3. Meningkatkan upaya kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau
Farmasis dalam melakukan upaya kesehatan yang termasuk pelayanan kesehatan perorangan perlu dilakukan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, berkelanjutan, rata, terjangkau, berjenjang, profesional dan berkualitas. Semua tenaga kesehatan farmasis dituntut untuk selalu menjunjung tinggi sumpah dan kode etik profesi. Pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang kurang mampu perlu mendapatkan pengutamaan.
4. Pengembangan dan pemberdayaan farmasis/apoteker
Saat ini profesi seorang apoteker sangat kurang di Indonesia. International Pharmaceutical Federation menyarankan negara berkembang seperti Indonesia, agar memiliki rasio minimal 1 apoteker untuk 10000 penduduk. Sedangkan menurut WHO, rekomendasi rasio yang ideal adalah 1 apoteker untuk 2000 penduduk. Maka dari itu diperlukannya pemberdayaan farmasis/apoteker untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
5. Meningkatkan jalinan hubungan antara farmasis/apoteker dengan pasien
Apoteker perlu diterjunkan langsung ke rumah sakit agar dapat menjalin hubungan lebih dekat dengan pasien. Di negara maju seperti Singapur, dokter, farmasis dan suster selalu berdampingan dalam melayani seorang pasien. Saat ini gelar apoteker hanya sekedar pajangan nama. Farmasis/apoteker selalu dipandang sebelah mata padahal seorang farmasis dapat dijadikan sebagai konsultan untuk meminta saran mengenai bagaimana obat yang bagus untuk mereka yang mengalami gejala penyakit ringan tanpa harus ke dokter.
Pelaksanaan pembangunan kesehatan ini diutamakan bagi penduduk yang rentan, seperti ibu, bayi, anak, lansia dan keluarga miskin yang dilakukan melalui peningkatan upaya pokok pembangunan kesehatan sediaan farmasi. Upaya tersebut dilakukan dengan memperhatikan segala aspek, mulai dari kependudukan, epidemiologi penyakit, perubahan ekologi dan lingkungan, dan kemajuan IPTEK dalam mewujudkan Indonesia Sehat 2025.
Dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan tersebut perlu diberikan perhatian khusus mengenai pelayanan kesehatan terhadap penduduk miskin, daerah tertinggal, daerah bencana, daerah perbatasan, daerah terpencil termasuk pulau-pulau kecil dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender.
Pada tahun 1990, Hepler dan Strand menyampaikan peran seorang farmasis yang sejalur dengan konsep asuhan kefarmasian (pharmaceutical care)yang terdiri atas:
- Mengidentifikasi berbagai potensi terjadinya drug-related problems
- Melakukan berbagai cara yang dipbutuhkan saat terjadinya drug-related problems
- Mencegah terjadinya drug-related problems
Pharmaceutical Care atau yang lebih dikenal sebagai asuhan kefarmasian merupakan  kewajiban farmako-terapi dari seorang apoteker agar memenuhi dampak tertentu dalam memajukan kualitas hidup masyarakat. Pharmaceutical Care dilakukan dengan Good Pharmacy Practice (Cara Praktik di Apotek yang Baik).
Dalam pelaksanaan cara praktik di apotek yang baik, diperlukan:
- Keterlibatan langsung farmasis/apoteker dalam segala segi pelayanan kebutuhan pasien, baik itu obat-obatan maupun alat kesehatan
- Aktifitas utama apotik, seperti dengan menyalurkan obat-obatan dan alat kesehatan dengan mutu dan keabsahannya yang terjamin, memberikan informasi obat yang baik dan benar, membantu monitoring efek dari obat maupun alat kesehatan tersebut
- Kontribusi farmasis/apoteker yang mencakup segala sesuatu mengenai cara penggunaan obat yang tepat dan peresepan yang rasional serta ekonomis
- Setiap orang atau petugas di apotek sudah diberi tahu bahwa tugas setiap pelayanan apotek sangat penting dan saling berhubungan satu dengan lainnya