Ketika menyebut nama Indonesia, hal yang terlintas adalah tentang sebuah negara maritim kepulauan yang luas, baik wilayah daratan maupun lautnya, termasuk warna warni keberagaman suku, budaya dan bahasa.
Indonesia juga dikenal sebagai negara dengan anugerah sumber daya alam yang melimpah. Dengan keunikan ini, sulit mencari padanan Indonesia dengan negara-negara lain di dunia.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki kurang lebih 17.491 pulau dengan 13.466 pulau terdaftar, luas laut 3.257.483 km2, garis pantai sepanjang 54.716 km2 (terpanjang kedua di dunia), serta juga memiliki hutan tropis terbesar ketiga di dunia seluas 98.072,7 juta ha (52,2% dari luas daratan).
Dengan kondisi tersebut, kekayaan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia sangat berlimpah, baik di laut maupun di darat, yang seharusnya berimplikasi menyejahterakan rakyat.Â
Kondisi sumber daya alam yang ada saat ini bagaikan "pisau bermata dua", jika pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dilakukan dengan baik, Indonesia dapat menjadi negara yang kaya secara ekonomi dan ekosistem. Hal sebaliknya akan terjadi jika tata kelolanya buruk. Indonesia diprediksi hanya menjadi lokasi berbagai bencana lingkungan, konflik horizontal-vertikal, dan kemiskinan yang tinggi dan merata.Â
Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup adalah hal yang wajib menjadi perhatian pemerintah dan warganya.
Pada sisi yang lain, lingkungan hidup di Indonesia perlu ditangani lebih serius sebagai dampak kemerosotan atau degradasi kualitas lingkungan hidup di berbagai daerah.Â
Hal ini merupakan konsekuensi dari penggunaan pola-pola kegiatan pembangunan yang diorientasikan untuk meraih pertumbuhan ekonomi secara pragmatis.
Rangkaian bencana alam yang terjadi beberapa dasawarsa terakhir harusnya menjadi pelecut kesadaran bagi Indonesia untuk menata ulang manajemen pengelolaan sumber daya alam yang ada selama ini.
Munculnya kesadaran ekologi diakibatkan perilaku rakus menciptakan pergeseran paradigma dalam tata kelola sumber daya alam dari semula economic development menuju sustainable development pada pertengahan tahun 1990-an.
Alam mulai mendapat pengakuan politis dalam studi politik maupun studi ekonomi yang menyebutkan bahwa sudah selayaknya alam dan manusia seharusnya hidup bersama secara sinergi.Â
Hal ini mulai nampak ketika beberapa waktu ini upaya revitalisasi kearifan lokal mulai dilirik sebagai model manajemen tata kelola sumber daya alam yang lebih lestari.
Dalam pandangan ekologi politik, kearifan lokal dianggap sebagai solusi mencapai keseimbangan harmoni manusia dengan alam sebagai life support system bagi manusia.
Beberapa jenis sumber daya alam di Indonesia memerlukan pengelolaan yang berkelanjutan, seperti sumber daya hutan, sumber daya tambang, sumber daya lahan dan sumber daya air.
Konsep dinamis pengelolaan sumber daya hutan berkelanjutan diperlukan sebagai solusi untuk mempertahankan dan meningkatkan nilai ekonomi, sosial dan lingkungan dari semua jenis hutan untuk kepentingan generasi mendatang.
Konsep inti dari pengelolaan hutan berkelanjutan adalah tata kelola kehutanan yang menyentuh 3 pihak yang berkepentingan (stakeholder) yaitu: negara, pasar atau pelaku usaha, dan masyarakat.
Pengelolaan hutan berkelanjutan selaras dengan prinsip-prinsip sustainable development yang mengutamakan tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan yang saling melengkapi. Perhutanan sosial menjadi contoh praktik pengelolaan hutan yang bisa diterapkan di Indonesia.
Konsep perhutanan sosial dapat mendukung upaya pemerataan ekonomi dan gini rasio melalui tiga pilar utama seperti lahan, business opportunity dan human resources.Â
Perhutanan Sosial juga menjadi legalitas akses bagi masyarakat disekitar kawasan hutan untuk ikut berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan hutan negara.
Keabsahan WNI ini dibuktikan dengan memiliki Kartu Tanda Penduduk, serta mempunyai komunitas sosial dalam bentuk riwayat penggarapan kawasan hutan dan tergantung pada hutan, serta aktivitasnya dapat berpengaruh terhadap ekosistem hutan.
Pendampingan pemerintah yang bekerja sama dengan multi pihak, termasuk LSM menjadi kunci keberhasilan dalam wujud fasilitasi pengetahuan dan pengidentifikasian potensi kawasan hutan, pengembangan usaha, serta pemasaran hasil usaha masyarakat (yang sering kita sebut sebagai akses ekonomi) sampai penguatan legal agar masyarakat mampu mengadvokasi dirinya sendiri.
Dalam kaitannya dengan sumber daya tambang, respons terhadap tantangan dan potensi dampak lingkungan dari kegiatan pertambangan adalah perlunya mengintegrasikan paradigma lingkungan dan manajemen resiko yang tepat dalam setiap tahapan kegiatan pertambangan.
Hal ini dapat dilakukan dengan mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan, kondisi sosial-ekonomi masyarakat setempat, serta kondisi ekosistem di sekitar area pertambangan, baik keanekaragaman hayati maupun sumber daya airnya.
Dengan dukungan regulasi dan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan, pada akhirnya aspek keberlanjutan dapat meningkatkan dampak positif dari pembangunan pertambangan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat dan meminimalkan potensi negatif dari kegiatan pertambangan.
Selain itu, diperlukan payung hukum tentang perlakuan perpajakan dan/atau Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di bidang usaha pertambangan mineral yang pro-lingkungan.Â
Kompensasi penurunan pajak sebaiknya berupa aktivitas perusahaan yang bersifat pelestarian lingkungan yang memberikan porsi yang adil menguntungkan semua pihak, baik pemerintah, masyarakat maupun pengusaha tambang.
Edukasi lingkungan secara menyeluruh sesuai perannya juga  diperlukan bagi pemerintah, masyarakat dan para pengusaha pertambangan dalam rangka mencapai sustainable development.
Sementara itu, pengelolaan sumber daya lahan berkelanjutan harus dimulai dari 3 hal, yaitu public awareness, pengaturan insentif dan law enforcement yang tegas dan konsisten berbasis regulasi yang ada.
Public awareness dimulai dengan upaya pendampingan pendidikan lingkungan yang dimulai dengan contoh dari orang yang di tokohkan atau penyelenggara negara. Ketika kesadaran sudah terbentuk, maka konsistensi pengawasan menjadi hal penting yang harus dijaga.
Dalam konteks lahan, konsep kesadaran publik perlu diintegrasikan dalam pengelolaan tanah, air, keanekaragaman hayati, dan sumber daya lainnya, untuk memenuhi kebutuhan manusia sambil mempertahankan jasa ekosistem dan mata pencaharian masyarakat. Pemanfaatan lahan yang sesuai dengan rencana penggunaan perlu didukung insentif yang sesuai, salah satunya adalah pajak tanah.
Sebagai contoh pemilik lahan terlantar akan dikenai pajak lebih tinggi daripada pemilik lahan yang dikelola dengan baik sesuai tata ruang atau rencana penggunaan.
Hal ini berlaku juga bagi perusahaan yang memiliki hak konsesi lahan hutan namun dibiarkan terlantar bertahun-tahun agar dilakukan law enforcement secara tegas serta pajak yang lebih tinggi daripada perusahaan yang mengelola sesuai rencana penggunaan yang disepakati.
Bagi pemilik lahan pertanian, dilakukan insentif bagi yang mempertahankan fungsi lahannya sebagai lahan produktif pertanian dan disinsentif bagi yang menjualnya untuk keperluan diluar fungsi pertanian.Â
Konsep insentif dan disinsentif berlaku juga bagi pemilik lahan perkebunan/hutan di lahan berlereng untuk keperluan konservasi tanah dan air.
Konsep lain yang disarankan adalah model payment environmental services atau jasa lingkungan yang saling menguntungkan antara hulu dan hilir agar keseimbangan ekonomi, sosial dan lingkungan dapat berjalan secara selaras.
Dalam rangka mencapai pengelolaan sumber daya air berkelanjutan, Â penyusunan konsep pengelolaan sumber daya air terpadu perlu melibatkan seluas-luasnya peran masyarakat dan dunia usaha, baik koperasi, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah maupun badan usaha swasta.
Sejalan dengan prinsip sense of belonging, masyarakat Indonesia sebagai subyek sekaligus obyek pembangunan dapat berperan optimal dalam proses perencanaan, implementasi, operasi dan pemeliharaan, pemantauan, serta pengawasan dalam pengelolaan sumber daya air. Hal substansial lain yang harus diperhatikan dalam pengelolaan sumber daya air basis batas alam 'watershed' (Daerah Aliran Sungai/DAS).
Pengelolaan sumber daya air berbasis DAS menciptakan kesinambungan kualitas dan kuantitas air karena secara siklus hidrologi memang sumber daya air tidak bisa dilihat satu bagian wilayah administratif saja. Sebagai contoh sederhana adalah pengelolaan Waduk Saguling untuk keperluan PLTA.
Pengelolaan waduk tidak bisa hanya memperhatikan variabel--variabel disekitar waduk, tetapi harus dilihat sebagai satu kesatuan dengan daerah hulunya, dan juga daerah hilirnya dalam satu kesatuan DAS.
Seluruh masalah pengelolaan sumber daya air harus memperhitungkan keseluruhan DAS, baik ekonomi, sosial dan lingkungan karena bagaimanapun juga sebuah titik di ujung terluar DAS pun memiliki pengaruh terhadap kuantitas dan kualitas air di sungai utama.
Oleh karena itu, konsep parsial pengelolaan sumber daya air harus segera ditinggalkan ***(ASP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H