Mohon tunggu...
Humaniora

Implementasi Undang Undang No 22 Tahun 2009 Pasal 292 Jo Pasal 1o6 Ayat 9 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Umum

9 Mei 2016   18:16 Diperbarui: 9 Mei 2016   18:26 1312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Latar belakang

Hukum adalah himpunan peraturan –peraturan hidup yang bersifat memaksa, berisikan suatu perintah, larangan atau perizinan untuk berbuat dan atau tidak berbuat sesuatu serta dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. Hukum itu berhubungan dengan manusia dalam masyarakat, membicarakan hukum sesungguhnya sama dengan membicarakan masyarakat. Membicarakan hukum tidak mungkin dilepaskan dari pembicaraan masyarakat dengan segala yang ada di dalamnya.

Bila membicarakan efektivitas hukum dalam masyarakat berarti membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur dan/atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Efektivitas hukum dimaksud, berarti mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi syarat, yaitu berlaku secara sosiologis, dan berlaku secara filosofis. Oleh karna itu, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat, yaitu (1) kaidah hukum/peraturan itu sendiri (2) petugas/penegak hukum (3) sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum (4) kesadaran masyarakat.[1]

Pada umunya orang berpendapat bahwa kesadaran warga masyarakat terhadap hukum yang tinggi mengakibatkan para warga masyarakat mematuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sebaliknya, apabila kesadaran warga masyarakat terhadap hukum rendah, derajat kepatuhanya juga rendah. Pernyataan yang demikian berkaitan dengan fungsi hukum dalam masyarakat atau efektivitas dari pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum dalam masyarakat.

Diketahui bahwa tanpa bangkitnya kesadaran warga untuk secara suka dan rela mengikuti apa yang diperintahkan oleh hukum untuk dikerjakan atau untuk tidak dikerjakan, tidaklah bekerjanya hukum dalam kehidupan masyarakat akan dapat terwujud seperti yang diharap-harapkan. Ancaman sanksi sekeras apapun tidak selamanya terbukti dapat mengontrol perilaku subjek dengan sepenuhnya. Selalu saja ada celah dan kesempatan, sekecil apapun, yang akan dimanfaatkan oleh seorang subjek dengan resiko yang telah diperhitungkanya untuk menghindarkan diri dari control hukum yang berhakikat sebagai control eksternal itu.

Secara filosofis tujuan hukum adalah untuk mencapai kedamaian, kedamaian berarti suatu keserasian antara ketertiban dan ketentraman. Pada segi ketertiban, lebih ditonjolkan kewajiban warga masyarakat. Sedangkan pada segi ketenteraman yang diutamakan adalah hak –haknya.[2]

Dengan melihat paparan diatas, dapat diambil pelajaran bahwasannya dalam segi ketetertiban, lebih ditekankan  kewajiban  bagi masyarakat  untuk mematuhi, menaati, dan melaksanakan hukum, baik hukum tertulis maupun tidak tertulis atau hukum adat yang sudah menjadi menjadi kebiasaan bagi masyarakat setempat.

Akan tetapi pada kenyataannya, banyak masyarakat ataupun mahasiswa tidak melaksanakan perintah atau aturan-aturan tersebut. Mereka banyak melanggar peraturan peraturan yang telah ditetapkan, padahal sebagian dari mereka mengerti akan hukum dan peraturan –peraturan yang telah mereka langgar. Misalnya peraturan Undang –Undang No 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkatan umum, pada pasal 292 telah dipaparkan bahwasannya ;

SetiapOrang yang mengemudikan sepeda motor tanpa kereta samping yang mengangkut penumpang lebih dari 2 (dua) orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (9) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu pupiah)."

Bahwasannya dalam pasal tersebut memberikan pelajaran, khususnya  bagi pengemudi dilarang untuk  berboncengan lebih dari dua orang. Akan tetapi pada kenyataannya banyak masyarakat yang melanggar hal tersebut, dimulai dari para pelajar, mahasiswa hingga masyarakat.  Untuk itu dalam pembahasan ini, saya akan membahas mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh mahasiswa   yang menyimpang dan bertentangan dengan Undang Undang No 22 Tahun 2009 pasal 292 mengenai berboncengan lebih dari dua orang. 

Dari banyaknya kalangan masyarakat maupun mahasiswa yang melakukan pelanggaran tersebut, maka dapat disimpulkan  bahwa UU. No 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, banyak mengalami penyimpangan. Penyimpangan tersebut sudah menjadi kebiasaan dalam kehidupan  masyarakat khususnya mahasiswa. Jika dikaitkan  dengan teori sosialisasi yang dikutip dari Edwin H. Sutherland, kebiasaan penyimpangan tersebut terjadi akibat dari pembelajaran masyarakat dari apa yang mereka lihat dalam kehidupan sehari -hari, yaitu berkaitan dengan penyimpangan tersebut. Mereka para pelanggar akan beranggapan bahwa penyimpangan tersebut diperbolehkan, karena banyak orang yang melakukannya. Mereka pun tak berfikir, tempat  dimana mereka melanggar, meskipun di lingkungan kampus.

Metode Pengumpulan Data

Dalam proses pengumpulan data, penulis menggunakan dua metode yang sering digunakan dalam penelitian, yaitu:

  • Metode Wawancara

Wawancara merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi. Wawancara dilakukan kepada pengendara yang melanggar rambu lalu lintas serta pandangan terhadap aturan tersebut. Sumber ini dipilih karena untuk mengukur sejauh mana para pelaku memandang aturan lalu lintas tersebut dari persepsi-persepsi tersebut dapat diketahui tentang aturan tersebut apakah bersifat kesadaran ideologis atau bersifat institusional.

  • Metode Observasi

Dasar observasi ialah pertanyaan yang diajukan peneliti terhadap lingkungan. Observasi digunakan untuk merekam berbagai fenomena yang terjadi langsung di Masyarakat yang bertujuan untuk mempelajari prilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala sosial. Yang dalam hal ini penulis mengambil praktek ketidakpatuhan masyarakat tentang aturan rambu lalu lintas.[3]

Teori yang Digunakan

Mempertanyakan kesadaran hukum masyarakat pada prinsipnya mempertanyakan juga aspek penegakan hukum. Telah yang pernah dilakukan oleh Soerjono Soekanto tentang kesadaran dan kepatuhan hukum ditahun 1982, membuka pintu kajian semakin jelas akan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam memenuhi secara sadar konsepsi hukum yang telah disahkan dan dilaksanakan secara konsekuen dalam komunikasi/hubungan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bahkan berpolitik.[4]

Kesadaran hukum sebenarnya adalah kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan. Menurut Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa derajat tinggi rendahnya kepatuhan hukum terhadap hukum positif tertulis, taraf kesadarannya didasarkan beberapa faktor-faktor sebagai berikut: (1) Pengetahuan tentang peraturan, (2) Pemahaman hukum, (3) Sikap hukum, dan (4) Pola perilaku hukum.

Munculnya kesadaran hukum didorong oleh sejauhmana kepatuhan kepada hukum yang didasari oleh: indoctrination, habituation, utility,dan group identification.Proses itu terjadi melalui internalisasi dalam diri manusia. Kadar internalisasi inilah yang selanjutnya memberikan motivasi yang kuat dalam diri manusia atas persoalan penegakan hukum. Soerjono Soekanto menyatakan terdapat empat indikator kesadaran hukum yang masing-masing merupakan suatu tahapan bagi tahapan berikutnya, yaitu: pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap hukum, dan pola perilaku hukum. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu: faktor hukumnya sendiri (UU), faktor penegak hukum, faktor sarana/fasilitas, faktor kesadaran hukum masyarakat, dan faktor kebudayaan.

Pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa perilaku tertentu yang diatur oleh hukum, hukum yang dimaksud disini adalah hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Pemahaman hukum adalah sejumlah informasi yang dimiliki seseorang mengenai isi dan tujuan peraturan dari suatu hukum tertentu.

Sikap hukum (legal attitude) adalah suatu kecenderungan untuk menerima hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu hukum yang bermanfaat atau menguntungkan jika hukum tersebut ditaati. Sementara itu, Pola perilaku hukum (legal behavior) merupakan hal yang utama dalam kesadaran hukum, karena pola perilaku hukum ini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam masyarakat. Dengan demikian, sampai seberapa jauh kesadaran hukum dalam masyarakat dapat dilihat dari perilaku hukum suatu masyarakat.

Kontekstualisasi Aturan Hukum

Pada kesempatan ini penulis akan membahas mengenai undang-undang yang sering dilanggar oleh kebanyakan masyarakat tentang aturan dilarangnya membawa penumpang atau berboncengan lebih dari seorang bagi pengendara sepeda motor. Sebagaimana yang telah tertera pada pasal 106 ayat (9):

“setiap orang yang mengemudikan sepeda motor tanpa kereta samping dilarang membawa penumpang lebih dari 1 (satu) orang”.[5]

Kemudian ditegaskan sanksi bagi pelaku pelanggaran diatas yang terdapat dalam pasal 292 yang berbunyi:

“setiap orang yang mengemudikan sepeda motor tanpa kereta samping yang mengangkut penumpang lebih dari 1 (satu) orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 ayat (9) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp.250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah)”.[6]

Namun fakta yang terjadi di masyarakat masih banyak terjadi pelanggaran dan ketidakpatuhan terhadap aturan yang ada. Dan masih banyak lagi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dan dilakukan oleh beberapa lapisan masyarakat umum juga lebih miris yaitu mahasiswa-mahasiswi terutama mahasiswa hukum atau hukum Islam.

Gambar diatas menunjukkan adanya mahasiswa yang melakukan pelanggaran pada pasal 106 ayat (9). Bukannya mereka tidak tahu adanya undang-undang yang melarang membawa penumpang lebih dari satu orang. Akan tetapi, mereka lebih mengutamakan solidaritas. “ya, saya tau adanya undang-undang yang melarang boncengan tiga, tapi kan kasihan jika teman saya berjalan kaki sendiri, apalagi kita hidup bersama, makanpun bersama, tidur satu kamar, masak susah bareng tapi kalo senang sendiri-sendiri??kan gak banget mas ” ucap Moh. Iqbal salah satu santri MSAA yang juga mahasiswa UIN Maliki Malang.

“ Saya fikir boncengan sudah menjadi kebiasaan dan tidak asing lagi untuk dipandang. Di kampus kita kan juga tidak diberlakukan denda, paling Cuma ditegur sama pak satpam dan disuruh turun. Sesama teman kan harus saling membantu, masa temannya jalan kaki kita gak barengin, berarti kita tidak punya rasa sosial terhadap teman.”  Sebagian  pendapat  dari kata mbak Lestari salah satu mahasiswa Uin Maliki Malang.

“Jika saya melakukan praktik tersebut lalu di depan ada pihak yang berwenang, maka saya langsung turun sebelum ketahuan”. Ujar Temty Lestari seorang mahasiswi yang juga melakukan praktik tersebut. Kebanyakan dari kalangan mahasiswa yang melakukan praktik tersebut karena faktor tempat tinggalnya yang jauh dengan kampus sehingga memaksa para pelaku untuk melakukan hal tersebut. Ketika ditanya apakah mereka tidak takut dengan sanksi yang berlaku, maka jawabannya “kalau dikampus paling cuman dinasehatin aja sama digodain sama bapak satpam dan sebenernya kepepet sih harus bonceng tiga,tapi kalo gak bonceng tiga ya keburu masuk broh”, ucap Temty Lestari.[10]

Sebenarnya bukan hanya mahasiswa yang melakukan praktek tersebut, masyarakat juga banyak yang melakukan hal tesebut walaupun mereka tahu bahwa praktik yang dilakukannya itu dilarang.

“Masyarakat sekitarpun yang melakukan praktik tersebut biasanya menggunakan alasan bahwa anak-anak mereka akan terlambat sekolah jika diantarkan satu persatu secara bergilir, maka sekalian saja jika searah”  begitulah kalimat yang dilontarkan Nasruddin ketika dimintai pendapatnya.[11]

Salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga masyarakat. Yang dimaksud disini adalah kesadarannya untuk mematuhi suatu peraturan perundang-undangan, yang kerap disebut derajat kepatuhan. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.

Jadi berdasarkan permasalahan yang diatas. Persoalannya adalah apabila peraturan baik, sedangkan warga masyarakat tidak mematuhinya, faktor apakah yang menyebabkannya?. Pada umumnya orang berpendapat bahwa kesadaran warga masyarakat terhadap hukum yang tinggi mengakibatkan para warga masyarakat mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebaliknya apabila kesadaran masyarakat terhadap hukum rendah, derajat kepatuhannya juga rendah.

Pernyataan yang demikian berakaitan dengan fungsi hukum dalam masyarakat atau efektivitas dari pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum dalam masyarakat. Masalah kesadaran hukum warga masyarakat sebenarnya menyangkut faktor-faktor apakah suatu ketentuan hukum tertentu diketahui, dipahami, ditaati, dan dihargai? Apabila warga masyarakat hanya mengetahui adanya suatu ketentuan hukum, maka taraf kesadaran hukumnya lebih rendah dari mereka yang memahaminya, dan seterusnya. Hal itulah yang disebut legal consciousness atau knowledge and opinion about law.

Apabila pengetahuan hukum saja yang dimiliki oleh masyarakat, hal itu belumlah memadai, masih diperlukan pemahaman atas hukum yang berlaku. Melalui pemahaman hukum, masyarakat diharapkan memahami tujuan peraturan perundang-undangan serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan perundang-undangan dimaksud.[12]

Peningkatan kesadaran hukum seharusnya dilakukan melalui penerangan dan penyuluhan hukum yang teratur atas dasar perencanaan yang mantap. Penyuluhan hukum bertujuan agar warga masyarakat mengetahui dan memahami hukum-hukum tertentu, misalnya peraturan perundang-undangan tertentu mengenai zakat, pajak, dan seterusnya. Peraturan dimaksud, dijelaskan melalui penerangan dan penyuluhan hukum, mungkin hanya perlu dijelaskan pasal-pasal tertentu dari suatu perundang-undangan, agar masyarakat merasakan manfaatnya. Penerangan dan penyuluhan hukum harus disesuaikan dengan masalah-masalah hukum yang ada dalam masyarakat pada suatu waktu yang menjadi sasaran penyuluhan hukum.[13]

Penyuluhan hukum merupakan tahap selanjutnya dari penerangan hukum. Tujuan utama dari penerangan dan penyuluhan hukum adalah agar warga masyarakat memahami hukum-hukum tertentu, sesuai masalah-masalah hukum yang sedang dihadapi pada suatu saat. Penyuluhan hukum harus berisikan hak dan kewajiban di bidang-bidang tertentu, serta manfaatnya bila hukum dimaksud ditaati.

Penerangan dan penyuluhan hukum menjadi tugas dari kalangan hukum pada umumnya, dan khususnya mereka yang mungkin secara langsung berhubungan dengan warga masyarakat, yaitu petugas hukum. Yang disebutkan terakhir ini harus diberikan pendidikan khusus, supaya mampu memberikan penerangan dan penyuluhan hukum. Jangan sampai terjadi petugas-petugas itulah yang justru memanfaatkan hukum untuk kepentingan pribadi, dengan jalan menakut-nakuti warga masyarakat yang awam terhadap hukum.

Berdasarkan analisis saya, adanya kekurangan mengenai kesadaran hukum bagi para narasumber terhadap aturan lalu lintas karena peraturan itu hanya bersifat institusional alias tulisan semata. Namun yang diharapkan dalam aturan tersebut adalah pola perilaku hukum (legal behavior) yang merupakan hal utama dalam kesadaran hukum bagi para pengendara.

Para pengendara hanya mematuhi peraturan-peraturan tersebut jika hanya ada aparat penegak hukum yang berjaga. Namun secara idealitas peraturan itu untuk menjaga keselamatan berlalu lintas pengendara serta pengendara lain.

Kemudian untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap hukum dan mengatasi semua hal itu, maka sangat perlu sekali dilakukan sosialisasi hukum oleh para aparat penegak hukum dan juga lembaga-lembaga hukum lainnya. Yaitu bisa dengan cara langsung terjun ke masyarakat tersebut untuk mensosialisasikannya kepada masyarakat dan juga para mahasiswa/pelajar pada khususnya. Dengan demikian, harapan yang dicapai yaitu timbulnya kesadaran mentaati aturan hukum dan dapat dinilai sampai seberapa jauh kesadaran hukum dalam masyarakat dapat dilihat dari perilaku hukum suatu masyarakat.

Kesimpulan

            Dari hasil analisis diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa melatar belakangi banyaknya pelanggaran pengendara yang melanggar rambu-rambu lalu lintas yang terjadi saat ini  adalah kurangnya kesadaran tentang aturan hukum serta lemahnya pengawasan dari pihak penegak hukum. Alasan yang bersifat sosiologis yaitu:

  • Melakukan pelanggaran karena lemahnya pengawasan dari pihak kepolisian.
  • Kurangnya kesadaran mengenai aturan hukum.
  • Hanya patuh ketika akan ada razia atau saat ada polisi. Ini sudah hal biasa yang sering kita lihat dijalanan bahkan kita sendiri sering melakukan ini.
  • Tidak memikirkan keselamatan pengendara lain atau masyarakat yang ada di sekitar jalan.
  • Tidak adanya sanksi tegas ketika pelanggaran terjadi.
  • Masyarakat sekitar juga menjadi bahan tiruan ketika tidak mempermasalahkan adanya pelanggaran tersebut.

Saran

Pengendara kendaraan bermotor seharusnya memiliki etika kesopanan dan mematuhi atau melaksanakan tata tertib lalu lintas, dan harus memiliki kesadaran terutama tata tertib keamanan berlalu lintas supaya tidak merugikan diri sendiri dan juga tidak merugikan orang lain.

Penegak peraturan lalu lintas juga harus tegas dalam menangani para pelanggar rambu-rambu lalu lintas dan memprosesnya secara hukum dan benar. Penegak hukum peraturan rambu-rambu lalu lintas harus lebih rajin melakukan razia pengendara bermotor yang melanggar peraturan rambu-rambu lalu lintas agar pengendara tidak melakukan pelanggaran kembali, dan pengendara akan patuh terhadap rambu-rambu lalu lintas.

            Untuk mencapai kesadaran hukum bagi pengendara, diperlukan usaha-usaha untuk meningkatkan kesadaran hukum, meliputi:

  • Pengetahuan hukum

Pengetahuan hukum masyarakat dapat diketahui bila diajukan seperangkat pertanyaan mengenai pengetahuan hukum tertentu. Pertanyaan tersebut dijawab oleh masyarakat dengan benar sehingga dapat disimpulkan pengetahuan hukum sudah benar ataupun sebaliknya.

  • Pemahaman hukum

Pemahaman hukum masyarakat dapat diketahui bila diajukan seperangkat pertanyaan mengenai pemahaman hukum tertentu. Pertanyaan dimaksud, dijawab  oleh masyarakat itu dengan benar sehingga kita dapat mengatakan bahwa masyarakat itu sudah mempunyai pemahaman hukum yang benar.

  • Penataan hukum

Seorang warga masyarakat menaati hukum karena berbagai sebab: (1) Takut karena sanksi negative apabila hukum dilanggar, (2) Untuk menjaga hubungan baik dengan penguasa, (3) Untuk menjaga hubungan baik dengan rekan-rekan sesamanya, (4) Karena hukum tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang dianut, dan (5)Kepentingannya terjamin.

  • Peningkatan kesadaran hukum

Peningkatan kesadaran hukum semetinya dilakukan melalui sosialisasi hukum yang teratur atas dasar perencanaan yang mantang. Sosialisasi hukum bertujuan agar masyarakat mengetahui dan memahami hukum-hukum tertentu. Sosialisasi hukum harus disesuaikan dengan masalah-masalah hukum yang ada dalam masyarakat.[14]

Daftar Pustaka

Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2008

Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Hukum, ( Bandung ; PT Citra Aditya Bakti, 1999),

Prof. Dr. Muslan Abdurrahman, SH., MH., Sosiologi dan Metode Penelitian HUKUM, (Malang: UMM Pres,2009) Cet. I.

Saifullah, refleksi sosiologi hukum(Bandung: Refika Aditama, 2007)

Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum terhadap Masalah-Masalah Sosial,(Bandung: Alumni, 1981),

[1] Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2008,h.62

[2] Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Hukum, ( Bandung ; PT Citra Aditya Bakti, 1999), hlm, 18

[3] Prof. Dr. Muslan Abdurrahman, SH., MH., Sosiologi dan Metode Penelitian HUKUM, (Malang: UMM Pres,2009) Cet. I., Hal: 119

[4] Saifullah, refleksi sosiologi hukum(Bandung: Refika Aditama, 2007) hal 105

  • [5] UU RI NO. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 106 ayat 9
  • [6] UU RI NO. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 292

[7] Tanggal 1 mei 2016/waktu 17.56.07/lokasi masjid al ishlah sumber pucung

[8] Tanggal 2 mei 2016/waktu 10.00.03/melintas di daerah karang ploso malang

[9] Tanggal 1 mei 2016/waktu 10.03.07/kampus uin maliki malang

[10] Temty lestari,tanggal 01 mei 2016/waktu 15.22

[11] Moh nasruddin,tanggal 30 april 2016/waktu 20.48

[12] Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum terhadap Masalah-Masalah Sosial,(Bandung: Alumni, 1981), hlm. 181

[13] Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum terhadap Masalah-Masalah Sosial,(Bandung: Alumni, 1981), hlm. 188

[14] Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., SOSIOLOGI HUKUM, (Jakarta: Sinar Grafika,2008) Cet. IV., Hal: 62

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun