Dengan asumsi kurva distribusi normal yang mana beras super adalah beras yang paling banyak dikonsumsi masyarakat, maka kebijakan HET ini justru menjadi penyebab kenaikan harga beras walaupun terjadi stabilisasi di tingkat harga yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Kedua, selain kebijakan HET dari Kementrian Perdagangan, ada pula kebijakan lain dari Kementrian Pertanian yang mengatur harga acuan beras. Acuan harga dari Kementrian Pertanian juga membuat pasar semakin kebingungan karena kurang tepat pula dalam hal jenis barang yang diatur harga acuannya. Kementrian Pertanian yang notabene berkecimpung di sector hulu terlalu jauh jangkauannya dengan menerbitkan harga acuan beras, semestinya cukup memberikan acuan harga untuk gabah saja.Â
Dari sudut pandang legalitas, pada saat kedua kementrian ini mengeluarkan kebijakan membuat bingung pelaku perberasan sebab selama ini kebijakan pemerintah terhadap harga gabah dan beras diatur dalam Instruksi Presiden, bukan kebijakan kementrian. Yang terjadi di pasar adalah ambiguitas terhadap ketentuan harga yang mana harga pada Instruksi Presiden dibawah harga yang diatur kebijakan lain setingkat menteri, yang notabene menteri berada dibawah Presiden secara structural.Â
Pada poin ini nampak betul carut marut pengelolaan beras oleh Pemerintah. Kebijakan Pemerintah terhadap perberasan terlihat dilakukan secara parsial, masing-masing kementrian membuat kebijakan yang tidak komprehensif dan kurang harmonis sehingga tidak nampak benang merah yang jelas untuk menjalankan ketahanan pangan. Satu-satunya benang merah yang terlihat dengan jelas adalah seolah Pemerintah bermaksud melepaskan beras kepada pasar. Hal strategis yang seharusnya dikelola dengan baik oleh Pemerintah karena menyangkut hajat hidup orang banyak.