Era reformasi menuju negara demokrasi yang sesungguhnya dimulai.
Demokrasi yang ditandai dengan kebebasan berpendapat masyarakat.
Terlebih saat era digital, internet mudah diakses dimana-mana di tahun 2000-an. Masyarakat mulai aktif berpendapat melalui tulisan-tulisan mengkritisi pemerintah melalui blog-blog atau milis-milis tertentu.
Tahun 2010 ke atas, era bermacam media sosial mulai eksis. Masyarakat semakin mudah untuk menyuarakan isi pikiran dan hatinya. Kolom komentar menjadi ajang masyarakat untuk mencaci maki dan mengkritisi orang lain. Baik tokoh yang telah dikenal khalayak umum ataupun orang biasa yang mendadak viral.
Pernah saya membaca satu komentar berbunyi, "Lihat mukanya aja bikin aku emosi." Tulisan komentar pada akun orang biasa, yang kebetulan viral karena videonya menarik banyak viewers.
Kalimat komentar yang menurut saya tidak logis; irasional. Penilaian tidak berdasar yang bahkan penulis komentar tidak kenal dengan pihak yang dikomentari.
Kali lain saya membaca komentar-komentar pedas pada akun publik figur yang memiliki anak spesial. Kalimat-kalimat judgmental seperti "Ini pasti karma Tuhan", "Pas hamil apa gak pernah minum vitamin", "Memang pas USG gak ketauan kalau ada kelainan", "Pasti ngrepotin ngurusnya", dll.
Padahal publik figur tersebut tidak bermasalah, menyayangi, dan mengurus anak spesial mereka dengan sangat baik.
Namun justru orang lain yang mereka tidak kenal, dengan mudahnya memberikan berbagai asumsi negatif hasil buah pemikiran mereka sendiri. Irasional.
Selama pemerintahannya, Jokowi tidak luput dari cacian, makian, bahkan fitnah yang bertubi-tubi ditujukan padanya. Antara lain :
Ijazah palsu