Euforia Pemilu memang belum berakhir. Masyarakat masih bersemangat untuk memantau perolehan hasil Quick Count atau Real Count KPU di televisi.
Namun demikian, diadakannya pilpres 2024 ini menandakan bahwa masa kepemimpinan Bapak Jokowi selama dua periode akan segera berakhir.
Terlepas dari berbagai isu politik yang menghiasi perjalanan kepemimpinan beliau, ada satu hal yang saya kagumi : sikap stoikisme Bapak Jokowi.
Tahun lalu, saya pernah menulis artikel berjudul Stoikisme, Solusi Untuk Si Overthinker?
Saya comot dari artikel yang lalu, stoikisme atau disebut stoa merupakan salah satu aliran filsafat Yunani yang telah berusia lebih dari 2000 tahun yang dipandang sangat berpengaruh dan mudah untuk diterapkan oleh siapapun dalam hubungannya untuk meraih hidup yang lebih baik.
Tujuan utama dari hadirnya filsafat stoikisme yaitu menekankan pada kemampuan mengendalikan emosi negatif, dan mengasah virtue (kebajikan) untuk meraih hidup yang tenteram, damai, dan tangguh yang hadir sebagai konsekuensi dari hasil pengendalian diri tersebut.
Selain itu, tujuan lainnya adalah bagaimana kita menjalani sebaik-baiknya hidup selayaknya menjadi manusia (Manampiring, 2019).
Intinya, stoikisme atau stoa mengajarkan kita untuk bersikap masa bodoh terhadap hal-hal yang bukan kapasitas kita mengontrol dan menguasai.Â
Kebebasan berpendapat masyarakat mulai nampak sejak era Reformasi di tahun 1998.
Saat itu saya masih duduk di bangku SD. Namun dari tayangan di televisi dan penjelasan ayah, saya mengetahui bahwa saat itu terjadi demo besar-besaran oleh mahasiswa untuk menggulingkan kekuasaan Presiden Soeharto.