Baru-baru ini, Menteri Keuangan RI pilihan Prabowo, Sri Mulyani mengungkapkan bahwa langkah untuk memanfaatkan sumber-sumber pertumbuhan baru hingga 8% telah dimulai sejak era Presiden Joko Widodo dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).Â
Lebih lanjut, dia menyampaikan bahwa sumber-sumber pertumbuhan baru yang dapat dimanfaatkan berasal dari pengembangan sektor keuangan dengan fokus yang tidak hanya pada industri perbankan, tetapi juga mencakup pengembangan asuransi, dana pensiun, dan bahkan cryptocurrency. Meskipun demikian, tidak ada kepastian bahwa kerangka ini akan benar-benar diimplementasikan oleh Prabowo dalam masa pemerintahannya.
Ketergantungan Berat pada Industri Berbasis Sumber Daya Alam
Sektor keuangan Indonesia sangat bergantung pada pembiayaan industri-industri ekstraktivisme, seperti batu bara, kelapa sawit, dan nikel.Â
Meskipun ada upaya yang sedang berlangsung untuk mendiversifikasi ekonomi, sumber daya alam masih menyumbang proporsi terhadap PDB yang relatif besar, dengan sektor pertanian dan kehutanan/penggunaan lahan (FOLU) mencapai 12,53% dan pertambangan sebesar 10,52% pada tahun 2023.
 Indonesia di bawah Prabowo juga diproyeksi akan melanjutkan komitmen terhadap hilirisasi mineral kritikal sebagai bagian dari strategi jangka panjang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Ketergantungan yang berat pada industri ekstraktif ini tentu membuat sektor keuangan rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global, yang dapat memicu ketidakstabilan pada ekonomi yang lebih luas.
Di bawah pemerintahan Prabowo, tampaknya tidak ada rencana yang jelas untuk beralih dari ketergantungan ini. Hubungan politiknya dengan elite bisnis di industri ekstraktif menimbulkan kekhawatiran bahwa keberlanjutan lingkungan dan ekonomi akan diabaikan demi pertumbuhan jangka pendek.Â
Transisi global yang sedang berlangsung menuju energi terbarukan dan praktik berkelanjutan menimbulkan risiko bagi daya saing masa depan Indonesia jika negara ini tetap bergantung pada industri yang menghasilkan karbon tinggi, seperti nikel.
Selain itu, pembiayaan untuk industri kelapa sawit---salah satu penyumbang terbesar bagi ekonomi Indonesia---telah mendapat sorotan yang semakin besar. Seiring dengan tuntutan pasar global, terutama di Uni Eropa, akan kepatuhan yang lebih besar terhadap implementasi kriteria lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG), lembaga jasa keuangan yang mendukung industri ini mungkin menghadapi tekanan yang semakin besar untuk menerapkan praktik yang lebih berkelanjutan.Â
Keengganan sektor keuangan untuk menjauh dari industri yang terkait dengan deforestasi dan degradasi lingkungan dapat mengakibatkan berkurangnya akses ke pasar modal internasional, karena investor global semakin memprioritaskan investasi yang selaras dengan ESG.
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan Inklusi Keuangan