa boleh buat.
--oOo—
Dua jam setelah kami putus, tiba-tiba mantan pacarku menelponku dan katanya ia ingin ketemu. Di Kebun Binatang tempat ia bekerja sebagai dokter hewan. Pukul empat. Jangan telat. “Kalau tidak—“
“Memangnya kenapa kalau tidak? Kau sudah sering menggunakan jurus tipuan kecil itu kepadaku. Berhentilah mengancamku,” kataku memotong. “Kalau tidak—“
Mantan pacarku ikut-ikutan memotong, “Apa? Memangnya apa yang akan kau lakukan?”
“Nggak ada. Tidak ada,” kataku.
Aku tiba di kebun binatang pukul empat kurang duapuluh menit. Aku menunggu Mantan Pacarku di depan kandang Gajah. Di sana ada bangku semen yang melingkar dibuat lengkap dengan sandarannya. Bangku semen itu seperti lingkaran kue bolu yang terpotong sisinya yang digunakan sebagai pintu masuk dan di tengah-tengahnya ada sebuah meja, yang juga terbuat dari semen. Aku duduk dan menutup kepalaku dengan tudung jaket yang kukenakan.
Lima detik kemudian dua orang datang dan duduk di seberangku. Satu pria kurus dan satu lagi wanita gendut. Mereka duduk berdempetan. Tak lama setelah itu, Si pria membuka percakapan, “Bom pertama sekutu dijatuhkan di kota Berlin pada perang dunia ke 2 dan membunuh satu-satunya gajah di Kebun Binatang Berlin itu,” ujar Si Pria kurus.
Jeda panjang. Lalu, nampaknya Si Wanita gendut keberatan kalau sekarang adalah waktu yang tepat bicara soal sejarah atau kematian. Dan ia menggeser percakapan itu ke arah yang paling ia sukai.
“Urusan kita datang ke sini kan, katamu, akan membagikan informasi tentang tanggapan orang tuamu terhadap hubungan kita. Kamu nggak lupa kan?” Si Gendut bicara kesal, lalu ia menggeser pantatnya sekitar lima senti dari Si Kurus.
Sampai percakapan ini, aku menyimpulkan kalau mereka adalah sepasang kekasih. Dan karena mereka sepasang kekasih, dan karena tidak ada hal khusus yang ingin kulakukan, selagi menunggu mantan pacarku, kurasa mendengarkan sepasang kekasih yang bertengkar bisa menjadi kegiatan yang seru bagiku.
Si Kurus menjawab dengan suara canggung namun lembut. “Untuk saat ini saja. Tolonglah. Ibuku baru saja mengalami hari buruk. Kita bisa menunda untuk membicarakan masalah ini. Kumohon bersabarlah....”
“Kau bilang ini masalah?”
Si Kurus tidak menjawab. Ia menggeser letak bokongnya untuk mendekati Si Gendut, yang setiap kali mengatakan sesuatu, semakin menggeser dan menjauh darinya. Bangku semen yang kami duduki, berbentuk lingkaran yang berujung. Jika memang mereka terus menggeser bokong seperti itu, kurasa aku akan merasa terpojok. Apa sebaiknya aku juga ikut bergeser?
“Aku sudah cukup bersabar. Apalagi?” Si Gendut nampak marah sekali, hingga aku berpikir ia akan menalan Si Kurus, kalau dia mau. “Selama lima tahun, kita menjalin hubungan tak jelas macam anggsuran kendaraan saja. Kau selalu menyuruh aku bersabar, tapi bersabar seperti apa yang kau inginkan?”
Si Kurus menggeser tempat duduknya lebih dekat ke kekasihnya. Aku menggeser tempat dudukku. Mereka mengamatiku sedetik, lalu mulai fokus lagi pada akar masalah mereka.
“Jika begitu, bersabarlah barang satu bulan lagi. Aku janji aku akan melunasi semuanya dan membawamu pergi. Percayalah padaku!” Lalu Si Kurus memeluk kepala Si Gendut itu di dadanya.
Aku menebak bahwa Si Gendut bakal luluh, karena ia terlihat pasrah dipelukan Si kurus. Namun tebakanku meleset, sebab Si Gendut justru melepaskan pelukan itu sambil sedikit membentak. “Apa? Aku harus percaya lagi padamu? Hubungan kita saja memang sudah seperti dua orang pelawak. Kau selalu bilang begitu kan? Dan kau memang nggak pernah berniat memikirkanku sepanjang hidupmu. Karena sepanjang hidupmu, kau nggak memiliki rencana buat menikah denganku. Kau harus mulai berkata jujur sekarang!”
Si Kurus terkejut. Ia menatap mata kekasihnya itu seolah ingin bertanya apa selama ini diam-diam ia kursus bahasa.
“Aku benar-benar berpikir,” Si Kurus membuka mulutnya. “Coba kupikir-pikir dulu....”
Tiba-tiba dering ponsel mengalihkan perhatiannya. Si Kurus mengintip ponsel di saku kemejanya.
Si Gendut nampak sangat marah dan kalau dilihat dari gesture tubuhnya, kurasa ia ingin sekali memukul Si kurus itu hingga lembek. Namun beruntung karena tiba-tiba saja dari arah yang tak terduga datang sekelompok orang dengan pakaian aneh. Mereka mengenakan rambut badut dan topi kerucut dengan warna yang mencolok. Dan memenuhi bangku lingkar taman semen dalam waktu singkat.
Ada sekitar lima orang perempuan dan empat laki-laki dari rombongan itu. Kemudian disusul dua orang di belakangnya. Lelaki tua dengan kemeja kotak-kotak yang rapi dan seorang wanita tua yang juga mengenakan kemeja lengan panjang kotak-kotak, melangkah serasi.
Lalu Si Kurus menyebut kedua orang tua itu Mama dan Papa.
Selamat ulang tahun!
Selamat ulang tahun!
Begitu pekik dari rombongan itu. Bunyi terompet menyalak-nyalak. Dan seperti dalam adegan sulap, tiba-tiba Si Kurus sudah menopang sebuah piring berisi kue bulat yang telah dihias warna-warni, tapi sudah nampak sedikit rusak. Di atas kue itu ada lilin yang membentuk angka tiga puluh lima yang sudah dinyalakan. Suasana sore itu sangat mengesankan sampai-sampai aku bangkit karena merasa perlu turut bergabung dengan mereka. Seseorang di sampingku memakaikan topi kerucut di kepalaku. Lilin ditiup dan kegembiraan nampak di wajah semua orang.
Tepat ketika mantan pacarku datang dan ia berdiri di sampingku dan seseorang juga memakaikan topi di kepalanya, Ayah Si kurus memberikan kepadanya sebuah kotak kecil berwarna hitam yang ia dapat dari dalam saku celananya. Si kurus menerima dan membuka kotak itu di hadapan kekasihnya. Di dalam kotak hitam itu, sebuah cincin permata cantik bersinar-sinar, seperti mata Si Gendut, yang masih terkejut sekaligus tersipu.
Saat Si Kurus menunduk anggun macam pangeran, memakaikan cincin di jari manis kekasihnya, yakni Si Gendut, sekonyong-koyong, suasana romantis itu, mendadak berubah menjadi kikuk dan berantakkan karena Si Kurus berusaha terlalu keras memasukan cincin itu ke dalam jari manis Si Gendut, yang jelas-jelas tidak muat sehingga cincin itu terjatuh ke bawah rumput kakinya.
Sebutir keringat di pelipis Si Kurus nampak mengalir menuju pipinya. Kami semua hanya menonton pertunjukan itu. Si Kurus mengais-ngais rumput lokasi cincin itu terjatuh, namun enam puluh detik berlalu, cincin kecil itu, belum juga bisa ditemukan. Sayang sekali. Padahal ini adalah moment spesial, dan Si Kurus, yang keringatnya sudah sebesar biji jagung merusaknya dengan tindakan yang sangat ceroboh.
Semua orang ikut membantunya menemukan cincin itu. Termasuk aku dan mantan pacarku. Tiga menit berlalu, cincin itu belum ditemukan. Mungkin karena tindakan Si Kurus tadi mengais-ngais rumput terlalu keras menyebabkan cincin itu meloncat hingga terpental di suatu tempat yang tersembunyi.
Kira-kira lima menit kemudian cincin itu baru bisa ditemukan. Ditemukan langsung oleh calon pemiliknya, yakni Si Gendut. Lantas Si Gendut mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi ke langit seolah ia baru saja menemukan jarum ditumpukan jerami, ia berteriak, “Ini dia cincin sialan itu!” pekiknya.
Mata semua orang memandang benda yang diangkat oleh Si Gendut. Kami semua lega.
Tahu cara menanggulangi kegagalan, maka Si Gendut langsung memakai cincin itu di jari kelingkingnya. Keputusan yang tepat, batinku. Lalu semua orang berdiri dan bertepuk tangan atas keberhasilan Si Gendut. Mantan pacarku, yang berdiri tepat di samping kiriku memandang wanita itu, dan ia bertepuk paling keras.
Setelah acara mengharukan itu selesai. Mantan pacarku menggandenng tanganku, menjauh dari mereka dan ia mengatakan, “Aku juga ingin dilamar seromatis itu, Caius!”
Ia memberiku kode. “Tapi kan kita sudah putus?” kataku.
“Dua jam lalu memang iya. Tapi bagaimana dengan dua jam berikutnya? Kau kan masih mencintaiku kan?”
“Masih,” jawabku.
“Nah, sekarang lakukan untukku. Seberapa rela kau membuktikannya?”
(*)
Cerita ini adalah nukilan dari proyek Novel saya, yang sedang berusaha tengah saya selesaikan. Dikit lagi. Tapi ceritanya tidak seromantis ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H