Perbedaan yang ada hanya dalam pelaksanaan dan penafsiran beberapa persoalan tertentu, misal nya, pembagian tauhid kepada 3  (tiga) tingkatan  ( rububiyyah, uluhiyyah dan tawhid al -asma' wa sifat), sikap Muhammad bin Abdul Wahab yang anti madzhab , tasawuf, perluasan makna syirik, takhayul, bid'ah dan khurafat.[3]
Â
Â
Definisi tawhid al-rububiyyah ( pengakuan bahwasanya Allah semata yang memiliki sifat rabb, penguasa dan pencipta alam semesta, yang menghidupkan dan mematikan), Muhammad bin Abdul Wahab mengartikan bahwa baik muslim maupun kafir mengakui adanya Allah. Ia mengasumsikan bahwa orang-orang kafir pun tidak mengingkari adanya Allah sebagai pencipta, pemberi rezeki dan pengatur. Padahal hal ini secara terminologi sudah salah karena banyak para filsuf yang tidak mengakui sama sekali adanya Tuhan dan membuat premis bahwa alam ini abadi.2
Â
Definisi tawhid al-uluhiyyah (seluruh ibadah dan segala kebaktian hanya di tunjukkan kepada Allah semata), tawhid ini lah yang sangat penting dalam pandangan Muhammad bin Abdul Wahab, baik dalam skema doktrinya yang kaku maupun penilaian nya yang cenderung memandang rendah kondisi kaum Muslim selama berabad-abad. Dalam pandangan ini seseorang tidak di perkenan kan untuk melakukan amalan yang berkonotasi tidak murni dalam beribadah kepada nya, semisal bertawasul melalui berkah para anbiya', maupun aulia', berziarah kubur , menghormat/ta'dzim kepada seorang syaikh dan lain sebagai nya.
Â
Definisi tawhid al-asma' wa al-shifat (hanya membenarkan nama-nama dan sifat-sifat yang di sebutkan dalam al-Qur'an, tanpa disertai upaya untuk menafsirkan, dan tidak di perbolehkannya untuk menerapkan nama-nama itu kepada siapa pun selain Tuhan). Dalam pandangan tauhid ini, Muhammad bin Abdul Wahab mempunyai kesamaan dengan Ibnu Taimiyyah bahwa ayat-ayat yang terkait dengan sifat Allah tidak boleh di takwil. Semisal nya dalam contoh Allah bersemayam di atas Arsy maka mereka pun meyakini demikian secara dhohir sehingga penafsiran ini berkonsekuensi menabrak banyak sekali kaidah dalam pensifatan Allah yang membawa pemikiran wahabi ini jatuh kedalam aliran mujassim yaitu menyamakan atau menyerupakan sifat-sifat Allah SWT kepada sifat-sifat makhluk seperti Tuhan berada di atas (memiliki arah) dan lain sebagainya.
Â
Â
Maka pada inti nya aliran wahabi adalah bagian dari pada pemikiran islam, bahkan dalam kitab Fitnatul Wahabiyah karangan Syekh Ahmad Zaini Dahlan (seorang ulama besar Mufti Syafi'I di Makkah, wafat 1304 H)[4]