Mohon tunggu...
Aldo
Aldo Mohon Tunggu... Lainnya - Lulusan sarjana ekonomi dengan ketertarikan pada dunia keuangan, politik, dan olahraga

Everyone says that words can hurt. But have they ever been hurt by the deafening silence? It lingers like the awkward echo after a bad joke, leaving you wondering if you've been forgotten, ostracized, or simply become so utterly uninteresting that even crickets find your company unbearable.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Sektor Keuangan di Bawah Prabowo Subianto, Tantangan dan Reformasi yang Tidak Pasti

17 Oktober 2024   13:57 Diperbarui: 17 Oktober 2024   13:57 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
SCBD yang Menjadi Kawasan Bisnis Indonesia di Jakarta (Cove)

Dengan dilantiknya Prabowo Subianto sebagai Presiden Republik Indonesia untuk periode 2024-2029 pada 20 Oktober 2024 mendatang, sektor keuangan Indonesia hampir bisa dipastikan akan berada di persimpangan jalan. 

Sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia akan menghadapi kombinasi peluang dan tantangan yang berpeluang menentukan masa depan Indonesia hingga beberapa dekade ke depan. 

Meskipun retorika ambisius Prabowo tentang pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, sektor keuangan tampaknya harus bersiap untuk menghadapi turbulensi, kecuali reformasi yang komprehensif dilakukan.

Ketidakpastian Regulasi yang Berpotensi Menghambat Pertumbuhan Keuangan

Meskipun kebijakan deregulasi telah diimplementasikan dalam beberapa tahap, sektor keuangan Indonesia tetap masih diatur secara ketat, utamanya dengan adanya keterlibatan negara secara langsung yang signifikan pada industri perbankan dan pasar modal.

Terlepas dari pertumbuhan sektor ini hingga kuartal II 2024, sistem keuangan sering menghadapi gangguan akibat kerangka regulasi yang tidak jelas dan tidak konsisten.

Perlu diketahui bahwa menurut OJK, industri perbankan Indonesia masih menunjukkan kinerja yang stabil, ditopang oleh capital adequacy ratio (CAR) perbankan yang tercatat di level yang relatif tinggi lebih dari 25%. 

Selain itu, tingkat profitabilitas perbankan terjaga dengan return on asset (ROA) di atas 2,5% dan net interest margin (NIM) lebih dari 4%. Dari sisi kinerja intermediasi, penyaluran kredit masih mengalami pertumbuhan hingga lebih dari 12% per tahun. 

Dana pihak ketiga (DPK) juga mengalami pertumbuhan positif hingga lebih dari 8% per tahun. Meskipun sempat diberitakan naik dibandingkan tahun 2023, rasio non-performing loans (NPL) masih relatif sehat di kisaran antara 2-2,5%.

Akan tetapi, pemerintahan Prabowo belum mengartikulasikan bagaimana dia berencana untuk menjaga stabilitas keuangan atau memperkenalkan reformasi untuk mempertahankan angka-angka ini lebih jauh. 

Baru-baru ini, Menteri Keuangan RI pilihan Prabowo, Sri Mulyani mengungkapkan bahwa langkah untuk memanfaatkan sumber-sumber pertumbuhan baru hingga 8% telah dimulai sejak era Presiden Joko Widodo dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). 

Lebih lanjut, dia menyampaikan bahwa sumber-sumber pertumbuhan baru yang dapat dimanfaatkan berasal dari pengembangan sektor keuangan dengan fokus yang tidak hanya pada industri perbankan, tetapi juga mencakup pengembangan asuransi, dana pensiun, dan bahkan cryptocurrency. Meskipun demikian, tidak ada kepastian bahwa kerangka ini akan benar-benar diimplementasikan oleh Prabowo dalam masa pemerintahannya.

Ketergantungan Berat pada Industri Berbasis Sumber Daya Alam

Sektor keuangan Indonesia sangat bergantung pada pembiayaan industri-industri ekstraktivisme, seperti batu bara, kelapa sawit, dan nikel. 

Meskipun ada upaya yang sedang berlangsung untuk mendiversifikasi ekonomi, sumber daya alam masih menyumbang proporsi terhadap PDB yang relatif besar, dengan sektor pertanian dan kehutanan/penggunaan lahan (FOLU) mencapai 12,53% dan pertambangan sebesar 10,52% pada tahun 2023.

 Indonesia di bawah Prabowo juga diproyeksi akan melanjutkan komitmen terhadap hilirisasi mineral kritikal sebagai bagian dari strategi jangka panjang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Ketergantungan yang berat pada industri ekstraktif ini tentu membuat sektor keuangan rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global, yang dapat memicu ketidakstabilan pada ekonomi yang lebih luas.

Di bawah pemerintahan Prabowo, tampaknya tidak ada rencana yang jelas untuk beralih dari ketergantungan ini. Hubungan politiknya dengan elite bisnis di industri ekstraktif menimbulkan kekhawatiran bahwa keberlanjutan lingkungan dan ekonomi akan diabaikan demi pertumbuhan jangka pendek. 

Transisi global yang sedang berlangsung menuju energi terbarukan dan praktik berkelanjutan menimbulkan risiko bagi daya saing masa depan Indonesia jika negara ini tetap bergantung pada industri yang menghasilkan karbon tinggi, seperti nikel.

Selain itu, pembiayaan untuk industri kelapa sawit---salah satu penyumbang terbesar bagi ekonomi Indonesia---telah mendapat sorotan yang semakin besar. Seiring dengan tuntutan pasar global, terutama di Uni Eropa, akan kepatuhan yang lebih besar terhadap implementasi kriteria lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG), lembaga jasa keuangan yang mendukung industri ini mungkin menghadapi tekanan yang semakin besar untuk menerapkan praktik yang lebih berkelanjutan. 

Keengganan sektor keuangan untuk menjauh dari industri yang terkait dengan deforestasi dan degradasi lingkungan dapat mengakibatkan berkurangnya akses ke pasar modal internasional, karena investor global semakin memprioritaskan investasi yang selaras dengan ESG.

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan Inklusi Keuangan

UMKM merupakan tulang punggung ekonomi Indonesia. Menurut KADIN Indonesia, peran UMKM sangat besar untuk pertumbuhan perekonomian Indonesia, dengan jumlahnya yang mencapai 99% dari keseluruhan unit usaha. 

Pada tahun 2023, pelaku usaha UMKM mencapai sekitar 66 juta dengan kontribusi terhadap PDB mencapai 61%, setara Rp9.580 triliun dan mampu menyerap 97% tenaga kerja di Indonesia.

Meskipun peran mereka sangat besar dan penting, akses layanan keuangan formal yang diperoleh UMKM masih relatif terbatas. Menurut data OJK, total kredit UMKM di Indonesia pada tahun 2023 mencapai Rp1,46 triliun, hanya setara 20,55% dari total kredit yang disalurkan oleh bank umum. 

Survei dari PwC juga menemukan bahwa hanya 27% UMKM di Indonesia yang memiliki akses ke pinjaman bank atau jalur kredit formal, kesenjangan yang membatasi potensi pertumbuhan mereka. 

Kurangnya akses ke pembiayaan semakin diperburuk di daerah pedesaan, di mana 31,51% populasi masih belum memiliki akses ke layanan perbankan menurut Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK).

Komitmen pemerintahan Prabowo untuk meningkatkan inklusi keuangan masih kabur. Meskipun ada rencana untuk mendorong layanan keuangan digital, strategi keseluruhan untuk menangani inklusi keuangan bagi UMKM tampaknya kurang jelas. 

Tanpa kebijakan yang tepat sasaran, UMKM akan terus menghadapi hambatan untuk berkembang, terutama ketika ekonomi global semakin terdigitalisasi. 

Fintech telah muncul sebagai solusi potensial untuk inklusi keuangan, dengan sektor fintech Indonesia yang masih tumbuh pesat. Pada tahun 2022, perusahaan fintech memproses transaksi lebih dari $77 miliar atau setara Rp1.193, 19 triliun dan diproyeksikan mencapai $130 miliar atau setara Rp2.014,48 triliun pada 2025. 

Namun, perkembangan sektor ini terhambat oleh regulasi yang tidak konsisten, dan kesenjangan antara pertumbuhan fintech dan pengawasan regulasi menimbulkan risiko bagi investor dan konsumen. Tanpa kerangka kerja yang jelas dari pemerintah Prabowo, peran fintech dalam menangani inklusi keuangan dapat terhenti.

Transformasi Digital dan Kesenjangan Regulasi

Ekonomi digital Indonesia telah mengalami pertumbuhan yang luar biasa, dan bahkan Pemerintah Indonesia menargetkan 30 juta UMKM Digital pada tahun 2024. Namun, transformasi digital di sektor keuangan masih berjalan lambat, terutama karena inersia regulasi. 

OJK masih relatif kesulitan untuk beradaptasi dengan pesatnya pertumbuhan layanan keuangan digital, menciptakan lingkungan regulasi yang terputus-putus yang telah membatasi inovasi. Secara khusus, perbankan digital dan platform pinjaman peer-to-peer telah berkembang pesat. 

Hingga pertengahan 2024, terdapat 98 perusahaan fintech berlisensi yang beroperasi di Indonesia, melayani jutaan pelanggan dengan total aset mencapai Rp7,71 triliun. Namun, kurangnya regulasi yang kohesif masih menimbulkan kekhawatiran tentang privasi data, keamanan siber, dan munculnya rentenir ilegal yang memanfaatkan celah regulasi. 

Pemerintahan Prabowo menekankan pentingnya teknologi dan inovasi, tetapi rencana konkret untuk mereformasi lanskap regulasi fintech dan perbankan digital belum jelas. Pemerintahan baru ini harus bertindak cepat untuk menyeimbangkan promosi keuangan digital dengan perlindungan konsumen yang kuat dan pengawasan regulasi, atau berisiko tertinggal dalam lanskap keuangan yang berkembang pesat.

Korupsi dan Masalah Transparansi

Korupsi tetap menjadi masalah sistemik di sektor keuangan Indonesia. Indeks Persepsi Korupsi dari Transparency International sebesar 34 dari 100 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-115 dari 180 negara pada tahun 2023, mencerminkan tantangan mendalam dalam memerangi korupsi keuangan. 

KPK mencatat total kerugian negara akibat korupsi sektor finansial mencapai Rp45,06 triliun sepanjang 2016-2021. 

Bahkan menurut Indonesian Corruption Watch (ICW), kasus korupsi di lingkungan BUMN didominasi oleh industri perbankan dengan 38 kasus yang terjadi antara tahun 2016---2021, termasuk kasus profil tinggi yang melibatkan bank dan lembaga keuangan dalam pencucian uang dan penggelapan, yang merusak kepercayaan terhadap sistem.

Prabowo Subianto telah berjanji untuk memerangi korupsi, tetapi skeptisisme masih ada. Hubungan politiknya dan koneksi dengan elite bisnis yang mengakar di Indonesia menimbulkan keraguan tentang kemampuannya untuk memenuhi janji tersebut. 

Selain itu, upaya untuk meningkatkan transparansi dalam lembaga keuangan terhenti, dengan banyak reformasi yang dilunakkan atau ditunda karena pertimbangan politik. 

Dengan berita dan foto yang beredar belakangan, skeptisisme ini semacam terkonfirmasi dengan sejumlah elite bisnis yang diperkirakan akan menempati kursi menteri pada kabinet Prabowo, seperti Widiyanti Putri Wardhana (pengusaha dan istri mantan Direktur Utama Indika Energy Wishnu Wardhana), Dudy Purwagandhi (Komisaris PLN dan CEO Jhonlin Air), dan tentunya Erick Thohir (pengusaha dan pendiri Mahaka Group yang saat ini masih menjabat sebagai Menteri BUMN RI).

Sektor Keuangan Indonesia yang Berada dalam Ketidakpastian

Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, diprediksi akan banyak kekhawatiran yang mendalam terkait kurangnya kebijakan yang jelas dan terarah mengenai inklusi keuangan, keuangan digital, keberlanjutan, dan masalah korupsi. 

Situasi ini dapat menghambat upaya untuk menciptakan sistem keuangan yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat dan perkembangan teknologi yang pesat. 

Apabila pemerintahan yang baru tidak segera mengambil tindakan tegas untuk menangani masalah struktural ini, sektor keuangan Indonesia berisiko terus tertinggal dari pesaing regional lainnya, terutama Singapura, Malaysia, dan Thailand. 

Ketertinggalan ini tidak hanya akan mengganggu daya saing ekonomi, tetapi juga dapat membahayakan prospek ekonomi jangka panjang Indonesia. Keterbatasan dalam inovasi, akses ke layanan keuangan yang memadai, dan ketidakpastian regulasi dapat menghalangi pertumbuhan yang berkelanjutan.

Pemerintahan Prabowo berada pada momen penting dalam menentukan arah kebijakan sektor keuangan. Apakah dia akan mengambil kesempatan untuk membangun sistem keuangan yang dinamis, transparan, dan inklusif masih harus dilihat. 

Selain itu, keberhasilan dalam menangani tantangan ini akan sangat bergantung pada komitmen pemerintah untuk melakukan dialog dengan berbagai pemangku kepentingan dan menerapkan kebijakan yang dapat merangkul semua lapisan masyarakat. 

Untuk saat ini, prospeknya masih tidak pasti, dan tantangan yang dihadapi akan menentukan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa mendatang, terutama menuju Indonesia Emas 2045.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun