“Aku juga nggak tahu,” jawabku.
Telusur punya telusur ternyata kambing itu sudah melahirkan di tengah-tengah perjalannan menuju kampus. Dan mungkin anak kambing itu terjatuh di jalan. Aku betul-betul tidak tahu.
Mantan pacarku cuma menangis. Aku tidak tahu kenapa ia menangis. Lalu setelah merasa cukup menangis, mantan pacarku bilang, “Baiklah. Kita putus!” katanya.
“Kenapa? Karena aku ceroboh ya? Aku nggak mau putus denganmu. Aku sudah duduk selama 30 menit bersama kambing di dalam becak untukmu, kau harus mempertimbangkan itu.”
Mantan pacarku mengelap air matanya dengan punggung tanggannya. Lalu menghela napas. “Baiklah. Kita nggak jadi putus. Tapi sebagai gantinya kau harus mencari anak kambing itu untukku, dan kalau nggak ketemu kita nggak jadi putus, tapi selesai!”
Aku juga menghela napas. Aku menyanggupinya. Aku mencari anak kambing itu sampai magrib tapi tak ketemu. Hubungan kami pun selesai.
Apa boleh buat.
--oOo—
Dua jam setelah kami putus, tiba-tiba mantan pacarku menelponku dan katanya ia ingin ketemu. Di Kebun Binatang tempat ia bekerja sebagai dokter hewan. Pukul empat. Jangan telat. “Kalau tidak—“
“Memangnya kenapa kalau tidak? Kau sudah sering menggunakan jurus tipuan kecil itu kepadaku. Berhentilah mengancamku,” kataku memotong. “Kalau tidak—“
Mantan pacarku ikut-ikutan memotong, “Apa? Memangnya apa yang akan kau lakukan?”